PEKANBARU - Sebanyak 4 bos perusahaan dan 1 orang marketing freelance didakwa melakukan tindak pidana perbankan, penipuan dan penggelapan dengan dengan kerugian total Rp84,9 miliar di Riau.
Keempat petinggi perusahaan itu adalah Bhakti Salim selaku Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo (TGP), Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP, dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP.
Sementara 1 orang bernama Maryani, selaku Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (penuntutan terpisah).
Ke 5 terdakwa kini sedang menjalani proses peradilan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Sidang perdana telah digelar 2 pekan lalu, dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sidang lanjutan, digelar pada pekan ini, dengan agenda penyampaikan eksepsi.
Jaksa Penuntut Umum memaparkan, perbuatan para terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 378, Pasal 372, Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penasehat Hukum (PH) para terdakwa, menyebut jika kasus yang menjerat kliennya, harusnya masuk ranah perdata, bukan pidana.
Pihaknya pun menilai dakwaan JPU tak memenuhi syarat formil dan materil. "Sebab perkara ini bukan pidana tapi perdata atau wanprestasi," ujar Syafardi, PH dari 4 terdakwa, Rabu (1/12).
Menurutnya, sejak awal perkara ini merupakan perkara keperdataan. Sebab terkait dengan perjanjian. Sehingga, proses hukumnya pun seharusnya ke sengketa keperdataan dan bukan merupakan perkara pidana.
Penerapan pasal sebagaimana dalam dakwaan JPU dalam perkara ini, dinilai Syafardi terkesan dipaksakan. Karena menurut dia, dari awal tidak ada perbuatan penipuan yang dilakukan oleh para terdakwa kepada para pelapor.
Hubungan antara para pelapor dengan para terdakwa didasarkan hubungan perjanjian yang dibuat dengan kesadaran penuh oleh kedua belah pihak. Oleh sebab itu, tuduhan yang menyatakan para terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan, dianggap tidak relevan.
"Ini juga sejalan dengan putusan Nomor 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul ialah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga terdapat pada beberapa putusan lainnya," urai Syafardi.
Tak hanya itu, JPU kata dia, juga dinilai salah dalam menempatkan locus delicti atau lokasi terjadinya dugaan tindak pidana.
Dalam dakwaannya, JPU menyebut locus delicti perkara ialah di Jalan Mawar Nomor 55 RT 33 RW 02 Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru.
Sementara menurut Syafardi, berdasarkan data administrasi Kota Pekanbaru RT 33 RW 02 Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan tidak ada.
"Locus delicti ialah syarat materil yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan," ucapnya.
"Atas itu karena tidak terpenuhinya perumusan locus delicti secara jelas, lengkap dan cermat di dalam surat dakwaan, menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum," imbuh dia.
Sebelumnya JPU Lastarida Sitanggang dalam dakwaannya menyebut, awal mula kasus ini yakni pada tahun 2016, PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang usaha properti bernaung di bawah Fikasa Group, sedang membutuhkan tambahan modal untuk operasional perusahaan.
Mereka lantas mencari nasabah sampai ke Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.
Para terdakwa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia.
Saat menawarkan promossory note, terdakwa mengiming-imingi bunga yang tinggi melebihi bunga bank pada umumnya pada para nasabah.
Kepada para nasabah di Pekanbaru mereka menawari bunga deposito dengan persenan cukup tinggi pertahun melalui produk promissory note PT WBN dan PT TGP.
Dimana bunga bank pada umumnya hanya 5 persen per tahun, tapi terdakwa menjanjikan bunga 6 sampai 12 persen.
Namun sejak 2019, tidak ada pembayaran lagi dari pihak perusahaan. Akibatnya, nasabah dirugikan Rp 84,9 miliar.
Para nasabah pun belakangan meminta uang mereka. Para terdakwa awalnya berjanji akan mengembalikan uang nasabah.
Tapi karena tidak kunjung mendapatkan bunga depositonya, para nasabah meminta modal mereka saja yang dikembalikan.
Awal tahun 2020, para terdakwa berjanji untuk mengembalikan modal. Namun ternyata tidak kunjung terealisasi.
"PT WBN dan TGP dalam penerbitannya tidak memiliki izin dari Bank Indonesia dan tidak memenuhi persyaratan dan kualifikasi untuk disebut sebagai promisory note sesuai peraturan perbankan," kata JPU. (*)
Tags : Kasus Penipuan Investasi di Riau, Hukrim, 4 Bos Didakwa Tindak Pidana Perbankan, Penipuan dan Penggelapan,