JAKARTA - Hilangnya satu dari lima kapal selam Indonesia, KRI Nanggala 402 (21/04), disebut akan berdampak pada sistem pengamanan laut Indonesia yang telah memiliki "celah rawan", kata peneliti.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies ( ISESS), Khairul Fahmi, menyebut idealnya Indonesia memiliki 12 kapal selam, mengingat luasnya laut Indonesia. Di sisi lain, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan akan melalukan investasi lebih besar dalam bidang alutsista yang disebutnya "mahal", "tanpa memengaruhi usaha pembangunan kesejahteraan."
Sementara itu, peneliti menyoroti anggaran Kementrian Pertahanan yang jauh lebih banyak digelontorkan untuk program-program di luar pengadaan alutsista. Saat ini Indonesia hanya memiliki lima kapal selam, dengan dua di antaranya sudah tua.
Kapal berusia 44 tahun, mengapa masih bisa dipakai?
Dalam tiga tahun terakhir, ini adalah kecelakaan ketiga yang melibatkan kapal TNI yang sudah tua. Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan KRI Nanggala, yang selesai dibangun 44 tahun silam di Jerman, masih dalam keadaan baik dan telah menerima surat kelaikan sebelum digunakan berlatih.
Yudo Margono mengatakan kapal itu sudah beberapa kali digunakan untuk menembakkan torpedo. "Jadi KRI Nanggala dalam keadaan siap tempur sehingga kita kirim, libatkan, untuk latihan..." kata Yudo dalam konferensi pers dirilis BBC News Indonesia, Kamis (22/04).
Di tahun 2020, kapal juga sudah dirawat (di docking) di PT PAL, sehingga "masih sangat layak". Namun, Riefqi Muna, Co-founder dan peneliti dari Research and Operations on Technology & Society (ROOTS), menyebut peristiwa ini seharusnya membuat Indonesia lebih ketat dalam menggunakan alutsista yang tua. "Dalam 10 tahun terakhir ini, ada kasus-kasus yang berkaitan dengan alutsista yang sudah tua dan berisiko kecelakaan, hilangnya prajurit TNI. Perlu ada safety rule yang strict demi kehati-hatian," kata Rieqfy.
Meski kecelakaan yang melibatkan kapal selam baru pertama kali terjadi, sebelumnya sempat terjadi kecelakaan kapal AL yang sudah tua. Tahun 2020 lalu, kapal perang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), KRI Teluk Jakarta-541 tenggelam di perairan arah timur laut Pulau Kangean, Jawa Timur. Kapal buatan Jerman Timur itu tenggelam di usia 41 tahun. Semua penumpang selamat dalam kecelakaan ini. Pada tahun 2018, KRI Pulau Rencong terbakar dan tenggelam di perairan Sorong, Papua Barat. Semua penumpang selamat dalam insiden yang menimpa kapal buatan 1979 itu.
Melihat kecelakaan-kecelakaan itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi mengatakan hilangnya KRI Nanggala 402 adalah "momentum kesekian" yang harusnya membuat Indonesia berbenah terkait armada lautnya. Kurang memadainya armada untuk melakukan penjagaan di laut disebutnya berakibat pada "celah keamanan" di laut Indonesia.
Ia mengatakan Indonesia harusnya memiliki 12 kapal selam. "Perairan kita luas. Ada tiga alur laut yang harus dijaga dan sebagian di antaranya merupakan perairan yang dalam. Artinya, kita tidak bisa hanya mengandalkan patroli permukaan. Padahal kawasan kita ini juga ramai kegiatan di bawah permukaan," ujar Khairul.
Secara kekuatan kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga memang bisa dibilang tangguh. Tapi dari segi kemampuan, menangkal ancaman, dan penegakan keamanan, armada kita masih jauh dari cukup. Pada awal tahun ini, misalnya, diberitakan bahwa ditemukan kendaraan nirawak bawah laut (unmanned underwater vehicle-UUV) atau seaglider di teritorial Indonesia yang menurut pengamat militer merupakan bentuk gangguan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia. "Dan kapal selam dalam jumlah yang cukup, akan lebih mampu menghadirkan efek deterrentyang signifikan bagi keamanan dan kedaulatan di laut. Persoalannya, anggaran kita belum bisa menjawab kebutuhan itu," tambahnya.
Mengapa pemerintah tak membeli lebih banyak kapal selam?
Dalam konferensi pers Rabu (22/04), Menhan Prabowo Subianto mengatakan pengadaan alutsista "cukup mahal". "Alutsista di bidang pertahanan memang cukup mahal, bahkan bisa saya katakan sangat mahal. Karena itu pimpinan negara selalu dihadapkan dengan dilema harus mengutamakan pembangunan kesejahteraan, tapi menjaga kemampuan pertahanan supaya kedaulatan kita tidak diganggu," kata Prabowo.
Ia mengatakan banyak alutsista, yang karena "keterpaksaan dan karena mengutamakan pembangunan kesejahteraan", belum dimodernisasi dengan cepat. Kementeriannya, kata Prabowo, sudah menyusun rencana induk 25 tahun untuk membenahi urusan pertahanan. "Tapi intinya memang, kita akan investasi lebih besar tanpa memengaruhi usaha pembangunan kesejahteraan. Kita sedang merumuskan pengelolaan pengadaan alutsista untuk lebih tertib, lebih efisien," kata Prabowo.
Bagaimana pembagian anggaran di AD, AL, dan AU?
Berdasarkan data APBN 2021, Kementerian Pertahanan adalah kementerian kedua dengan anggaran terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yakni dengan anggaran mencapai hampir Rp137 triliun. Di tahun 2021, anggaran pengadaan alutsista adalah sekitar Rp9,3 triliun, sebagaimana dikutip dari Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran tahun anggaran 2021.
Untuk perawatan dan modernisasi alutsista, Angkatan Darat mendapat sekitar Rp3,8 triliun, Angkatan Laut sekitar Rp8 triliun, dan yang terbesar Angkatan Udara sebesar R8,1 triliun. Sementara itu, di tahun 2020, Kementerian Pertahanan sempat dikritik akibat membeli 500 kendaraan militer Pindad di tengah pandemi virus corona. Selain tidak mendesak dan jumlahnya terlalu banyak, peneliti mengatakan kebutuhan keperluan alat utama sistem pertahanan atau alutsista yang diperlukan Indonesia adalah di laut dan udara.
Peneliti Khairul Fahmi juga menyorot besarnya anggaran belanja non-alutsista, seperti untuk gaji pegawai, yang besarnya lebih dari 50% dari total anggaran. "Kalau porsi non-alutsista ini bisa lebih kecil, maka porsi untuk kebutuhan alutsista kan bisa diperbesar. Begitu juga untuk riset," ujarnya.
Meski demikian, Sugiono, anggota Komisi I DPR dari Partai Gerindra, mengatakan tak sepakat jika anggaran di pos-pos lain selain alutsista perlu diirit. "Selain alutsista, profesionalitas dan kesejahteraan prajurit juga harus diperhatikan. Masa sih gaji dan kesejahteraan prajurit yang sudah kecil harus diperkecil lagi?" ujarnya.
Menurutnya, yang harus dilakukan adalah peningkatan anggaran pertahanan. "Menurut saya anggaran pertahanan harus diperbesar jika kita memang concern terhadap pertahanan kita," kata Sugiono.
Keluarga masih syok
Selagi operasi pencarian digencarkan atas KRI Nanggala 402, keluarga para awak kapal selam tersebut masih menunggu kepastian. Ratih Wardhani mengaku "menunggu dan berdoa" atas nasib kakaknya, Mayor Laut Wisnu Subiyantoro, yang merupakan satu di antara 53 awak kapal selam tersebut. Menurut Ratih, kakaknya terakhir berjumpa dengan dua anak dan istrinya di Surabaya sebelum pergi berlayar pada Senin 19 April 2021. "Kami semua masih syok," sebutnya.
Ratih kini berencana bertolak dari rumahnya di Kebumen, Jawa Tengah, ke Surabaya untuk mendampingi kakak iparnya dan kedua keponakannya sekaligus menunggu kepastian nasib Mayor Laut Wisnu Subiyantoro. Sebelum menjadi awak KRI Nanggala, pria kelahiran 24 Agustus 1971 itu merupakan awak KRI Cakra—kapal selam serupa yang juga dibuat di HDW (Howaldtswerke Deutsche Werft) Jerman.
Dia memulai pendidikan Sekolah Calon Bintara TNI AL sekitar 1989, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Calon Perwira. Operasi pencarian atas KRI Nanggala 402 yang hilang di perairan utara Bali pada Rabu (21/04) terus dilakukan di tengah makin menipisnya persediaan oksigen di kapal selam TNI Angkatan Laut itu. Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Yudo Margono, mengungkapkan bahwa KRI Nanggala 402 memiliki persediaan oksigen untuk 72 jam ke depan, atau sekitar tiga hari setelah hilang kontak.
"Jadi bila hilang kontak kemarin jam 3 jadi sampai hari Sabtu jam 3 cadangan oksigen masih ada," kata KSAL dalam jumpa pers bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Badung, Bali Kamis (22/04).
KSAL mengungkapkan bahwa KRI Nanggala 402 sebelum hilang kontak tengah mengikuti latihan penembakan rudal dan torpedo. Latihan yang digelar TNI AL itu diikuti 21 kapal KRI, 5 pesawat dan 2 kapal selama, termasuk KRI Nanggala 402. Namun, sejak hilangnya kapal selam dengan 53 awak itu, latihan dihentikan dan kini semuanya terfokus pada pencarian.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Achmad Riad, mengatakan sebanyak 21 kapal perang dan satu pesawat patroli maritim telah dikerahkan untuk mencari KRI Nanggala. Salah satunya adalah KRI Rigel 933 yang merupakan kapal survei hydro oseanografi. Kapal ini memiliki kemampuan deteksi bawah air. Kapal ini juga yang digunakan untuk beberapa operasi SAR yang lalu, seperti saat kejadian jatuhnya pesawat Lion Air di Tanjung Karawang dan Sriwijaya Air di Kepulauan Seribu.
TNI juga telah menerima bantuan dari Singapura, Malaysia, Australia, dan India. Singapura akan mengutus kapal Swift Rescue yang berfungsi sebagai kapal penyelamat kapal selam yang mengalami kendala di bawah air. Adapun Malaysia akan mengirimkan Kapal Rescue Mega Bakti yang diperkirakan tiba Senin (26/04). Selain kedua negara itu, Australia mengutus dua kapal (HMAS Ballarat dan HMAS Sirius) dan India mengirim satu kapal (SCI Sabarmati).
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga akan membantu pencarian dengan mengerahkan gabungan BPPT, Basarnas dan P3GL (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan) dengan menggunakan kapal Basarnas.
Jejak bahan bakar
Melalui pengamatan udara dari helikopter, pada pukul 07:00 WIB ditemukan tumpahan minyak di sekitar posisi awal kapal menyelam. Temuan serupa dilaporkan KRI REM 331 pada area seluas 150 m persegi. Keterangan dari TNI AL menyebutkan analisa sementara menunjukkan, "kemungkinan saat menyelam statis terjadi black out (atau mati listrik) sehingga kapal tidak terkendali dan tidak melakukan prosedur kedaruratan sehingga kapal jatuh pada kedalaman 600-700 meter.
Di seputar area tenggelam menunjukkan "kemungkinan terjadinya tumpahan minyak di sekitar area tenggelam, kemungkinan terjadi kerusakan tangki BBM (retak) karena tekanan air laut atau pemberian sinyal posisi dari KRI NGL-402."
Akan tetapi, berdasarkan keterangan Kapuspen TNI, Mayjen Achmad Riad, temuan tersebut "belum dapat disimpulkan sebagai bahan bakar kapal selam". Ditambahkannya, KRI REM 331 mendeteksi pergerakan di bawah air dengan kecepatan 2.5 knots. "Kontak tersebut kemudian hilang, sehingga masih tidak cukup data untuk mengidentifikasi kontak dimaksud sebagai kapal selam," papar Mayjen Achmad Riad.
Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Julius Widjojono mengungkapkan kepada BBC News Indonesia bahwa pencarian tidak akan berhenti dan akan dilakukan 24 jam. Dia juga mengungkapkan ini baru kali pertama kapal selam TNI AL hilang. Julius mengatakan pencarian dilakukan di perairan Bali Utara dengan kedalaman sekitar 700 meter.
TNI AL juga telah mengirimkan distres ISMERLO ( International Submarine Escape and Rescue Liaison officer). Keterangan lain menyebutkan terdapat tumpahan minyak di lokasi kontak terakhir. Ketika ditanya mengapa bisa hilang, Julius mengatakan, "Kapal ini sudah 40 tahun lebih, dengan risiko tekanan yang cukup besar, materialnya cukup bisa lelah."
KRI Nanggala 402 dibuat di HDW (Howaldtswerke Deutsche Werft) Jerman pada 1977 dan mulai digunakan pada 1981, dengan kecepatan jelajah 21,5 knot. Tercatat KRI Nanggala beberapa kali melaksanakan pemeliharaan dan overhaul di Jerman, PT. Pal dan terakhir di Korea Selatan pada tahun 2007 hingga 2012. Kapal selam ini hilang kontak ketika tengah latihan penembakan senjata strategi di perairan Selat Bali.
Bagaimana kronologinya?
Dalam jumpa pers pada Kamis (22/04), Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Achmad Riad, mengatakan KRI Nanggala melaksanakan penyelaman pada pukul 03.46 waktu setempat. Kemudian pada pukul 04.00, kapal tersebut melaksanakan penggenangan peluncur torpedo no. 8. Aksi ini, menurut Mayjen Achmad Riad, adalah komunikasi terakhir dengan KRI Nanggala. Pada pukul 04.25 saat Komandan Gugus Tugas Latihan akan memberikan otorisasi penembakan torpedo, komunikasi dengan Nanggala sudah terputus.
Apa yang dapat menyebabkan kapal selam hilang?
Kecelakaan kapal selam di dunia militer termasuk jarang, kata Muhammad Haripin, pengamat pertahanan LIPI. Peralatan militer punya standar yang lebih tinggi dibandingkan produk komersial atau produk sipil, katanya. Haripin mengatakan ada dua faktor penyebab kecelakaan kapal selam. "Yang pertama, kendala teknis. Mungkin ada kerusakan teknis yang tidak terdeteksi atau yang dibiarkan berlarut-larut. Yang kedua, human error, atau faktor manusia," kata Haripin.
"Bisa jadi, personel kurang latihan atau dihadapkan pada medan atau lapangan yang menantang atau tidak lazim," tambahnya.
Kapal selam ini mengangkut 53 orang, terdiri dari 49 anak buah kapal, satu komandan dan tiga orang pakar persenjataan. Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengatakan seperti dikutip sejumlah laporan, seluruh kapal pencari dikerahkan untuk melacak KRI Nanggala-402. Kapal selam KRI Nanggala 402 adalah satu dari lima kapal selam yang dimiliki Indonesia.
Kapal selam ini sempat diperbarui dan dilengkapi lagi selama dua tahun di Korea Selatan dan selesai pada 2012, menurut kantor berita Reuters. Kecelakaan kapal selam pernah terjadi pada 2017 di Argentina di selatan Samudra Atlantik dengan 44 awak. Puing-puing kapal ditemukan setahun kemudian dan para pejabat memastikan kapal selam itu pecah karena tekanan. (*)
Tags : Kapal Selam KRI Nanggala Hilang, Apa Dampaknya Bagi Keamanan Laut Indonesia,