"Aturan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang terbit di penghujung tahun 2020, menjadi dalil Pemerintah Provinsi Riau untuk membiarkan kebun sawit dalam kawasan hutan"
eperti pada kondisi kawasan hutan produksi terbatas (HPT) di Dusun IV Manggala Kepenghuluan Sekeladi, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) sudah berganti jadi kebun sawit.
"Ekosistem di kawasan HPT Rohil saat ini sudah jauh berubah. Dulu, kalau melintasi pinggiran jalan pada lokasi, sepanjang jalan hutan rimbun. Kini, sepanjang jalan banyak dihiasi pohon kebun sawit, tumbuhan yang digunakan dalam usaha pertanian komersial (elaeis and ordo arecaceae)."
"Sebagian hutan dilokasi itu habis berubah menjadi kebun sawit. Ini sangat memprihatinkan," kata Larshen Yunus, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau menyampaikan tadi ini melalui WhatsApp (WA), Kamis (19/5/2022).
Dia mengaku pagi ini sangat sibuk, sepulang sosialisasi dan persiapan Musyawarah Daerah (Musda) DPD KNPI Kabupaten Kepulauan Meranti yang selanjutnya ingin melakukan tatap muka dengan salah satu pejabat di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.
"Saya sangat sibuk hari ini, usai mendapat laporan dari Anggota KNPI di Rohil, itulah sebabnya saya langsung sampaikan pada Anda tentang kawasan HPT di Rohil dalam gambaran yang terjadi saat ini," sebutnya pada riaupagi.com.
Tetapi Larshen Yunus kembali memaparkan kawasan HPT Rohil sesuai titik kordinat dan berdasarkan pantauan dari peta indentifikasi bidang tanah dan cek kawasan-peta citra satelit pleiades tahun 2017, bahwa resolusi pada 05 m (natural colour), sebagian kawasan kebun kelapa sawit itu sudah dikuasai CV Jaya Setia Anugerah (JSA).
"Kawasan HPT itu pada patok titik koordinat 1, 2 dan 3 sudah berubah dan sudah rusak parah. Penyebab utama, hutan terbabat untuk kebun sawit," kata dia.
"Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemprov Riau diminta serius tangani kasus kebun sawit dalam kawasan hutan HPT tu," pinta Larshen Yunus.
Menurutnya, bekas-bekas perusakan di HPT itu tergambar illegal logging menggila disitu.
Dia sedang memikirkan pemecahan masalah ini. Dia menceritakan, kasus perubahan hutan menjadi kebun sawit, petugas masih mengejar-ngejar pemiliknya.
"Walaupun terlihat petugas terus berusaha melakukan penertiban baik pada warga yang menggarab lahan, tetapi kebun sawit milik CV JSA mendapat pendampingan dari salah satu asosiasi organisasi lingkungan dan sektor terkait. Ini yang masih kita kupas khusus mengatasi di HPT itu,” kata Larshen.
Ketika ditanya, apakah persoalan ini pihaknya sudah mendiskusikan ke aparat terkait?
“Dari mereka kami mendapatkan informasi-informasi dasar sangat berharga ini. Soal HPT di Rohil berubah menjadi kebun sawit terus saya pantau,” jawabnya.
Tetapi permasalahan terbesar HPT, adalah ekspansi kebun sawit baik legal maupun ilegal.
"Saya kira perkebunan sawit milik JSA jelas semua kita duga ilegal, tetapi kan harus ditinjau terlebih dahulu.Walaupun ada sejak 10 tahun terakhir, tetapi status perlindungan baru ditegaskan adanya penertiban perkebunan sawit ilegal oleh Pemprov Riau. Sebelum itu, HPT terbagi-bagi dalam status alokasi penggunaan lain, hutan lindung, hutan produksi, suaka margasatwa, cagar alam, dan taman hutan rakyat.
Dengan begitu, izin hak guna usaha (HGU) perkebunan di HPT belum ada peninjauan lagi. “Juga kepemilikan lahan. Seharusnya, pemerintah diperintahkan meninjau perizinannya.”
Kerusakan HPT, kata Larshen, sangat parah. Hampir seluruh batas kawasan hingga beberapa kilometer ke hutan, dirambah dan diduduki ilegal maupun legal.
“Aneh sekali, kita menemukan beberapa izin HGU dalam kawasan hutan.”
“Perubahan kawasan ini harus dihentikan. Hutan rusak harus direstorasi mencegah bencana ekologi. Ini sangat dikhawatirkan melihat laju perambahan, telah membuka hutan di lahan curam, sedangkan masyarakaat hidup di bawahnya. Kita tidak saja akan ditimpa longsor dan banjir, juga kehilangan air.”
Pemerintah, katanya, harus bekerja lebih keras lagi untuk menghentikan kerusakan hutan. Untuk itu, perlu kebijakan menyeluruh dan tindakan seluruh bagian pemerintahan, baik pusat maupun daerah, berikut penegak hukum. “Saat ini penanganan kerusakan masih sangat parsial,” katanya.
Menurut Larshen, harus ada peningkatan penegakan hukum hingga memberikan efek jera.
“Pengawasan dan perlindungan ketat, serta memberdayakan masyarakat sekitar. Tidak hanya dilakukan satu lembaga. Pemberdayakan masyarakat oleh kementerian, sampai dinas.”
Riau, katanya, sudah harus melupakan eksploitasi sumber daya hutan untuk pembangunan. Saat ini, wajib melindungi hutan. Jika itu, harimau, gajah dan orangutan akan punah bila semua gagal melindungi mereka.
Jadi Larshen khawatir, ketidakpastian kawasan hutan menjadi satu faktor perusakan. Pengukuhan kawasan hutan dan penertiban kebun sawit ilegal tidak kunjung selesai sedang perubahan peruntukan atau tata ruang ditengarai lebih banyak untuk kepentingan eksploitatif skala besar, bukan masyarakat, katanya sambil mencontohkan yang terjadi di HPT Rohil itu.
Tetapi Dr Gulat ME Manurung MP C.APO, CIMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dikonfirmasi lewat WhatShap (WA) Kamis 19 Mei 2022 soal adanya plank nama APKASINDO di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) di Dusun IV Manggala Kepenghuluan Sekeladi, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) yang kini sudah berganti jadi kebun sawit dikuasai CV Jaya Setia Anugerah (JSA) sebagai pemiliknya Asiong ini, Gulat tidak ingin menjawab.
Tetapi kembali saat dikonfirmasi pada Sabtu 21 Mei 2022 lewat WA nya, Ia hanya berujar, "gak papalah, Adek kita (Larshen Yunus-red) dia itu," ujarnya.
Namun kembali seperti disebutkan Larshen Yunus mengomentari kalau aturan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang terbit di penghujung tahun 2020 kemarin itu, menjadi dalil Pemerintah Provinsi Riau untuk membiarkan kebun sawit dalam kawasan hutan, "toh sama saja dengan UU Cilaka yang melindungi kebun sawit ilegal," sebutnya berumpama.
Dalil Pemerintah Provinsi Riau
Soal aturan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang terbit di penghujung tahun 2020, seperti diuraikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan Provinsi Riau, Makmun Murod, di media lokal mengatakan UU Cipta Kerja tidak menyatakan kebun sawit dalam kawasan hutan sebagai sesuatu yang ilegal, melainkan keterlanjuran.
"Dalam UU Cipta Kerja kebun seperti itu tidak dinyatakan secara ilegal, tetapi hanya berupa keterlanjuran. Karena itu penyelesaiannya adalah melalui administrasi, sedangkan ultimum remedium atau penegakan hukum pidana itu langkah terakhir," jelasnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bakal menginventarisir izin dari kebun-kebun yang berada di kawasan hutan di Riau. Katanya, jika nanti ada kebun yang tak memiliki izin maka diberi waktu untuk melengkapi administrasi.
"Tenggat waktu melengkapi administrasi diberikan selambatnya tiga tahun. Mereka harus melengkapi izin lokasi dan usaha perkebunan seperti, IUPB (Izin Usaha Perkebunan Budidaya) dan lainnya."
Sambung Murod, jika pemilik kebun nantinya melengkapi administrasi maka kebun tersebut akan dilepaskan dari kawasan hutan. Namun, bagi yang tidak melengkapi, maka dikenakan sanksi penghentian sementara pengelolaan kebun di kawasan hutan itu.
"Jadi,kalau ada isu yang mengatakan kami telah melakukan pembiaran terhadap kebun sawit ilegal yang berada di kawasan hutan itu tidak benar," tekannya.
Mengingat seperti disebutkan aktivis lingkungan hidup Provinsi Riau, Rhomes Irawan, menyatakan, dalam menyikapi persoalan lingkungan hidup, pemerintah terkadang menjadi bagian dari persoalan.
Ia mencontohkan bagaimana Kementerian Lingkungan Hidup menutup akses publik terhadap rencana kerja tahunan (RKT) rencana kerja usaha (RKU) perusahaan.
"Padahal melalui dokumen itu kita bakal tahu seperti apa rencana dan komitmen mereka terhadap lingkungan hidup, misalnya pemulihan gambut di area konsesi. Jadi kalau bicara regulasi di sektor lingkungan hidup, itu sudah padat, tergantung bagaimana pemerintah komit untuk tidak menjadi bagian dari persoalan," ujarnya.
Tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya telah meminta Pemerintah Provinsi Riau menertibkan kebun sawit ilegal pada tahun 2019. KPK mendapati adanya 1 juta hektar kebun sawit ilegal di Riau. Kebun-kebun tersebut telah menimbulkan kerugian bagi negara lebih dari Rp100 triliun, lantaran tak membayar pajak.
Diketahui, pada Januari 2020 Pemprov Riau melalui Dinas Lingkungan Hidup sudah membentuk tim penertiban kebun ilegal. Saat itu tim sudah melakukan pengukuran terhadap lahan perkebunan milik perusahaan seluas 80.885,59 hektare (ha). Dari jumlah itu, disebutkan 58.350,97 ha lahan perkebunan masuk dalam kawasan hutan. Kegiatan lantas terhenti ketika UU Ciptakerja diundangkan pada November 2020 lalu. (*)
Tags : hutan produksi terbatas, hpt, kawasan hutan produksi berganti kebun sawit, KNPI Riau Larshen Yunus, uu cipta kerja, kebun sawit ilegal ,