Artikel   2025/01/08 20:10 WIB

Kaum Milenial dan Gen-Z Selalu Enggan Angkat Panggilan Telepon, 'Malah Lebih Suka Pesan Teks'

Kaum Milenial dan Gen-Z Selalu Enggan Angkat Panggilan Telepon, 'Malah Lebih Suka Pesan Teks'
Karakter Devi dari Never Have I Ever tidak akan menelepon cowok yang ditaksirnya.

HALO, Anda telah mencapai voicemail Yasmin Rufo. Mohon jangan tinggalkan pesan karena saya tidak akan mendengarkannya atau membalas panggilan Anda.

Itu bukan pesan voicemail saya.

Namun, seperti kebanyakan Gen-Z dan Milenial, saya sungguh berharap begitulah bunyinya.

Survei terbaru menemukan satu dari empat orang berusia 18 hingga 34 tahun tidak pernah menjawab panggilan telepon.

Responden mengaku mengabaikan panggilan masuk. Mereka kemudian membalas melalui pesan teks atau mencari nomor tersebut secara daring jika tidak mengenalinya.

Survei Uswitch terhadap 2.000 orang juga menemukan bahwa hampir 70% dari kelompok usia 18-34 lebih menyukai pesan teks daripada panggilan telepon.

Bagi generasi yang lebih tua, berbicara melalui telepon adalah hal yang normal.

Orang tua saya ketika remaja mesti berebut giliran dengan saudara kandung mereka untuk menggunakan telepon rumah yang terletak di koridor. Mereka tidak peduli satu rumah bisa mendengarkan percakapan pribadi.

Sebaliknya, masa remaja saya dihabiskan untuk mengirim pesan teks.

Sejak mendapat hadiah Nokia flip berwarna pink pada ulang tahun ke-13, saya terobsesi dengan mengirim pesan teks.

Sepulang sekolah, saya akan menyusun berbagai pesan teks 160 karakter untuk dikirimkan ke teman-teman.

Saya mesti menghapus setiap spasi dan huruf vokal yang tidak diperlukan.

Pesan-pesan teks saya pada zaman itu berupa huruf konsonan yang teracak-acak sampai-sampai Kominfo pun tidak akan kesulitan mengurainya.

Lagi pula, lebih 1 karakter dari total 160 karakter saja artinya mesti bayar dobel.

Pada tahun 2009, melakukan panggilan telepon via ponsel menghabiskan biaya yang sangat besar.

"Ponsel ini diberikan ke kamu bukan untuk bergosip dengan teman-teman sepanjang malam," kata orang tua saat melihat tagihan telepon bulanan saya.

Generasi pengirim pesan teks pun lahir. Panggilan telepon seluler hanya dilakukan untuk keadaan darurat. Telepon rumah hanya digunakan sesekali untuk bicara dengan kakek dan nenek.

Psikolog konsultan Dr. Elena Touroni menjelaskan kaum muda tidak mengembangkan kebiasaan berbicara di telepon.

"Bicara di telepon itu bukan norma kaum muda. Jadi, kalau mereka sekarang bicara via telepon akan merasa aneh," ujarnya.

Kaum muda pun langsung membayangkan yang terburuk ketika telepon mulai berdering (atau tepatnya bergetar karena orang di bawah usia 35 tahun jarang menggunakan nada dering).

Lebih dari setengah dari kaum muda dalam survei Uswitch mengakui bahwa panggilan telepon yang tidak terduga dianggap kabar buruk.

Terapis psikologis Eloise Skinner memaparkan kecemasan seputar panggilan telepon berasal dari "asosiasi [telepon] dengan sesuatu yang buruk: perasaan khawatir atau takut".

"Hidup semakin sibuk dan jadwal kerja semakin tidak dapat diprediksi. Waktu untuk menelepon teman hanya untuk sekadar mengobrol semakin berkurang," ujar Skinner.

"Panggilan telepon pun dikhususkan untuk yang penting-penting saja. Sering kali, telepon penting ini membawa kabar yang sulit diterima."

Jack Longley, 26 tahun, mengakui hal ini.

Dia juga tidak pernah menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenal karena "itu pasti penipu atau telemarketer".

"Lebih mudah untuk mengabaikan panggilan tersebut daripada menyaringnya," ujar Longley.

Walau kaum muda tidak berbicara di telepon, bukan berarti hubungan dengan teman-teman diabaikan. Sepanjang hari, grup-grup chat pertemanan mengirimkan notifikasi mulai dari pesan biasa, meme, gosip, dan, baru-baru ini, catatan suara.

Banyak percakapan sekarang terjadi di media sosial, terutama di era Instagram dan Snapchat yang memudahkan untuk mengirim gambar dan meme bersamaan dengan teks.

Walaupun panggilan telepon secara universal tidak disukai, penggunaan catatan suara justru membelah opini generasi muda.

Dalam survei Uswitch, 37% dari kelompok usia 18-34 mengatakan catatan suara adalah preferensi komunikasi mereka.

Sebagai perbandingan, hanya 1% dari kelompok usia 35 hingga 54 tahun yang lebih menyukai pesan suara daripada panggilan telepon.

"Catatan suara seperti berbicara di telepon tetapi lebih baik," kata Susie Jones, mahasiswi berusia 19 tahun.

"Anda bisa mendengar suara teman, tetapi tidak ada tekanan untuk merespons [dengan suara juga]. Ini cara yang lebih sopan untuk berkomunikasi."

Namun, bagi saya sendiri, mendengarkan catatan suara berdurasi lima menit dari teman yang bercerita tentang hidupnya sungguh menyiksa.

Catatan suara sering kali tidak fokus, penuh dengan kata-kata tidak perlu seperti "eee" atau "kayak". Seluruh cerita dapat dipendekkan menjadi beberapa pesan teks.

Baik teks maupun catatan suara memungkinkan kaum muda untuk berpartisipasi dalam percakapan dengan kecepatan mereka sendiri. Selain itu, metode ini memungkinkan untuk memberikan respons yang lebih bijaksana dan sudah dipikirkan masak-masak.

Sejauh mana fobia panggilan telepon dalam kehidupan pribadi dapat memengaruhi kehidupan kerja?

Henry Nelson-Case, pengacara berusia 31 tahun sekaligus pembuat konten membuat serial video "si millenial kewalahan".

Sketsa-sketsa video Nelson-Case termasuk keluh kesah pekerja saat mengirim email perusahaan dan bagaimana cara yang sopan menolak bekerja lembur.

Dalam videonya yang terakhir, Nelson-Case menarasikan seorang karyawan yang menggunakan berbagai macam cara untuk menghindari telepon.

Nelson-Case sendiri mengaku benci bicara melalui telepon.

Dia mengakui ada rasa cemas yang menjangkiti ketika mesti berbicara dengan waktu nyata alias real-time.

"Belum lagi potensi kecanggungan, tidak memiliki jawaban, dan tekanan untuk segera merespons," ujarnya.

Dr. Touroni menjelaskan panggilan telepon membutuhkan tingkat keintiman yang lebih tinggi dan kerentanan.

"Sedangkan pengiriman pesan tidak terlalu intim. Anda bisa terhubung tanpa merasa rentan atau terekspos," ujarnya.

Dunja Relic, pengacara berusia 27 tahun, menghindari panggilan telepon di tempat kerja karena "memakan waktu dan menghambat tugas".

Skinner menggambarkan ini sebagai sentimen "kalau bisa email, buat apa telepon?"

"Panggilan telepon mengharuskan si penerima untuk menghentikan aktivitas mereka dan memberikan perhatian pada percakapan. Bagi mereka yang melakukan beberapa tugas pada saat bersamaan, ini sulit dilakukan."

James Holton, pemilik bisnis berusia 64 tahun, mengaku karyawannya yang masih muda jarang menjawab panggilan telepon.

"Pesan voicemail mereka bilang mereka sibuk. Atau nomor saya dialihkan. Panggilan tidak pernah tersambung," ujarnya.

"Selalu ada alasan yang dipersiapkan. Yang paling umum adalah telepon mereka dalam mode senyap lalu mereka lupa membalas telepon."

Holton melakukan adaptasi setelah menyadari adanya kesenjangan komunikasi yang terlihat secara nyata.

"Kalau karyawan lebih nyaman dengan pesan teks, sudah tanggung jawab saya untuk menghormati pilihan tersebut," imbuhnya.

Selain preferensi untuk komunikasi non-verbal, orang-orang zaman sekarang cenderung bekerja dari rumah.

Ke depannya, apakah manusia akan kehilangan kemampuan untuk melakukan percakapan yang tidak terjadwal dan informal?

Skinner mengatakan jika tren saat ini berlanjut maka "kita mungkin akan kehilangan rasa kedekatan atau koneksi".

"Ketika kita berkomunikasi secara verbal, kita merasa lebih selaras baik secara emosional, profesional, maupun pribadi," paparnya.

"Koneksi ini dapat mengarah pada rasa kepuasan yang lebih besar, terutama di tempat kerja."

Ciara Brodie, manajer area supermarket berusia 25 tahun, mengaku malah "menyukai dan menghargai ketika atasan saya di tempat kerja menelepon".

"Panggilan telepon lebih baik daripada pesan teks karena butuh upaya tertentu untuk melakukannya. Anda benar-benar tahu bahwa manajer Anda menghargai masukan Anda [ketika berbicara melalui telepon]," ujarnya.

Brodie juga gemar berbincang dengan rekan kerja melalui telepon pada hari-hari ketika dia bekerja dari rumah.

"Bekerja dari rumah membuat Anda merasa terisolasi. Senang rasanya kalau tetap terhubung dengan orang lain," ujarnya.

Beberapa orang mungkin menyebut tren komunikasi ini membuktikan bahwa kaum muda tidak punya nyali alias "generasi salju".

Namun, ini semua sebenarnya adalah persoalan adaptasi.

Dua puluh lima tahun yang lalu, orang-orang menolak untuk beralih dari faks ke email. Namun, perubahan tersebut telah membuat komunikasi jauh lebih efisien.

Mungkin sekarang saatnya untuk mengakui kekuatan teks. Seperti halnya mesin faks yang disingkirkan tahun 1990-an, panggilan telepon yang bisa kita tinggalkan di tahun 2024. (*)

Tags : milenial dan gen-z, kaum milenial dan gen-z, enggan angkat panggilan telepon, milenial dan gen-z lebih suka pesan teks, kaum muda, gaya hidup, telepon selular dan telepon pintar ,