Artikel   2023/03/13 21:1 WIB

Popularitas dan Kecintaan Memelihara Kucing Meningkat, 'Bisa Memutar Roda Perekonomian Lebih Baik'

Popularitas dan Kecintaan Memelihara Kucing Meningkat, 'Bisa Memutar Roda Perekonomian Lebih Baik'
Sumirê Shimizu akhirnya memilih memelihara kucing, meski lebih menyukai anjing, karena terbatasnya ruang tempat tinggal yang dia huni

SELAIN memikat banyak orang, kucing ternyata membantu menggairahkan perekonomian Jepang selama pandemi Covid-19.

Menurut Katsuhiro Miyamoto, seorang profesor emeritus di Univesitas Kansai, fenomena yang dia sebut sebagai “nekonomic” atau efek ekonomi kucing ini memutar uang sekitar ¥1,9 triliun (Rp223,9 triliun) pada 2021.

Nilai yang tinggi itu, menurut survei, memperhitungkan pengeluaran untuk makanan, kebutuhan pokok dan perawatan hewan, serta proyek-proyek yang dihasilkan oleh kecintaan orang Jepang terhadap kucing.

Bahkan mereka yang tidak memiliki hewan peliharaan di rumah pun sering pergi ke kafe dan tempat wisata bertema kucing hanya untuk memotret dan menyentuh kucing.

Di Jepang, suara kucing ketika mengeong ditirukan berupa “nyan nyan nyan”, yang terdengar seperti “ni” (yang berarti angka dua dalam bahasa Jepang).

Berdasarkan permainan kata-kata dan saran dari industri makanan hewan, pada 1987 telah ditetapkan bahwa 22 Februari menjadi Hari Kucing. Ini memberi satu alasan lagi untuk meningkatkan “nekonomi”.

Bagi banyak orang Jepang, mengabaikan tatapan tajam dan dengkuran kucing sama susahnya dengan menolak segudang barang-barang lucu dari industri kucing pada saat ini.

Menurut Asosiasi Makanan Hewan Peliharaan Jepang, popularitas kucing telah meningkat selama lebih dari dua dekade. Pandemi pun membuat orang-orang lebih menyukai kucing karena terpaksa mengisolasi diri di rumah.

Populasi kucing mencapai rekor pada 2021, bertambah sekitar 489.000 ekor lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga jumlah total kucing di Jepang menjadi sekitar 8,94 juta ekor (dibandingkan dengan 7,1 juta ekor anjing).

Profesor Miyamoto mengalikan jumlah itu dengan pengeluaran bulanan rata-rata sebesar ¥8.460 (Rp966.000) yang masuk ke negara itu untuk makanan dan perawatan dasar setiap ekor kucing. Jumlah keseluruhannya menapai ¥911,58 juta per tahun (sekitar Rp103,6 miliar).

Itu belum termasuk efek domino dari seluruh rangkaian dari apa yang dihasilkan oleh pariwisata domestik kucing, sehingga totalnya mencapai sekitar hampir ¥2 triliun (Rp225,38 triliun).

Sebagai perbandingan, “nekonomic” pada tahun 2021 sedikit lebih tinggi dibandingkan dana yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 yang diperkirakan sebesar ¥1,69 triliun (sekitar Rp190,4 triliun).

Profesor Miyamoto mengingatkan bahwa biaya memelihara kucing relatif murah bagi sebuah keluarga, namun bagi orang-orang Jepang itu sangat berarti.

“Artinya, akumulasi jumlah yang kecil dari setiap keluarga berkontribusi bagi perekonomian Jepang, itu adalah mesin yang menggerakkan seluruhnya,” kata Miyamoto seperti dirilis BBC.

Asosiasi Makanan Hewan Jepang mengatakan bahwa orang-orang mengalami kecemasan dan stres ketika terpaksa harus karantina dan bekerja dari rumah untuk waktu yang lama.

Ketika tinggal bersama hewan peliharaan, pikiran mereka lebih tenang dan komunikasi dalam keluarga mereka membaik.

Kebijakan pembatasan Covid yang melonggar dan kenaikan harga produk dan tarif energi di Jepang semestinya juga berdampak pada ‘nekonomic’, namun masih terlalu dini untuk mengukur seberapa besar dampaknya.

Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah jumlah pecinta hewan peliharaan di Jepang akan selalu meningkat.

Entah itu anjing atau kucing, pilihannya banyak dipengaruhi oleh ruang dan waktu yang tersedia untuk perawatannya.

Kucing-kucing yang ditelantarkan

Dalam penelitian tersebut, Miyamoto mencantumkan sejumlah faktor yang menjelaskan mengapa orang Jepang lebih menyukai kucing.

Di antaranya, semakin banyak orang pindah ke apartemen yang padat dan tidak mengizinkan anjing, namun mengabaikan keberadaan kucing. Itu karena kucing lebih mudah dirawat dan membutuhkan lebih sedikit perhatian tanpa harus mengajak mereka jalan-jalan.

Namun, tidak semua jenis kucing diterima dengan baik. Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, ada 10.000 ekor kucing yang diambil dari pemiliknya untuk diadopsi pada 2020.

Lembaga swadaya masyarakat TNR Felinos Japan, yang didirikan oleh Elen Tanaka dan Cássio Silva, di Iwata, Provinsi Shizuoka) mengukur tingkat pengabaian ini.

Mereka memantau peningkatan koloni kucing, termasuk keberadaan hewan peliharaan dengan kucing kampung liar.

Setelah awalnya begitu antusias, banyak orang menyerah memelihara kucing karena menyadari bahwa itu membutuhkan kerja keras dan biaya.

Pada akhirnya mereka menelantarakan hewan-hewan tersebut, sehingga akhirnya dialihkan ke orang-orang yang berdedikasi menampung kucing-kucing itu.

Cássio mengatakan dana operasional organisasinya telah meningkat pesat. Dia dan istrinya saat ini membayar sekitar ¥130.000 (Rp14,6 juta) untuk menyewa dua properti: yang satu menjadi rumah mereka dan yang satunya lagi untuk menampung 100 kucing yang mereka rawat dan sterilisasi sambil menunggu adopsi.

Biaya sewa adalah komponen terkecil untuk menampung kucing sebanyak itu. Selain menyita gaji Cássio yang bekerja di pabrik suku cadang mobil, inisiatif mereka ini menyita banyak waktu istrinya, Elen, untuk merawat mereka karena banyak yang datang dengan kondisi lemah dari jalanan.

Pada akhirnya, mereka menghabiskan ¥680.000 (Rp76,6 juta) per bulan yang harus ditutupi dengan beragam upaya mulai dari kampanye hingga donasi dari teman-teman baik dan yang mendukung perjuangan mereka.

“Ketika saya meninggalkan Brazil 22 tahun yang lalu, tujuan saya adalah untuk bekerja dan mengumpulkan uang, tapi ternyata kami mengumpulkan kucing! Saat ini, merekalah yang membuat hidup kami bermakna,” kata Cássio.

Bagi orang-orang yang mengaku berpikiran sama, menyukai binatang saja tidak cukup sebagai modal untuk memeliharanya. Kalau tempat tinggal calon pemiliknya tidak memungkinkan keberadaan kucing, maka pengajuan adopsi akan ditolak.

Ada juga masa komitmen dan beragam prosedur untuk mencegah hewan tersebut dikembalikan atau ditelantarkan lagi.

Conrado Areco Borelli lolos seleksi dan berhasil mengadopsi kucing yang dia beri nama Tigrão dan Pompom.

Saat ini, keluarganya merawat tiga ekor kucing, menghabiskan rata-rata ¥20.000 (Rp2,2 juta) untuk makanan, pengelolaan kotorannya, dan produk pembersih.

Ketika dia perlu membawa anak-anak kucing itu ke dokter hewan, pengeluarannya menjadi dua kali lipat lebih banyak.

Melebihi biaya medis, biaya sewa adalah yang paling mengganggu Conrado. Banyak pemilik properti menerima kehadiran hewan peliharaan, namun mengenakan biaya tambahan untuk itu.

“Tapi setiap sen yang kami keluarkan setimpal dengan hidup bersama kucing kami dalam damai,” kata dia.

Industri terkait kucing

Perusahaan keuangan R&C Co mewawancarai 3.000 pemilik kucing pada akhir Desember 2022 dan menemukan bahwa rata-rata biaya perawatan hewan adalah ¥2,64 juta (Rp27,7 juta) selama 15,6 tahun hidup berdasarkan rata-rata yang diperkirakan oleh Asosiasi Makanan Hewan Peliharaan Jepang.

“Dengan penelitian ini, kami ingin membantu mengurangi jumlah kucing yang terlantar karena alasan ekonomi. Dengan mengetahui pengeluaran yang harus disiapkan, orang-orang bisa secara sadar memutuskan apakah akan memelihara hewan tersebut atau tidak,” kata dia.

Menurut Sumire Shimizu, yang paling memengaruhi “nekonomic” bukanlah kepemilikan hewan, namun industri yang memanfaatkan kegemaran tak bersyarat orang-orang terhadap kucing untuk meraup untung dari situ.

Sumire menyukai anjing berukuran besar, namun karena tidak mungkin memeliharanya di apartemennya di Tokyo, dia akhirnya mengadopsi Harumaki dan Dorayaki, dua kucing yang dia namai berdasarkan makanan Jepang.

Kucing-kucing pertama di Jepang diyakini didatangkan dari Tiongkok selama periode Nara (abad ke-8) untuk memburu tikus.

Dari periode Heian, yakni abad ke-8 hingga ke-12) mereka mulai dianggap sebagai hewan peliharaan, yang digambarkan dalam karya Ukiyo-e dan sastra klasik Jepang, seperti novel “I am a cat” yang ditulis Natsume Soseki.

Pada saat yang sama, anjing-anjing pertama juga tiba di Jepang dari ras Chin, dibawa sebagai hadiah dari penguasa Korea.

Karena ukuran tubuhnya yang kecil dan sifatnya yang ramah, anjing segera menjadi hewan peliharaan rumahan.

Meskipun anjing telah kehilangan tempat di rumah-rumah kucing ini, anjing masih dipuja karena masa lalunya yang gemilang (seperti yang terlihat pada patung di samping samurai terakhir Saigo Takamori atau kesetiaan luar biasa yang ditunjukkan oleh Hachiko, yang kisahnya diabadikan menjadi sebuah film dan dijadikan patung di stasiun kereta Shibuya di Tokyo. Di situlah Hachiko menunggu pemiliknya yang telah meninggal selama sembilan tahun.

Namun Yoichiro Matsushita tetap lebih menyukai kucing meski karakternya yang pemberontak dan mandiri.

“Saya juga tidak terbebani untuk membawa mereka pergi jalan-jalan,” kata dia.

Kucing pertama yang dia miliki adalah kucing terlantar yang diselamatkan istrinya di luar toko seorang kenalannya 40 tahun yang lalu. Setelah itu, setiap kali kucingnya mati, seseorang akan membawakan penggantinya.

Saat ini dia tengah merawat Lara dan Kiki, yang diadopsi ketika masih bayi dan telah dianggap sebagai anggota keluarganya sendiri.

“Mereka tidak meminta pakaian, bahkan saya tidak perlu mengantarkan mereka ke sekolah,” kata dia.

Matsushita sering tidur dan berbicara dengan kucingnya, meskipun dia mengakui bahwa mereka tidak selalu akur. (*)

Tags : memelihara kucing, kecintaan pada kucing, memelihara kucing bisa memutar roda ekonomi, hewan-hewan, kesejahteraan hewan,