DALAM akhir pekan kemarin publik dihebohkan oleh berita hilangnya frasa yang mengatur tentang pemberian tunjangan profesi bagi guru dan dose.
Hal ini terkait soal aturan tunjangan bagi guru di daerah terpencil, serta tunjangan kehormatan bagi dosen dalam rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional yang sudah didaftarkan dan menjadi agenda prioritas prolegnas 2022.
Dalam pandangan organisasi keguruan, di antaranya PGRI dan P2G, RUU ini adalah khabar buruk bagi kemajuan pendidikan Indonesia dan derita bagi guru dan dosen.
Betapa tidak, tunjangan dimaksud yang secara operasional tegas tertuang dalam Permendikbud nomor 33 tahun 2018 adalah untuk memberi penghargaan dan mengangkat martabat guru, kelak tidak dapat lagi diimplementasikan manakala RUU Sisdiknas versi Agustus 2022 itu disyahkan menjadi Undang-Undang (UU).
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo yang biasa disapa Nino, menjelaskan bahwa hilangnya frasa ini tidak berarti terhentinya tunjangan untuk guru.
Tunjangan untuk guru akan tetap ada meski dengan skema berbeda. Guru ASN akan otomatis mendapat tunjangan tanpa harus menunggu antrean sertifikasi.
Selanjutnya guru swasta akan diusulkan kenaikan subsidi (Bantuan Operasional Sekolah) agar Yayasan bisa meningkatkan penghasilan gurunya.
Kebijakan baru pemerintah yang dikemukakan oleh Nino ini seungguhnya sangat ideal. Sertifikasi dan tunjangan profesi memang dua hal yang berbeda.
Sertifikasi berkaitan dengan profesionalitas guru yang berhubungan dengan izin praktik sebagai guru profesional, sedangkan tunjangan profesi berkaitan dengan kesejahteraan pekerja yang berprofesi sebagai guru.
Selama ini sertifikasi sebagai upaya meningkatkan profesionalitas guru dicampur jadi satu dengan tunjangan profesi sebagai upaya meingkatkan kesejahteraan guru. Keduanya ditangani oleh Pemerintah.
Idealnya dalam kaitan pemberian izin praktik (sertifikasi) guru tugas pemerintah adalah menetapkan kebijakan terkait sertifikasi guru dan memutuskan organisasi profesi guru yang dipandang mampu melaksanakan kebijakan dimaksud.
Pelaksanaan sertifikasi dilaksanakan oleh organisasi profesi guru yang memenuhi persayaratan dan mendapat izin dari pemerintah. Organisasi profesi guru tersebut memberikan jaminan bahwa mereka yang memiliki sertifikat profesional sebagai guru dapat melaksanakan praktek benar sebagai guru dan memberi sangsi disiplin jika terjadi mal-paraktek.
Tidak boleh ada guru yang praktek mengajar di kelas tanpa memiliki sertifikat sebagai guru professional.
Selanjutnya jika pemerintah benar-benar serius berniat baik meingkatkan kesejahteraan guru, pengalokasian dana dimaksud dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dimasukan dalam akun khusus yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan guru, dan bukan dalam komponen gaji.
Pendistribusiannya diberikan rutin setiap bulan. Mekanisme pemeberian dan pendistribusiannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Jika pandangan ini merupakan pandangan yang sejalan dengan penjelasan Nino, pertanyaannya adalah dapatkan rencana baik pemerintah tersebut dilaksanakan tanpa alas hukum yang mengikat?.
Niat baik pemerintah ini harus tertuang dalam frasa tertentu dan masuk dalam RUU Sisdiknas sehingga ketika sudah menjadi Undang-Undang dapat digunakan sebagai alas hukum implementasi kebijakan sertifikasi dan pemberian tunjangan kesejahteraan guru.
Tanpa alas hukum yang mengikat, boleh jadi rakyat tidak percaya atau setidknya meragukan niat baik pemerintah sebagaimana dijelaskan Nino.
Diperlukan perjuangkan bersama dan saling pengertian agar niat baik pemerintah ini tertuang dalam UU Sisdiknas guna peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Jadi pemerintah, masyarakat, dan organisasi keguruan perlu duduk bersama membahas masalah penting ini.
Sumber: Republika.co.id
Tags : Prolegnas RUU Siisdiknas, Sisdiknas, Nasib Guru, Sertifikasi Guru,