JAKARTA - Kebijakan pemerintah Indonesia yang akan mengirim Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk bekerja dari Bali mulai Juli mendatang demi mendongkrak pariwisata 'Pulau Dewata' yang kini terpuruk karena pandemi Covid-19, dianggap tidak efektif oleh seorang pengamat kebijakan publik.
Sebab sebagian besar aktivitas mereka di sana bukan melancong seperti para turis yang menghabiskan waktu dan uang untuk berwisata. Namun demikian pemerintah meyakini kebijakan ini bakal mampu meraih kepercayaan pelancong dalam negeri maupun mancanegara bahwa wilayah itu aman dikunjungi. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Zuliansyah, menilai rencana pemerintah Indonesia untuk memboyong Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk bekerja dari Bali agar menghidupkan pariwisata Bali yang sedang sekarat akibat terdampak pandemi Covid-19 "terburu-buru dan tanpa perencanaan yang matang".
Sebab, kendati selama pandemi para ASN sudah didorong untuk lebih fleksibel dalam bekerja. Dia menilai pemerintah perlu menyiapkan perangkat pendukung terutama sistem manajemen kinerja. Hal itu, kata Zuliansyah, penting agar kebijakan memindahkan ribuan ASN ke Bali tetap berorientasi pada hasil kerja. "Jadi semua yang berangkat ke sana itu kerja by output (hasil). Sehingga itu nanti yang akan dicek pimpinannya, nggak sekadar datang rapat-rapat saja, tapi apa output (hasil) program yang bisa mereka lakukan selama kerja di sana? Jadi bukan hanya pindah kantor saja," kata Pengamat kebijakan publik dari UI, Zuliansyah dirilis BBC News Indonesia, Minggu (23/05).
"Jangan alasannya, kinerja kita nggak optimal karena menggerakkan ekonomi, kan nggak gitu juga," sambungnya.
Hal lain yang perlu dipersiapkan pemerintah dengan baik yakni sistem pengawasan kepada ASN hingga anggaran yang besar. Pasalnya jumlah ASN yang diboyong ke Pulau Dewata mencapai ribuan yang mencakup 25% aparatur sipil di setiap kementerian atau lembaga di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Namun demikian Zuliansyah menyebut kebijakan tersebut "tidak menjamin" bakal mendongkrak pariwisata Bali yang tengah lesu.
Ini karena sebagian besar aktivitas para ASN lebih banyak di hotel ketimbang berwisata layaknya turis. "Keseharian mereka akan lebih banyak bekerja, tentu membuat mereka tidak melakukan aktivitas sosial-ekonomi di luar jam kerja. Nggak mungkin juga lihat ASN nanti di Bali kerja tapi ada di tempat wisata. Kalaupun libur Sabtu-Minggu, belum tentu akan menghabiskan uang mereka untuk menikmati pariwisata. Jadi kebijakan ini setidaknya akan menaikkan okupansi hotel, tapi jangka panjang berkontribusi untuk menghidupkan pariwisata Bali, belum ada jaminan."
Apa alasan pemerintah menerapkan 'ASN work from Bali' ?
Deputi Bidang Koordinator Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Odo Manuhutu, mengatakan tujuan kebijakan ini yakni meraih kepercayaan pelancong dalam negeri maupun mancanegara bahwa wilayah itu aman dikunjungi. Namun kondisi saat ini, banyak hotel yang ada di sana tingkat okupansinya di bawah 10% sehingga kesulitan membayar gaji karyawan dan perawatan hotel.
Sementara untuk sebuah hotel bisa membayar biaya perawatan, tingkat okupansi paling tidak mencapai 30%-40%. "Akomodasi di Bali terdapat 140.000 kamar, bayangkan kalau 140.000 itu hanya terisi kurang dari 10 persen. Artinya banyak tenaga kerja yang ada di Bali tidak bekerja selama 10-14 bulan," imbuh Odo dalam konferensi pers virtual, Sabtu (22/05).
Karena itulah ia menilai, dengan program kerja dari Bali bakal berkontribusi pada pertumbuhan pariwisata di Bali. Namun demikian Kepala Biro Komunikasi Kemenparekraf, Vinsensius Jemadu, menekankan ASN yang dipilih bekerja dari Bali tidak diizinkan membawa keluarga saat bertugas. Dengan tidak ikutnya anggota keluarga, ia mengklaim pelaksanaan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 bisa dipantau. "Supaya nanti betul-betul bisa kita batasi jumlahnya dan juga bisa kita awasi dengan baik protokol kesehatannya," ujar Vinsensius dalam konferensi pers virtual, Sabtu (22/05).
Terkait anggaran, Vinsensius mengatakan akan mempertimbangkan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diambil dari pos perjalanan dinas. Akan tetapi pemerintah, katanya, masih perlu waktu untuk mengkaji kebijakan tersebut lebih detail terkait jenis pekerjaan apa saja yang bisa bekerja di Bali. "Kami mengusulkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang rutin, sifatnya kesekretariatan, dan juga rapat-rapat itu sebaiknya memang dikontrol atau dikerjakan dari Bali, rapat kalau dilaksanakan secara hybrid offline-nya di Bali dan selebihnya itu lewat Zoom. Ini yang kita lagi pikirkan," ujar Vinsensius.
Seperti apa tanggapan ASN?
Rina, seorang ASN di salah satu instansi pemerintahah mengaku tidak keberatan jika ditugaskan untuk bekerja dari Bali karena sudah mulai terbiasa bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19. Ia juga mengatakan meski kerja dari rumah tapi kerja para ASN tetap dipantau oleh pimpinan sehingga kecil kemungkinan berleha-leha. "Kalau di kementerian saya, ada aturan tidak tertulis yang mewajibkan kita untuk merespons arahan pimpinan paling lambat 30 menit setelah dikasih arahan pada jam kerja," imbuh Rina.
"Jadi kalau dibilang akan magabut (makan gaji buta), kalau menurut saya nggak ya. Sanksinya kalau merespon lebih dari 30 menit, bisa jadi teguran dari atasan. Jadi memang wajib respons cepat," sebutnya. (*)
Tags : Kebijakan Pemerintah, ASN Bekerja Untuk Mendongkrak Wisata Pulau Dewata, Bekerja di Bali Dianggap Tak Efektif,