JAKARTA - Pemerintah Indonesia disarankan agar memperketat syarat kedatangan internasional di tengah lonjakan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan belakangan. Kebijakan yang berlaku saat ini dikritik masih membuka "akses longgar". Epidemiolog dan pakar kesehatan masyarakat Windhu Purnomo misalnya, menilai aturan yang diberlakukan ke pelaku perjalanan internasional - misalnya soal lama karantina - belum ideal untuk mencegah transmisi bahkan menangkal varian baru.
Dia khawatir sikap 'permisif' pemerintah yang disebutnya 'menganggap imported cases berisiko kecil' tersebut justru membahayakan dan kian memperberat penanganan pandemi dengan tambahan kasus. Satgas Penanganan Covid-19 mengaku tak sepenuhnya mampu mencegah kemunculan varian baru, tapi pasal tambahan dalam surat edaran protokol kesehatan perjalanan internasional dianggap cukup mampu membatasi pergerakan manusia dari luar negeri.
Windhu Purnomo menyarankan agar pemerintah memperketat persyaratan bagi orang dari luar negeri yang hendak masuk ke Indonesia. Misalnya, lanjut dia, hanya mengizinkan WNI yang pulang dari perjalanan dinas dari luar negeri atau perwakilan negara lain yang berkepentingan dalam penanganan pandemi. "Pemerintah harus tegas, semua pejalan internasional yang datang ke pintu-pintu masuk di negeri ini sementara tidak boleh dulu. Kecuali orang tertentu seperti diplomat, terkait bantuan internasional, atau mungkin warga yang sedang perjalanan dinas dan pulang (ke Indonesia). Atau pekerja migran," tutur Windhu dirilis BBC News Indonesia, Rabu (07/07).
Itupun, tambah dia, wajib diikuti karantina 14 hari mengikuti ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Saat ini pemerintah Indonesia hanya menetapkan syarat karantina bagi pelaku perjalanan internasional selama 8x24 jam. Karena itu poin aturan dalam surat edaran protokol kesehatan perjalanan internasional kata Windhu perlu diubah. "Itu dasarnya dari apa (karantina delapan hari)? Seharusnya minimal 14 hari. Karena apa? Kita tahu SARS-CoV-2 ini kan masa inkubasinya lebih dari 8 hari, bisa sampai 14 hari. Demikian pula masa infeksiusnya. Jadi ya minimal 14 hari, kalau tidak nanti kita akan kebobolan. Karena mungkin ada orang yang baru dapat dideteksi hari ke-9," ucap Windhu mempertanyakan.
Selain soal lama waktu karantina, Windhu juga mempertanyakan urgensi keputusan pemerintah yang pada pekan lalu mengizinkan sejumlah tenaga kerja asal China masuk ke Indonesia. "Kenapa sih kita nggak mau menunda sebentar? Tenaga kerja asing, misalnya, itu kenapa kok harus masuk sekarang? Itu bisa ditahan sebentar lah, yaa.. satu bulan, kemudian nanti kalau kondisi sudah bagus, masuk. Apa sih susahnya?" keluh dia.
Windhu pun menekankan pemerintah harus berhenti bertindak permisif di tengah situasi krisis seperti ini. Dia mengingatkan, sekalipun imported cases (kasus dengan sumber penularan dari luar negeri) memiliki persentase yang kecil tapi bukan berarti tak berisiko. Belajar dari pengalaman, tutur dia, melejitnya kasus saat ini yang disebutnya disumbang karena keberadaan varian delta, juga buntut dari sikap pemerintah yang menurutnya permisif. "Seperti kemarin, pekerja migran itu cuma dikasih karantina 5 hari saja. Yang sangat tidak cukup. Apa yang terjadi? Ya seperti ini. Ini akibat kita permisif, menganggap bahwa imported cases itu kecil, persentasenya kecil dibanding kasus keseluruhan sehingga ini yang terjadi," urai Windhu.
"Kita tidak boleh membuka peluang virus ini sekecil apapun untuk bocor, untuk menular. Itu prinsipnya. Satu virus lolos, itu bisa seperti ini kita. Yang kemarin itu kan begitu, ada satu dua orang yang kita loloskan, lalu terjadi transmisi lokal," tukas dia lagi.
Pemerintah menerbitkan addendum pada 04 Juli 2021 yang disebut berisi sejumlah poin pengetatan perjalanan internasional baik bagi WNI maupun WNA, di antaranya wajib menunjukkan sertifikat atau kartu vaksinasi dosis lengkap, menunjukkan hasil tes PCR deteksi Covid-19, melakukan tes ulang RT-PCR saat tiba di Indonesia dan, wajib menjalani karantina 8x24 jam.
Kepala Satgas Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Alexander Ginting mengakui tak mampu sepenuhnya menangkis kemunculan varian baru corona. Tapi kata dia, pasal tambahan dalam surat edaran protokol kesehatan perjalanan internasional itu cukup mampu membatasi pergerakan orang—yang jadi sumber penularan virus corona. "Kalau varian baru itu nggak bisa kita cegah total, tapi kita batasi bisa. Cegah habis nggak bisa karena itu mutasi terus. [...] Jadi sebenarnya yang kita hambat dengan surat edaran ini adalah pembatasan pergerakan manusia baik dalam ataupun luar negeri. Jadi dia datang bukan jalan-jalan, bukan melancong, dia datang untuk kemanusiaan juga, atau sektor lain yang penting atau joint venture perusahaan," jelas Alexander.
"(Karantina 14 hari itu) Kan masih skenario sebelum ada vaksin, sekarang kan mereka sudah vaksin semua. Dengan vaksinasi yang sudah diakui oleh WHO itu, karantina bisa 8 hari," terang dia lagi saat merespons soal usulan karantina 14 hari.
Meski tak bisa menutup akses dari luar negeri, tapi Alex meyakinkan, Indonesia masih melarang kedatangan pelaku perjalanan dari India--lokasi eskalasi Covid-19 masih tinggi. Ketentuan tersebut menurut dia diatur dalam peraturan di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi. Adapun mengenai tenaga kerja asal China yang diizinkan masuk ke Indonesia, menurut klaim dia, pekerja asing tersebut sudah memenuhi seluruh syarat. Selain itu kata Alex, mereka termasuk pekerja di sektor esensial. "Mereka sudah memenuhi kartu vaksinasi, mereka sudah PCR di negara asal negatif, lalu PCR di sini, e-HACnya juga sudah diisi. Dan sekarang mereka juga sudah masuk pengawasan 8x24 jam," kata Alex.
Sebelumnya kedatangan puluhan tenaga kerja asing asal China ke Indonesia melalui Bandara Internasional Makassar sempat marak di sejumlah pemberitaan media. Para pekerja asing ini masuk ke Tanah Air tepat pada hari pertama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali pada 3 Juli 2021. Dalam konferensi pers virtual pada Selasa (06/07) lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta sejumlah pihak tidak mempermasalahkan hal tersebut. Menurut dia, fenomena masuknya pekerja asing ini bukan hal yang aneh.
Ia menganggap hal tersebut sesuai asas resiprokal dan telah melalui prosedur kesehatan yang ketat. "Dunia lain lakukan itu, ya kita lakukan begitu. Enggak bisa bernegara itu lu mau gue enggak mau. Enggak bisa begitu," kata Luhut dalam konferensi pers virtual yang disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden. Adapun ihwal kebijakan pembatasan perjalanan internasional, pejabat dari Satgas Penanganan Covid-19 Alexander Ginting mengungkapkan Indonesia tak bisa sepenuhnya menutup akses masuk pekerja asing. Dia berdalih, pekerja asing yang diperbolehkan masuk ke Indonesia hanya mereka yang keahliannya dibutuhkan dan yang tidak dimiliki oleh tenaga di dalam negeri. "Itu kan teknisi, ahli laboratorium, ahli kimia, nanti kalau ahli kimia nggak datang nanti mesin produksi oksigen nggak ada. Yang datang kan technical skills yang memang nggak ada di kita, itu mereka datang," terang dia.
Alexander pun meyakinkan, penambahan ketentuan pengetatan perjalanan internasional itu sudah mempertimbangkan lonjakan kasus beberapa pekan belakangan dan banyaknya varian baru di Indonesia. Dokumen Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 itu menuliskan, addendum bertujuan mencegah laju penularan termasuk dari berbagai varian baru.
Pakar lain dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane menilai pengetatan peraturan perjalanan internasional sudah cukup baik — termasuk soal lamanya karantina. Hanya saja ia mengingatkan, regulasi yang baik takkan berguna ketika implementasi buruk. "Di luar regulasi tersebut, yang terpenting itu implementasinya. Banyak sekali kita punya aturan yang sesuai standar tapi implementasi di lapangan tidak jalan, nah itu yang menjadi celah masuknya virus dan varian baru yang kemudian menjadi wabah," tegas.
Kebijakan penanganan pandemi menurut dia, bukan hanya perkara menutup pintu masuk supaya membendung virus dari luar negeri. Melainkan contigency plan atau berbagai rencana dalam sikus manajemen risiko. Masdalina mengingatkan, intervensi utama dalam pengendalian wabah adalah tracingatau pelacakan. Ini tidak sekadar penelusuran kasus tapi juga pemeriksaan hingga isolasi dan karantina. "Pengendalian itu tidak bisa lip service, ada ukuran-ukuran yang jelas dalam pengendalian, kalau dikatakan kita cegah tangkal di pintu masuk, indikatornya itu jelas yakni tidak ada varian baru yang masuk," tutur Lina.
"Kalau kemudian ada varian baru masuk, kemudian ada transmisi atau penularan lokal, maka itu yang kita katakan bahwa kita gagal cegah tangkal. Mengapa? Karena varian baru masuk dan sudah terjadi transmisi lokal," sambung dia.
Kondisi itulah yang menurut Masdalina terjadi pada bulan-bulan belakangan pandemi Covid-19 di Indonesia. Data Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan penambahan kasus harian di Indonesia berturut-turut mencatatkan rekor. Tambahan kasus pada Rabu (07/07) kembali melejit di angka 34.379 orang dengan 343.101 kasus aktif. Sejumlah pejabat pemerintah Indonesia telah mengakui melejitnya tambahan kasus beberapa pekan belakangan salah satunya disumbang faktor munculnya varian delta.
Namun hingga kini pemerintah belum memutuskan untuk menutup akses keluar-masuk Indonesia. Sementara sampai Selasa (06/07), terdapat total 553 kasus mutasi dari enam jenis varian virus corona yang teridentifikasi di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan memetakan varian delta jadi yang tertinggi yakni 78,8% dari total kasus mutasi atau 436 kasus varian Delta.
Kasus varian delta ini tersebar paling banyak di DKI Jakarta (195 kasus), diikuti Jawa Barat (134 kasus) dan Jawa Tengah (80 kasus). Adapun daerah lain yang juga dijangkiti varian delta yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur dan Gorontalo. Epidemiolog Windhu Purnomo khawatir kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang dianggapnya masih setengah-setengah itu justru akan menjadi celah masuknya varian baru.
Jika sudah begitu, beban penanganan pandemi Covid-19 Indonesia akan kian berat mengingat fasilitas pelayanan kesehatan publik pun memburuk yang dia sebut ditandai dengan mulai kolapsnya rumah sakit. "Apalagi kalau yang masuk itu varian baru yang lebih menular dan mematikan. Delta ini kan punya dua kan, lebih menular dua kali lipat daripada varian original. Kemudian lebih mematikan, karena dia punya antibodi escape," ungkap dia.
"Nah ini yang berbahaya kalau kita sampai kelolosan karena kita sangat permisif di dalam menangkal orang yang masuk. Itu, saya nggak bisa membayangkan apa yang terjadi," kata Windhu. (*)
Tags : Kedatangan Penumpang Internasional, Penumpang Pesawat Perlu Dibatasi, Lonjakan Kasus Covid-19,