Headline Bisnis   2025/09/14 22:17 WIB

Kafe-kafe di Pekanbaru Kewalahan Meladeni Para Mahasiswa yang Belajar Berjam-jam

Kafe-kafe di Pekanbaru Kewalahan Meladeni Para Mahasiswa yang Belajar Berjam-jam

BISNIS - Di kawasan Jalan Arifin Achmad Pekanbaru para pengelola kafe kewalahan.

Kedai kopinya dilingkungan itu kerap kali dikunjungi para mahasiswa untuk belajar atau bekerja di kafe.

Baru-baru ini para pengelola kafe geleng-geleng kepala.

Ada seorang pelanggan menggunakan dua laptop dan kabel gulung berisi enam stopkontak untuk mengisi daya semua perangkat elektroniknya selama seharian penuh.

"Akhirnya saya menambah stopkontak," ujar Satriawan, salah seorang pengelola Serambi kopi.

Tetapi dia mengaku dengan harga sewa yang tinggi di pinggir Jalan Arifin Achmad ini, sulit untuk menjalankan kafe jika seseorang menempati kursi sepanjang hari."

Fenomena mahasiswa merajalela di kafe, terutama di area dengan jumlah mahasiswa dan pekerja kantoran yang tinggi.

Mereka mendominasi kafe, seringkali dalam skala yang jauh lebih besar daripada tempat tempat kedai kopi lainnya di kota itu.

Fenomena itu begitu menguat sampai Serambi kopi mengatakan ada sebagian orang membawa monitor desktop dan printer, membuat partisi, serta meninggalkan meja tanpa pengawasan.

Jaringan kedai kopi ini kini telah meluncurkan pedoman nasional yang bertujuan mengekang "sejumlah kecil kasus ekstrem" yang mengganggu pelanggan lain.

Pengelola Serambi kopi mengatakan staf tidak akan meminta pelanggan untuk pergi, tapi akan memberikan "panduan" bila diperlukan.

Pengelola khawatir juga skal kasus-kasus pencurian sebelumnya ketika pelanggan meninggalkan barang-barang mereka tanpa pengawasan.

Perusahaan itu menyebut pedoman baru ini adalah "langkah menuju lingkungan kedai yang lebih nyaman".

Namun, hal ini tampaknya tidak sampai menghentikan mahasiswa  mengingat budaya kerja dan belajar di kafe sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.

Para pelajar dan mahasiswa kerap belajar selama berjam-jam di gerai Serambi kopi.

Pada suatu malam di Serambi kopi  ramai dengan pelanggan yang sedang belajar. Mereka tampak menundukkan kepala di depan layar laptop dan buku.

Di antara mereka terdapat seorang pelajar berusia 18 tahun yang sedang mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas.

"Saya tiba di sini sekitar pukul 11.00 dan terus di sini sampai pukul 22.00," ujar salah satu mahasiswa.

"Terkadang saya meninggalkan barang-barang saya dan pergi makan di dekat sini," sambungnya.

Kami tidak melihat peralatan besar selama duduk di Serambi sejak pedoman baru dikeluarkan pada 7 Agustus. Yang kami lihat ada seorang pria membawa dudukan laptop, keyboard, dan mouse.

Tapi beberapa pelanggan tampaknya masih meninggalkan meja mereka untuk waktu yang lama. Laptop dan buku mereka terlihat berserakan di meja.

Ketika ditanya pada pengelola Serambi apakah pembatasan baru ini telah menyebabkan perubahan, sipengelola mengatakan bahwa hal itu "sulit untuk dipastikan".

Reaksi terhadap langkah pengelola kafe  beragam. Sebagian besar menyambut kebijakan ini sebagai langkah yang telah lama dinantikan untuk memulihkan normalisasi penggunaan kafe.

Tanggapan semacam itu khususnya datang dari pengunjung untuk bersantai atau berbincang. Mereka mengaku sulit menemukan tempat duduk karena mahasiswa.

Suasana yang hening seringkali juga membuat mereka merasa canggung untuk berbicara dengan bebas.

Beberapa mengkritik kebijakan Serambi sebagai tindakan berlebihan, seraya mengatakan bahwa jaringan kedai kopi tersebut telah ikut campur urusan pengunjung.

Hal ini mencerminkan perdebatan publik tentang mahasiwa yang telah memanas sejak 2010, bertepatan dengan pertumbuhan jaringan kedai kopi waralaba di kota ini.

Saat ini, jumlah kedai kopi waralaba di Pekanbaru mengalami peningkatan sebesar 48% selama lima tahun terakhir. 

Jadi apa yang melatarbelakangi tren ini dan mengapa begitu banyak mahasiswa merasa perlu bekerja atau belajar di kafe ketimbang di perpustakaan, ruang kerja bersama, atau di rumah?

"Bagi sebagian orang, kafe lebih dari sekadar ruang santai; melainkan tempat untuk merasa membumi," kata Larshen Yunus, tokoh pemuda yang kini aktif sebagai Ketua DPD I KNPI Riau.

Menurut Larshen, terkadang rumah bukanlah tempat yang aman untuk bekekrja. 

Larshen bercerita pengalamannya yang telah mempelajari pendidikan seumur hidup selama lebih dari dua dekade, memandang mahasiswa sebagai fenomena budaya bentukan masyarakat yang sangat kompetitif.

"Ini adalah budaya anak muda yang diciptakan oleh masyarakat yang kita bangun," ujarnya.

"Kebanyakan mahasiswa kemungkinan besar adalah pencari kerja atau juga sedang dalam masa kuliah."

"Mereka berada di bawah tekanan—entah itu dari akademisi, ketidakamanan pekerjaan, atau kondisi perumahan tanpa jendela dan tanpa ruang untuk belajar."

"Dalam arti tertentu, anak-anak muda ini adalah korban dari sistem yang tidak menyediakan ruang publik yang cukup bagi mereka untuk bekerja atau belajar," tambahnya.

"Mereka mungkin dianggap mengganggu, tetapi mereka juga merupakan produk dari struktur sosial," cetus Larshen.

Tetapi Larshen Yunus kembali  mengatakan sudah saatnya menciptakan ruang yang lebih inklusif.

"Kita membutuhkan pedoman dan lingkungan yang memungkinkan belajar di kafe—tanpa mengganggu orang lain—jika kita ingin mengakomodasi budaya ini secara realistis," kata dia. (*)

Tags : Bisnis, Kaum muda, Gaya hidup, Pendidikan, Seni budaya,