Kesehatan   2024/05/22 12:37 WIB

Jurus Jitu Negara Lakukan Penurunan Angka Kelahiran, 'yang Sudah Seperti Bom Waktu Demografi'

Jurus Jitu Negara Lakukan Penurunan Angka Kelahiran, 'yang Sudah Seperti Bom Waktu Demografi'

KESEHATAN - Istilah "bom waktu demografi" kerap digunakan untuk melukiskan penurunan populasi yang dihadapi negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat. Namun, kalau Anda tengah berhadapan dengan pakarnya, jangan sekali-sekali menggunakan istilah ini.

Angka kelahiran di Inggris dan AS memang kian menurun sehingga khalayak mungkin tergoda menggunakan istilah "bom waktu". Namun, istilah ini sangat tidak disukai para ahli demografi yang mempelajari perubahan populasi.

"Pertama-tama, saya benci ungkapan itu," ucap arah Harper, profesor gerontologi (ilmu tentang usia lanjut) di Universitas Oxford.

"Saya tidak merasa ada bom waktu demografi, [yang terjadi] adalah bagian dari transisi demografi. Kita tahu ini akan terjadi sepanjang abad ke-21. Jadi, ini bukannya tidak terduga, dan kita seharusnya sudah bersiap-siap dari dulu."

Tetap saja skala masalah ini sangatlah besar. Data yang ada menyebut satu negara membutuhkan rata-rata angka kelahiran antara 2,1 hingga 2,4 anak per perempuan agar dapat meningkatkan atau mempertahankan populasinya, 

Ini dikenal sebagai "tingkat penggantian."

Meski begitu, angka terbaru untuk Inggris dan Wales menunjukkan bahwa angka kelahiran rata-rata (disebut juga rasio kesuburan total) turun menjadi 1,49 anak per perempuan pada tahun 2022. Pada tahun 2021, angka itu menyentuh 1,55.

Ditarik hingga 2010, angka kelahiran rata-rata terus mengalami penurunan.

Gambaran serupa terjadi di Skotlandia dan Irlandia Utara, yang mencatat data ini secara terpisah.

Sementara di AS, rasio kesuburan total pada tahun lalu turun menjadi 1,62 yang merupakan rekor terendah. Pada tahun 1960, angkanya adalah 3,65.

"Faktanya, dua pertiga negara di dunia sekarang memiliki tingkat kelahiran di bawah tingkat penggantian," tambah Prof Harper. "Jepang rendah, China rendah. Korea Selatan adalah yang terendah di dunia."

Pertumbuhan penduduk saat ini hanya terbatas di Afrika sub-Sahara.

Kenapa muncul kekhawatiran tentang penurunan angka kelahiran? Jawabannya sederhana: dampak signifikannya terhadap ekonomi.

Negara-negara menghadapi dampak dari populasi yang menua dan pada saat bersamaan jumlahhnya menurun.

Tenaga kerja yang ada pun lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pensiunan.

Bagaimana suatu negara bisa mengalami pertumbuhan ekonomi kalau perusahaan-perusahaan tidak dapat merekrut cukup pekerja? Bagaimana tenaga kerja yang jumlahnya lebih sedikit ini mampu membiayai uang pensiun untuk populasi pensiunan yang jauh lebih besar?

Pertanyaan-pertanyaan ini membuat ahli ekonomi pemerintah meringis.

Dalam upaya meningkatkan angka kelahiran, negara bisa mempermudah para perempuan untuk memiliki anak.

Caranya? Dengan menyediakan layanan penitipan anak yang lebih banyak, potongan pajak dan cuti hamil yang dibayar penuh dan durasinya lebih panjang.

Kebijakan-kebijakan tersebut dapat memperlambat penurunan angka kelahiran, tetapi jarang sekali bisa membalikkannya.

Sederhananya, semakin Anda mendidik perempuan, semakin mereka bekerja dan menabung, semakin baik kehidupan mereka.

Banyak perempuan yang lebih memilih untuk tidak mengambil risiko atas pendapatan dan prospek karier yang sering kali terjadi ketika menjadi seorang ibu.

Akibatnya mereka punya lebih sedikit anak, atau tidak sama sekali.

Pada dasarnya, ada dua cara yang dapat dilakukan suatu negara untuk mengatasi penurunan angka kelahiran. Yang pertama adalah membuat populasi tetap sehat dan bisa bekerja lebih lama, atau yang kedua: imigrasi dalam skala besar.

Tidak ada pilihan ketiga.

Singapura adalah salah satu negara dengan populasi yang menua paling cepat di dunia. Negara ini memilih opsi pertama.

"Ada banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan usia pensiun dan pelatihan di usia paruh baya. Begitu pula dengan mendorong perusahaan - yang harus menawarkan Anda bekerja kembali hingga batas usia 69 tahun - untuk mempekerjakan pekerja yang lebih tua," ujar Prof Angelique Chan, Direktur Eksekutif perdana Pusat Penelitian & Pendidikan Penuaan Singapura.

Yang dimaksud Prof Chan dengan "pekerjaan kembali" di sini adalah pekerja lanjut usia (kalau mereka mau) dapat tetap bekerja setelah mencapai usia pensiun.

Saat ini usia pensiun di Singapura adalah 63 tahun, tetapi akan naik menjadi 64 tahun pada tahun 2026, dan menjadi 65 tahun pada 2030.

Pada tahun itu, orang-orang yang sedang menggeluti "pekerjaan kembali" diperkirakan dapat tetap bekerja hingga usia 70 tahun.

Prof Chan menyebut pemerintah Singapura juga sedang meningkatkan upaya untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki dokter "yang harus merawat Anda dan memantau kondisi Anda, dan memastikan kita memiliki kelompok usia yang lebih sehat yang dapat terus bekerja".

Dia menambahkan bahwa Singapura menghabiskan banyak uang "agar kita memiliki populasi yang paling sehat, [sehingga] memberi orang kesempatan untuk bekerja [di usia tua]".

Di AS, Ronald Lee, profesor emeritus ekonomi di Universitas California, mengungkapkan bagimana kian banyak lansia Amerika yang harus bekerja untuk menutupi biaya hidup mereka.

"Jika kita melihat proporsi konsumsi lansia berusia 65 tahun ke atas di AS yang dibiayai dengan terus bekerja, angka itu jauh lebih tinggi daripada di negara maju lainnya," katanya.

Prof Lee menambahkan bahwa ini bukan hal yang buruk. "Saya rasa ini penting untuk seluruh dunia, untuk melepaskan diri dari gagasan bahwa orang tua berhak atas waktu luang yang sangat lama di akhir hidup mereka."

"Orang-orang lebih sehat, kuat, lebih tajam secara kognitif, dan siap untuk melanjutkan hidup di usia yang jauh lebih tua daripada sebelumnya. Saya harap usia pensiun bisa naik hingga di atas 70 tahun."

Saat ini, orang Amerika hanya mendapatkan pensiun penuh jaminan sosial mulai dari usia 66 tahun lebih dua bulan. Tetapi secara bertahap akan naik menjadi 67 tahun.

Pendapat Prof Lee mungkin tidak terlalu populer di kalangan banyak orang, tetapi dari segi ekonomi hal itu rasanya tidak terhindarkan. Ketika harapan hidup meningkat, maka akan menjadi semakin sulit untuk membiayai masa pensiun yang semakin lama.

Sesuatu harus dikorbankan, dan bekerja lebih lama adalah solusi yang jelas.

Namun, ada jawaban lain untuk masalah ini, seperti yang dijelaskan oleh Prof Harper - peningkatan imigrasi. Namun ini jelas merupakan masalah politik yang sensitif di kedua sisi Atlantik.

"Migrasi dapat dengan mudah memecahkan masalah tingkat kelahiran yang lebih rendah dari sudut pandang demografi," ujar Prof Harper.

"Ada masalah politik dan kebijakan, tetapi secara demografis yang seharusnya kita lakukan adalah mengizinkan negara-negara dengan tingkat kelahiran anak yang tinggi, dan dengan jumlah pekerja yang sangat banyak mungkin selama empat dekade berikutnya, untuk dapat mengalir melintasi dunia dan menutupi kekurangan [populasi bekerja]."

Walaupun imigrasi skala besar mendapat protes keras di berbagai negara, bahkan rezim populis sekalipun kerap pura-pura tidak tahu menahu soal imigrasi kalau dirasa perlu.

Elizabeth Kuiper dari lembaga kajian European Policy Centre, mengatakan Hungaria adalah contoh kasusnya. Pemerintah Hungaria mengeklaim menindak migran tanpa toleransi.

"[Tetapi] kita tahu bahwa meskipun negara-negara ini tidak akan mengakuinya secara terbuka, sektor-sektor seperti perawatan dan layanan kesehatan mengembangkan strategi diam-diam untuk migrasi selektif," jelas Kuiper.

Di sebagian besar negara maju, imigrasi tidak mendekati tingkat yang diperlukan untuk mengimbangi penurunan angka kelahiran. Di sisi lain, imigrasi sudah telanjur sangat tidak populer.

Para ahli demografi tahu sesuatu harus dikorbankan - negara perlu membuat orang bekerja lebih lama, atau meningkatkan imigrasi, atau bisa jadi keduanya.

Namun, langkah-langkah ini memerlukan konsensus politik.

Para politisi tahu betul bahwa menghimbau orang-orang agar menyetujui imigrasi tambahan atau meminta mereka mau bekerja lebih lama pada usia lanjut, akan membuat kalah di pemilu. (*)

 

Tags : angka kelahiran, penurunan angka kelahiran, kesehatan, jurus lakukan penurunan angka kelahiran, angka kelahiran seperti bom waktu demografi,