SULAWESI TENGGARA - Tenggelamnya kapal penumpang di Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara yang menewaskan belasan orang pada Senin 24 Juli 2023 menggambarkan standar keamanan transportasi perairan "masih memprihatinkan", khususnya pada operasional kapal-kapal tradisional, kata pengamat.
Basarnas Kendari menghentikan operasi pencarian korban pada Senin siang setelah 48 penumpang ditemukan, dengan kondisi 15 orang meninggal dan 33 lainnya selamat. Dua di antara korban selamat dirawat di Puskesmas Mawasangka Timur.
Kepala Basarnas Kendari Muhammad Arafah memperbarui data jumlah penumpang, yang sebelumnya disebut sebanyak 40 orang. Perbedaan data itu terjadi karena sebagian penumpang yang selamat langsung pulang ke rumah tanpa melapor lebih dulu.
"Dengan ditemukannya seluruh penumpang kapal tersebut, operasi SAR terhadap kecelakaan kapal penyeberangan antardesa yang tenggelam di Teluk Mawasangka Tengah dinyatakan selesai dan ditutup," kata Arafah dalam pernyataannya diriilis BBC News Indonesia.
Dihubungi terpisah, Humas Basarnas Kendari, Wahyudi mengatakan bahwa kapal yang tenggelam adalah kapal rakyat yang digunakan untuk menyeberangi Teluk Mawasangka dari Desa Lanto menuju Desa Lagili.
Para penumpang kapal itu hendak pulang ke Desa Lagili setelah menonton acara ulang tahun Kabupaten Buton Tengah di Kecamatan Mawasangka Tengah.
"Memang [penumpang] tidak ada yang pakai pelampung, karena kapal-kapal rakyat itu kan jarak tempuhnya cuma satu kilometer. Dan tempat kejadiannya itu berjarak 100 meter dari pelabuhan," kata Wahyudi.
Menurut keterangan Tim SAR, kapal "miring dan bocor" sehingga tidak bisa dikendalikan lagi, dan berujung terbalik.
Sementara itu, Kapolres Buton Tengah AKBP Yanna Nurhandiana mengatakan tenggelamnya kapal diduga karena "kebanyakan penumpang". Sejauh ini, polisi telah "mengamankan" nahkoda kapal.
"Untuk kapal tersebut [semestinya] hanya 15 sampai 20 orang," kata Yanna dalam wawancara dengan Kompas TV.
Menurut beberapa saksi yang diperiksa polisi, operator kapal telah diperingatkan bahwa kapal itu "kelebihan kapasitas".
"Tapi tetap dari pihak operator memasukkan penumpang tersebut," kata dia.
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan kasus ini adalah gambaran dari banyaknya kapal tradisional di Indonesia yang beroperasi tanpa memenuhi standar keselamatan.
Perbedaan data jumlah penumpang dalam operasi SAR pun menunjukkan kemungkinan tidak ada daftar manifes penumpang yang menjadi acuan penyelamatan korban dalam situasi seperti ini.
"Ironis, padahal Indonesia negara maritim tapi kecelakaan pelayarannya banyak. Ini bukti bahwa keselamatan perairan enggak dipikirkan," kata Djoko kepada BBC News Indonesia.
"SOP [standar operasional prosedur] itu ada, tapi kembali lagi sejauh mana pengawasannya? Apakah kapal ini berangkat ada izinnya?" sambungnya.
Standar keselamatan yang rendah, sambung Djoko, juga terjadi karena minimnya pembinaan terhadap pengelola transportasi perairan di daerah-daerah serta masyarakat yang menggunakannya.
"Makin ke daerah, pengawasannya makin minim. Sering kali kapal tradisional itu digunakan masyarakat secara turun temurun, tapi pemahaman soal keselamatannya tidak diturunkan. Pelampung saja sering kali tidak ada. Jadi penting dilakukan pembinaan keselamatan juga," jelas Djoko.
"Pemilik kapal disuruh memperbarui kapal pun tidak ada uangnya. Kadang-kadang pelampung saja tidak ada, hanya mengandalkan [penumpang] bisa berenang. Siapa yang membina dan mengawasi kapal-kapal rakyat seperti ini?" tuturnya.
Berdasarkan catatan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), jumlah kecelakaan transportasi perairan cenderung menurun dari 2018 hingga 2022.
Pada 2018, tercatat 41 kecelakaan pelayaran, kemudian menurun menjadi 23 kasus pada 2019, 12 kasus pada 2020, 19 kasus pada 2021, dan 13 kasus pada 2022.
Namun, menurut Djoko, data itu belum menggambarkan situasi seutuhnya. Sebab, KNKT hanya mendata kasus-kasus kecelakaan pada jenis transportasi perairan yang masuk dalam wewenang mereka.
Dalam kasus ini, KNKT mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa mereka tidak akan menginvestigasi kasus ini karena "jenis kapal yang mengalami kecelakaan tidak masuk kategori kapal yang diinvestigasi KNKT".
Itu artinya, kata Djoko, ada kemungkinan kasus-kasus kecelakaan kapal tradisional seperti yang terjadi di Buton Tengah tak tercatat, sehingga aspek keselamatannya juga tak pernah dievaluasi. Hal itu terjadi karena kapasitas KNKT "yang terbatas".
"Terlalu banyak [yang perlu dievaluasi], tapi KNKT anggarannya terbatas. Seharusnya KNKT bisa evaluasi kapal-kapal di Indonesia itu layak atau tidak, supaya ada upaya pencegahan," kata Djoko.
Padahal pada 2018 lalu, Menteri Perhubungan pernah menyerukan agar ada reformasi peraturan untuk meningkatkan kualitas keselamatan setelah tenggelamnya kapal motor Sinar Bangun di Danau Toba.
Menurut Joko, perubahan pada aspek keselamatan itu hanya terjadi di Danau Toba, "tapi tidak untuk transportasi perairan secara menyeluruh di Indonesia". (*)
Tags : kapal tenggelam, buton sulawesi tenggara, kapal tenggelam menewaskan 15 orang, transportasi,