Kesehatan   2024/03/17 22:57 WIB

Kasus Demam Berdarah Melonjak, ‘Sepertinya Fogging Hanya Bisa Beri Rasa Aman yang Semu‘

Kasus Demam Berdarah Melonjak, ‘Sepertinya Fogging Hanya Bisa Beri Rasa Aman yang Semu‘
Petugas melakukan pengasapan insektisida untuk membunuh nyamuk yang menyebarkan virus dengue di Banda Aceh, 30 Agustus 2022

KESEHATAN - Penyakit demam berdarah dengue [DBD] menjangkiti ratusan orang di sejumlah kabupaten dalam beberapa hari terakhir.

Merujuk data Kementerian Kesehatan, 124 orang telah meninggal akibat penyakit ini selama Januari dan Februari 2024 lalu.

Seperti yang terjadi di Riau kasus DBD nya masih tertinggi di tahun ini.

"Dari 12 Kabupaten kota se Provinsi Riau, Kota Pekanbaru menduduki peringkat pertama kasus DBD terbanyak se Provinsi Riau pada awal tahun 2024 ini," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Sri Sadono Mulyanto, Selasa (12/3/2024) kemarin.

Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau, sepanjang Januari 2024, tercatat total kasus DBD di Pekanbaru mencapai 67 kasus. Sementara di urutan kedua Kampar 41 kasus, ketiga Pelalawan 38 kasus.

Sementara untuk urusan keempat dan seterusnya masing-masing diduduki oleh Siak 23 kasus, Inhil 13 kasus, Kuansing 9 kasus, Dumai dan Bengkalis masing-masing 8 kasus, Inhu 7 kasus, Rohul 5 kasus, Rohil 4 kasus dan di urutan terakhir adalah Kabupaten Kepulauan Meranti 3 kasus.

Diskes Riau juga telah menginstruksikan kepada petugas kesehatan ditingkat paling bawah, yakni di Puskesmas untuk turun langsung ke permukiman.

"Saya minta kader di Puskesmas turun ke langsung tengah masyarakat dan secara masif menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana mencegah penyakit demam berdarah ini dengan menerapkan 3M plus dan membentuk kader Jumantik," terang Sri Sadono Mulyanto.

Terjadi peningkatan kasus DBD di Riau jika dibandingkan dengan periode yang sama, yakni antara Januari 2023 dengan Januari 2024.

"Pada Januari 2023 lalu ditemukan kasus DBD sebanyak 200 kasus. Sedangkan pada Januari 2024 ini total kasus DBD di Riau mencapai 226 kasus. Artinya ada peningkatan 26 kasus jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya," katanya.

Pihaknya mengimbau kepada masyarakat agar tetap waspada dan selalu menerapkan perilaku hidup sehat dan bersih.

Agar kasus DBD tidak terus bertambah, pihaknya mengimbau agar setiap rumah harus ada juru pemantau jentik (Jumantik) yakni anggota keluarga di masing - masing rumah.

"Jadi 3 M itu yang harus digiatkan. Mulai dari kamar mandi tempat bersarang. Karena kalau tiga hari sekali kita kuras dan bersihkan, itu pasti tidak ada telur, kalau tidak ada telur tidak ada jentik, dan kalau tak ada jentik pasti tak ada nyamuk," katanya.

Sebagai informasi, dalam kurun waktu satu tahun, selama tahun 2023 lalu, total ada 15 warga Riau yang meninggal dunia akibat penyakit DBD. Pada tahun 2023 lalu, Dinas Kesehatan Riau mencatat ada 1.743 kasus DBD di Riau.

Total muncul hampir 16 ribu kasus demam berdarah dengue di Indonesia dalam dua bulan terakhir. Angka ini melonjak dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023.

Secara nasional, angka kasus demam berdarah dengue juga cenderung meningkat selama tiga pekan terakhir, kata Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan. Dia berujar, seluruh pihak mesti mewaspadai tren tersebut.

Di Ponorogo, Jawa Timur, kasus demam berdarah dengue juga terus melonjak. Mengutip Detik, RSUD Harjono Ponorogo merawat 30 pengidap demam berdarah dengue pada Januari dan 130 orang selama Februari lalu. Untuk Maret, pasien yang mereka tangani telah mencapai 90 orang.

Sementara di Kota Bandung, Jawa Barat, kasus demam berdarah dengue sejak Januari lalu telah mencapai 615 orang—enam di antaranya meninggal dunia. Angka itu, menurut dinas kesehatan setempat, lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu.

‘Kasus selalu banyak pada awal tahun’

Jumlah kasus demam berdarah dengue selalu mengikuti pola yang sama setiap tahun: mulai meningkat pada Desember dan akan mencapai puncak pada April, kata Dokter Ngabila Salama, Kepala Seksi Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD Tamansari Jakarta.

Ngabila menyebut tiga faktor yang memicu pola peningkatan kasus demam berdarah dengue pada periode Desember sampai April tersebut.

Pertama, musim hujan berpotensi membuat banyak genangan air yang berpotensi menjadi lokasi nyamuk berkembang biak. Ini berkaitan dengan faktor kedua, yaitu kelembaban udara tinggi pada musim hujan memudahkan nyamuk Aedes aegepty beranak pinak.

Faktor ketiga, kata Ngabila, imunitas seseorang cenderung menurun pada musim pancaroba—hujan yang berganti panas secara terus-menerus.

Sebelumnya, hal serupa dikatakan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular di Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi.

Menurutnya, fenomena iklim El Nino yang memicu suhu panas dan kekeringan di Indonesia selalu diikuti La Nina yang mendorong hujan. Imran berkata, situasi itu memicu munculnya banyak tempat perindukan dan penetasan telur nyamuk Aedes aegepty.

"Cuma hujannya sekarang itu kan enggak sopan ya, hujan sehari kemudian panas, kemudian hujan lagi 4 hari. Justru hujan seperti ini lah yang membahayakan," kata Imran, pekan lalu.

Karena tampungan air itu tidak tergantikan, jadi ada nyamuk yang bertelur di situ sehingga masih bisa menetas.

Lebih baik hujan deras atau hujan setiap hari sehingga ini terganti terus.

Tetapi selama ini masyarakat kalau ada kasus demam, karena kecurigaan demam berdarah, langsung pemda melakukan fogging.

Padahal bukan seperti itu penanganannya. Justru pemberantasan sarang nyamuknya yang harus digerakkan, kata Riris Andono Ahmad, peneliti nyamuk sekaligus Direktur Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

“Fogging itu kita lakukan kalau di situ ada fokus infeksinya,“ ucapnya.

“Fogging tidak menyelesaikan masalah, hanya membasmi nyamuk dewasa,“ ujarnya.

“Telur-telur nyamuk masih banyak di sudut-sudut lingkungan, satu-dua minggu setelah fogging jumlah populasi nyamuk akan bertambah dan kembali lagi seperti sebelumnya.

“Fogging hanya memberi rasa aman semu,“ tuturnya.

Riris berkata, efektivitas pengasapan lingkungan bergantung pada kualitas insektisida. Tanpa pengawasan yang ketat, dia menyebut pengasapan kerap sia-sia karena nyamuk telah resisten dengan insektisida tertentu.

Mitigasi perlu peran pemerintah

Riris menyebut pemberantasan sarang nyamuk vital dilakukan di tingkat individu dan keluarga. Namun pemerintah perlu mengoordinasikan gerakan ini agar upaya mitigasi bisa berjalan serentak dan berkesinambungan.

“Dulu ada gerakan Jumat Bersih. Pemerintah bisa mengaktivasi gerakan ini lagi supaya masyarakat tidak hanya secara individu tapi secara terkoordinasi melakukan pencegahan di lingkungan mereka,“ ujar Riris.

Selain pemberantasan sarang nyamuk, hal vital lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah menelisik ada tidaknya transmisi lokal. Inilah yang disebut Riris menentukan perlu tidaknya pengasapan di suatu wilayah.

Riris berkata, pemerintah juga mesti memastikan ruang perawatan di rumah sakit dan puskesmas cukup untuk menampung pengidap demam berdarah.

Bagaimana kabar nyamuk wolbachia?

Pada tahun 2016 silam, telur nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia dilepaskan di sejumlah lokasi di Yogyakarta. Program itu menjadi percontohan inovasi mencegah nyamuk aedes aegypti menularkan virus ke manusia.

Riris berkata, program wolbachia di Yogyakarta merupakan preseden positif dalam mitigasi penularan demam berdarah. Jumlah kasus penyakit itu di Yogyakarta menurun setelah program wolbachia.

Kementerian Kesehatan tahun lalu menguji inovasi yang dilakukan UGM dan Monash University Australia itu di lima wilayah: Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang, dan Bontang.

Namun masyarakat—yang responsnya terpecah terhadap program wolbachia—belum akan merasakan efektivitas wolbachia, kata Riris.

“Kita akan melepaskan nyamuk sampai populasi nyamuk berbakteri wolbachia-nya mencapai 60%. Itu butuh waktu sekitar enam bulan, kalau programnya berjalan normal,“ ujar Riris.

Riris berkata, waktu enam bulan dibutuhkan perlu 12 kali penyebaran nyamuk wolbachia, setiap 2 minggu. Selain itu, dia menyebut inovasi wolbachia akan berjalan efektif ketika diterapkan di wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Februari lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut pihaknya membutuhkan waktu yang lebih lama agar program wolbachia efektif, yaitu 18 sampai 24 bulan.

Namun Budi menekankan bagaimana publik semestinya menerima inovasi wolbachia sebagai sesuatu yang terbukti secara akademik dan medis. Selama ini sebagian kalangan menolak program ini karena sejumlah kabar bohong alias hoaks.

“Memang DBD ini setiap kali ada El Nino, di seluruh dunia naik, nah kita juga sudah antisipasi, itu sebabnya kita jalankan pilot project wolbachia, dari yang tadi hanya di Yogyakarta, karena di Yogya terbukti turun, turunnya itu drastis sekali,“ kata Budi.

Merujuk data Kementerian Kesehatan sejak 2012-2015, jumlah kasus demam berdarah dengue di Indonesia naik dari 90.245 hingga 129.500 kasus.

Kemudian pada 2016 melonjak drastis menjadi 204.171 kasus.

Pada 2017-2018 turun di angka 65.602 kasus dan pada 2019 kembali naik hingga 138.127 kasus.

Lalu di tahun 2020 jumlah kasus DBD turun di angka 108.303 dan setahun setelahnya kembali turun menjadi 73.518.

Pada tahun 2022 kasus DBD tercatat sebanyak 143.184.Tahun lalu jumlah kasusnya turun menjadi 98.071.

Adapun, sejak Januari hingga akhir Februari 2024, terdapat 15.977 kasus DBD dengan 124 kematian di seluruh wilayah Indonesia. Angka itu naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023, yang terdapat 12.502 kasus dengan 101 kematian. (*)

Tags : Obat, Teknologi, Masyarakat, Kesehatan perempuan, Vaksin, Anak-anak, Kesehatan, Sains,