PENDIDIKAN - Seorang mahasiswi diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kasus ini adalah satu dari sekian banyak kasus serupa di perguruan tinggi di Indonesia dengan tren menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Pihak kampus telah mencopot jabatan dosen tersebut, sekaligus memberikan skorsing selama tiga semester. Namun sejumlah mahasiswa Unhas dan pendamping korban menganggap sanksi ini tak sebanding dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan.
Penolakan sanksi kepada dosen yang diduga melakukan kekerasan seksual diwujudkan sejumlah mahasiswa Unhas melalui rangkaian demonstrasi.
Dalam perkembangan terbaru, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unhas merekomendasikan Rektorat Unhas untuk memberikan sanksi tambahan berupa pemberhentian kepada dosen yang diduga melakukan pelecehan seksual.
"Kami memberikan masukan kepada rektor untuk diusulkan tambahan satu sanksi lagi, yaitu pemberhentian tetap sebagai ASN dosen. Tapi karena ini bukan kewenangan rektor, rektor mengirim surat kepada menteri [pendidikan tinggi, sains dan teknologi]dan itu nanti akan semua keputusan itu ada pada menteri,” ujar Ketua Satgas PPKS Unhas, Prof. Dr. Farida Patittingi, pada Jumat (29/11).
Sayangnya, terduga pelaku ketika dihubungi untuk dimintai keterangan yang bersangkutan tidak memberikan respons.
Kasus dugaan kekerasan seksual di Unhas adalah satu dari sekian banyak kasus serupa di perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, trennya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Menurut Komnas Perempuan, tren kenaikan ini disebabkan semakin banyak korban yang melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Pada saat bersamaan, semakin banyak pula perguruan tinggi yang membentuk Satgas PPKS.
Kasus ini terungkap saat korban—seorang mahasiswi tingkat akhir—melaporkan pelecehan yang dialaminya saat melakukan konsultasi skripsi 25 September lalu.
Menurut korban, awalnya proses bimbingan skripsi dengan seorang dosen berjalan seperti biasanya. Namun ketika korban izin pulang, dosen tersebut tidak mengizinkannya. Saat itulah, korban mengeklaim, pelecehan seksual terjadi.
Korban lalu melapor ke Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas dan kasusnya pun ditangani.
Setelah melakukan investigasi, Satgas PPKS Unhas mengeklaim terduga pelaku “terbukti melakukan pelecehan seksual” dan menjatuhkan “sanksi berat” kepada dosen tersebut.
“Sanksi yang kami berikan berat, saat proses pemeriksaan langsung dinonaktifkan dari jabatan akademik yang diberikan dan diberhentikan sementara untuk melaksanakan tugas tridarma mulai semester ini ditambah dua semester depan,” jelas Ketua Satgas PPKS Unhas Prof. Dr. Farida Patittingi, dalam keterangan persnya pada Senin (18/11).
“Jadi secara keseluruhan, haknya sebagai dosen diberhentikan sementara hingga satu tahun setengah,” lanjut Farida.
Sanksi tersebut meliputi pemberhentian tetap sebagai Ketua Gugus Penjaminan Mutu dan Peningkatan Reputasi dan pembebasan sementara dari tugas pokok dan fungsinya sebagai dosen selama semester ini dan tambahan dua semester mendatang, yaitu Semester Akhir Tahun Akademik 2024/2025 dan Semester Awal Tahun Akademik 2025/2026.
Satgas PPKS Unhas mengeklaim telah menunjukkan “komitmen tegas” terhadap pemberantasan kekerasan seksual di lingkungan kampus dengan menjatuhkan “sanksi berat” kepada dosen tersebut.
Akan tetapi, sanksi yang diklaim “berat” ini dipertanyakan oleh pendamping korban, Aflina Mustafainah.
“Kalau seandainya Unhas hanya memberikan skorsing tiga semester, satu tahun setengah kemudian ada orang diajar oleh orang ini, maksudnya gimana ya?”
“Kayak ada hal yang aneh gitu,” lanjutnya.
Senada, sejumlah mahasiswa Unhas mengaku tidak puas dengan sanksi yang diberikan kepada dosen yang diklaim terbukti melakukan pelecehan seksual.
‘Banyak persoalan kekerasan seksual yang tidak selesai di Unhas’
Mahasiswa Unhas kemudian menggelar rangkaian demonstrasi sebagai aksi solidaritas terhadap korban dan bentuk mosi tidak percaya kepada Satgas PPKS.
“Teman-teman sendiri melihat itu bukan sanksi yang berat, apalagi skorsing ini karena teman-teman juga lihat banyak persoalan kekerasan seksual yang tidak selesai di Unhas," ujar salah satu mahasiswa, Imo—yang menghendaki nama lengkapnya tidak dipublikasikan.
“Itu sebenarnya hal yang betul-betul sangat disayangkan penanganan kasus KS (kekerasan seksual), apalagi melibatkan dosen dan mahasiswa,” lanjutnya.
Pada Juni silam, sebanyak empat mahasiswi melaporkan kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan dosen pembimbing tugas akhir mereka.
Peristiwa pelecehan seksual itu diduga terjadi pada 2023, saat para mahasiswi sedang mengurus administrasi studi akhir.
Puncaknya, pada Kamis (28/11) malam, terjadi pembakaran di sekitar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas oleh orang tidak dikenal. Sebanyak 32 mahasiswa diamankan polisi untuk dimintai keterangan.
Ketua Kongres Keluarga Mahasiswa FIB Unhas, Fatir menjelaskan, sebelum penyerangan dan pembakaran gedung itu, sejumlah mahasiswa FIB Unhas menggelar aksi unjuk rasa terkait kasus pelecehan dilakukan oknum dosen.
Para mahasiswa itu menilai hukuman untuk dosen tersebut terlalu ringan.
"Pada pukul 3 sore mahasiswa FIB kembali menggelar aksi solidaritas terkait kasus yang sedang beredar, aksi tersebut berlangsung hingga pukul sore, aksi tersebut berlangsung kondusif," jelas Fatir pada Jumat (29/11) seperti dikutip dari detik.com.
Tak lama kemudian, muncul beberapa orang tidak dikenal yang dia sebut tiba-tiba menyerang mahasiswa.
Ia menduga penyerangan ini tidak ada kaitan dengan aksi menolak pelecehan seksual yang dilakukan seorang dosen dan pemberhentian salah satu mahasiswa FIB Unhas
Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Devi Sujana, mengungkapkan pihaknya belum dapat menyimpulkan motif penyerangan dan pembakaran.
Dia juga belum dapat memastikan apakah kasus tersebut berkaitan dengan kasus dosen melecehkan mahasiswi hingga kasus seorang mahasiswa disanksi DO.
Devi juga mengeklaim pihaknya masih melakukan pendalaman untuk memastikan apakah para mahasiswa yang diamankan terlibat kasus pembakaran.
“Yang diamankan belum ada bukti ke pelaku karena kebetulan hanya ada di TKP. Kami masih pendalaman,” ujar Devi pada Jumat (29/11) seperti dikutip dari detik.com.
Menyikapi insiden pembakaran gedung FIB, Rektorat Unhas mengeluarkan surat edaran menghentikan sementara kegiatan mahasiswa secara tatap muka.
Mulai 29 November hingga 1 Desember, kegiatan belajar dilakukan secara daring.
Dalam perkembangan terbaru, Ketua Satgas PPKS Unhas Farida Patittingi, mengatakan bahwa pihaknya merekomendasikan kepada pihak rektorat untuk memberikan sanksi pemberhentian kepada dosen yang diduga melakukan pelecehan seksual.
“Kami merekomendasikan kepada rektor, pemberhentian tetap sebagai ASN baik itu dosen maupun tenaga kependidikan,” kata Prof Farida, Jumat (29/11).
Rekomendasi ini, kata Farida, muncul setelah mendengar aspirasi dari berbagai pihak, termasuk desakan mahasiswa.
Akan tetapi, lanjutnya, pemberhentian itu bukanlah kewenangan rektor, melainkan Menteri Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi.
"Rektor mengirim surat kepada menteri dan itu nanti semua keputusan itu ada pada menteri, dan itu yang kami lakukan," ujar Farida
Disudutkan anggota Satgas PPKS
Kasus dugaan pelecehan seksual ini juga menjadi sorotan di media sosial saat apa yang diklaim sebagai cuplikan layar percakapan antara korban dengan salah satu anggota Satgas PPKS Unhas.
Dalam percakapan itu, anggota Satgas PPKS Unhas menyayangkan langkah korban yang mengungkap kasus ini ke media, yang dianggap akan mengancam karier sang dosen.
Pernyataan anggota Satgas PPKS Unhas dinilai warganet tak memahami perspektif korban karena meremehkan trauma yang dialami.
Ketika korban menanyakan lantas bagaimana dengan trauma yang dia alami, anggota Satgas PPKS Unhas bilang: “dipecat pun dek ndak jamin hilang traumamu”.
Ketua Satgas PPKS Unhas Prof. Dr. Farida Patittingi mengonfirmasi kebenaran cuplikan layar tersebut, seraya mengatakan bahwa anggotanya telah meminta maaf atas perbuatannya.
“Dia sudah mengajukan permohonan maaf pada kami, pada satgas, bahwa itu sebenarnya adalah inisiatif yang merespons pertanyaan dari korban, karena kan dia selalu menghubungi korban,” dalih Farida.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah menegaskan Satgas PPKS mestinya tidak menyampaikan kata-kata yang bisa membuat korban kekerasan seksual semakin tersudut.
“Ada paling tidak tujuh kalimat yang tidak boleh disampaikan kepada korban karena itu kan akan mereviktimasi si korban.”
Kalimat-kalimat itu, antara lain, “Kenapa kamu tidak berteriak?”, “Kamu menikmati ya?”, “Baju apa yang kami pakai?”, dan “Kenapa kamu baru melapor sekarang?”.
“Itu kan kata-kata yang tidak boleh ya disampaikan oleh siapa pun apalagi misalnya itu [anggota] satgas. Menurut saya ini penting bagi kita semuanya untuk tidak melakukan reviktimisasi terhadap si korban,” tegasnya.
Dari tahun ke tahun, angka kekerasan seksual di perguruan tinggi terus mengalami tren peningkatan. Menurut Alimatul, ini karena makin banyak korban untuk mengungkap kekerasan seksual yang dialami.
“Bisa jadi bukan karena kasusnya meningkat, tapi bisa jadi karena kesadaran korban untuk lapor itu meningkat.”
Survei yang dilakukan Komnas Perempuan pada 2020, kata Alimatul, sebanyak 80% korban memilih diam dan tidak melaporkan.
“Itu penyebabnya, karena tidak meyakini kalau lapor itu kira-kira ditangani atau tidak,” kata dia.
Namun itu berubah setelah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi diberlakukan pada 31 Agustus 2021 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada 9 Mei 2022.
Sejak itu, banyak kampus mulai membentuk Satgas PPKS dan banyak korban kekerasan seksual melapor.
“Ini kan masif dilakukan, bahkan untuk perguruan tinggi negeri kan sudah 100% yang sudah punya Satgas PPKS,” kata Alimatul.
“Dari masifnya gerakan ini, ini semakin banyak korban yang percaya kalau dia lapor, itu kemudian ditangani dengan baik,” ujarnya kemudian.
Aktivis perempuan sekaligus pendamping korban, Aflina Mustafainah, mengatakan saat ini korban telah melanjutkan aktivitas studinya. Kendati begitu, trauma masih membayangi.
“Dia tidak seperti biasa lagi, itu kan mengambalikan sesuatu yang hilang kan susah. Kita meyakinkan dia itu punya hak atas kebenaran,” ujar Aflina.
Dia menambahkan tim pendamping korban akan memproses kasus ini ke kepolisian, kendati Aflina mengakui penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual tak semudah kasus pidana lainnya.
Pada Kamis (28/11) malam, tim pendamping korban telah berkoordinasi dengan tim hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) agar mendampingi korban saat melapor ke polisi.
Aflina kemudian menjelaskan alasan korban mengungkap peristiwa pelecehan yang dialami ke publik adalah karena tak mau ada korban lain yang mengalami hal serupa.
“Korban bilang, ‘Saya tidak mau ada korban lain’.”
“Keinginannya adalah tidak mau lagi ada korban. Itu hebat karena dia tidak memikirkan dirinya sendiri tapi dia memikirkan calon-calon korban lain,” cetus Aflina. (*)
Tags : pelecehan seksual, kasus dugaan pelecehan seksual di perguruan tinggi, pelecehan seksual di pt, Satgas PPKS, kekerasan seksual, hak perempuan, kekerasan, perempuan,