"Grup Bisnis Wilmar, Sinar Mas dan Jhonlin diduga muluskan bisnis biodiesel dan sawit para konglomerat"
ehadiran "orang dalam" beserta kerabatnya di grup bisnis Wilmar, Sinar Mas, dan Jhonlin diduga memudahkan perusahaan-perusahaan itu mengamankan dana "insentif" berjumlah puluhan triliun rupiah sehingga petani kecil terabaikan.
Dana tersebut digunakan untuk mendorong industri biodiesel berbasis minyak sawit, yang terus digembar-gemborkan pemerintah meski berpotensi memperparah kerusakan lingkungan.
"Orang dalam" yang dimaksud adalah mereka yang sedang atau pernah memegang jabatan publik, termasuk sebagai kepala negara, pejabat senior di kantor pemerintahan dan BUMN, perwira tinggi polisi dan militer, atau politisi senior, beserta keluarga dan orang-orang dekatnya.
Mereka biasa disebut sebagai politically exposed persons (PEP).
Hasil studi LSM Auriga Nusantara dan Satya Bumi menemukan ada setidaknya 17 PEP dalam jajaran petinggi perusahaan di grup Wilmar, Sinar Mas, dan Jhonlin.
Rinciannya, ada sembilan PEP di grup Jhonlin, empat orang di Sinar Mas, dan empat orang di Wilmar.
Dalam laporannya, Auriga Nusantara dan Satya Bumi menyebut ketiga grup itu secara akumulatif menerima insentif biodiesel sebesar Rp72,5 triliun dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada periode 2015-2023.
"Keberadaan PEP dalam struktur kepengurusan maupun [sebagai] pemilik manfaat terindikasi memiliki pengaruh terhadap jumlah subsidi yang diterima," tulis Auriga Nusantara dan Satya Bumi di laporan berjudul Politically Exposed Person Dalam Jejaring Biodiesel Indonesia pada Rabu 13 Maret 2024.
Dalam pernyataan tertulisnya dimuat media nasional, grup Wilmar dan Sinar Mas menyatakan orang-orang yang disebut dalam laporan Auriga Nusantara dan Satya Bumi tidak terlibat langsung dalam operasi bisnis mereka.
Keduanya pun sama-sama bilang, mereka menjunjung "standar integritas tertinggi".
Tetapi sejauh ini, Jhonlin dan BPDPKS tidak merespons untuk menanggapi temuan dua LSM tersebut.
Menurut perhitungan, total pengeluaran BPDPKS pada 2015-2023 menyentuh Rp176,1 triliun, dengan 91,3% disalurkan pada para produsen biodiesel sebagai insentif untuk menutup selisih antara harga indeks pasar biodiesel dan solar.
Sementara itu, persentase pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, serta untuk pengembangan sumber daya manusia (termasuk pelatihan untuk para petani kecil dan beasiswa untuk anak-anak mereka) masing-masing hanya menyentuh 0,37% dan 0,27%.
"Alokasi dana BPDPKS jelas menunjukkan keberpihakan dana sawit untuk pengusaha dan sangat tidak berimbang dibanding untuk petani kecil," kata Putra Adhiguna, analis dan managing director Energy Shift Institute.
Padahal, studi CDP yang dirilis pada 2021 mempertanyakan "kredensial hijau" biodiesel.
Tingkatkan produksi biodiesel
Keputusan Indonesia untuk terus meningkatkan produksi biodiesel, menurut CDP, akan berujung pada kian tingginya permintaan atas minyak sawit, yang akhirnya mengancam keberadaan hutan karena kian masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Sejak berdiri pada 2015, BPDPKS mengumpulkan pungutan atas ekspor produk kelapa sawit, termasuk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya.
Sebagian besar dana itu lalu disalurkan kepada produsen biodiesel sebagai insentif untuk menutup selisih antara harga indeks pasar biodiesel dan solar. Mudahnya, insentif diberikan agar harga biodiesel bisa kompetitif di pasaran.
Sebagai catatan, biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani. Di Indonesia, CPO merupakan bahan baku utama biodiesel.
Bagaimana mekanisme insentif biodiesel?
Pada periode 2015-2023, BPDPKS telah menyalurkan dana insentif kepada 29 produsen biodiesel yang terbagi ke dalam 15 grup usaha berbeda.
Hasil studi LSM Auriga Nusantara dan Satya Bumi mulanya menemukan ada 18 politically exposed persons (PEP) dalam jajaran petinggi perusahaan di tiga dari 15 grup usaha tersebut, yaitu Wilmar, Sinar Mas, dan Jhonlin.
Dalam perjalanannya, dua LSM tersebut merevisi angka PEP temuannya menjadi 17.
Pada 2015-2023, sejumlah perusahaan dalam grup Wilmar secara akumulatif telah menerima insentif sebesar Rp56,6 triliun, sementara entitas grup Sinar Mas mendapat Rp14 triliun.
Dua grup ini tercatat sebagai penerima insentif terbesar pertama dan kelima sejak BPDPKS terbentuk, menurut Auriga Nusantara dan Satya Bumi.
Sementara itu, grup Jhonlin baru menerima insentif pada 2022-2023. Namun, hanya dalam dua tahun ia telah mendapat insentif relatif besar dengan angka Rp1,86 triliun, kata dua LSM itu.
Siapa saja yang disebut dalam laporan?
Dalam laporannya, Auriga Nusantara dan Satya Bumi merujuk definisi politically exposed person (PEP) yang dirumukan Gugus Tugas Aksi Keuangan (FATF), organisasi internasional yang fokus memberantas tindak pencucian uang serta pendanaan untuk terorisme dan senjata pemusnah massal.
PEP disebut sebagai seseorang yang sedang atau pernah mendapat kepercayaan untuk menjalankan fungsi publik, entah sebagai kepala negara, pejabat senior di kantor pemerintahan dan BUMN, perwira tinggi polisi dan militer, atau politisi senior. Anggota keluarga dan rekan dekat orang ini pun bisa dikategorikan sebagai PEP.
"Di Indonesia tidak ada pengaturan tegas tentang berapa lama pejabat publik yang telah pensiun dapat menjabat di perusahaan swasta," tulis dua LSM tersebut dalam laporannya.
"Sehingga dalam penulisan [laporan] ini, setiap orang yang teridentifikasi sebagai pejabat publik dan telah pensiun akan tetap disebutkan sebagai PEP."
Grup Wilmar
Ada empat PEP yang tercatat sedang atau pernah memegang jabatan di sejumlah perusahaan yang terkait grup Wilmar, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM.
Tiga di antaranya adalah mantan petinggi Polri serta mantan jaksa agung muda. Mereka kini masuk jajaran dewan komisaris di PT Mustika Sembuluh dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
PT Wilmar Nabati Indonesia adalah produsen biodiesel di grup Wilmar yang rutin mendapat alokasi dana insentif dari BPDPKS setiap tahunnya dalam periode 2015-2023.
Ada pula mantan bupati di Sumatra Utara, yang sempat menjadi komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, tapi kini dipenjara karena kasus korupsi minyak goreng.
"Empat orang yang disebut itu pernah atau sedang menjabat sebagai komisaris independen di berbagai perusahaan Wilmar di Indonesia," kata Wilmar International dalam pernyataannya seperti dirilis BBC News Indonesia.
"Mereka tidak memegang jabatan eksekutif di perusahaan-perusahaan tersebut, dan tidak terlibat di manajemen operasi grup usaha kami."
Lebih lanjut, Wilmar mengatakan pihaknya "menjunjung standar integritas tertinggi".
Grup Sinar Mas
Ada empat PEP di berbagai perusahaan di grup Sinar Mas, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data AHU Kemenkumham dan laporan tahunan perusahaan terkait.
Mereka mencakup satu mantan petinggi TNI Angkatan Darat dan tiga mantan petinggi polda.
Data AHU Kemenkumham menunjukkan, mereka kini masuk jajaran direksi dan komisaris di sejumlah anak usaha atau perusahaan yang terafiliasi grup Sinar Mas.
Salah satu perusahaan yang dimaksud adalah PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (Smart), yang mendapat insentif BPDPKS pada periode 2016-2023.
Dalam pernyataan tertulis PT Smart mengatakan pihaknya mematuhi seluruh peraturan dan kebijakan yang ada dalam setiap interaksinya dengan BPDPKS.
Selain itu, tambahnya, tidak ada satu pun dari nama-nama yang disebut dalam laporan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang terlibat langsung dalam operasi bisnis biodiesel perusahaan.
"Seluruh karyawan diharapkan memenuhi standar integritas tinggi dan pedoman etika perusahaan serta mematuhi semua peraturan yang relevan di wilayah kami beroperasi," kata PT Smart, yang dikenal pula dengan merek Sinar Mas Agribusiness and Food.
Grup Jhonlin
Ada sembilan PEP yang tercatat di berbagai perusahaan di grup Jhonlin, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data AHU Kemenkumham.
Di sana, ada mantan petinggi Polri dan tiga petinggi Polda di Kalimantan dan Jawa Barat.
Selain itu, ada pula yang pernah menjadi staf khusus mantan panglima TNI, ketua pengadilan tinggi di Kalimantan, dan ketua Mahkamah Agung.
Dua lainnya adalah anak mantan petinggi Polri serta salah satu komisaris PT PLN yang saat ini masih menjabat.
Sembilan orang itu kini masuk jajaran komisaris atau memiliki sebagian kecil saham perusahaan-perusahaan yang menjadi bagian dari atau terafiliasi dengan grup Jhonlin.
PT Jhonlin Agro Raya, produsen biodiesel di grup Jhonlin yang mendapat alokasi insentif dari BPDPKS pada periode 2022-2023, menanggapi hasil riset Auriga Nusantara dan Satya Bumi.
Hingga Selasa 19 Maret 2024 kemarin PT Jhonlin Agro Raya tidak merespons permintaan konfirmasi.
Apa masalahnya bila ada 'ordal' di perusahaan?
Keberadaan orang yang sedang atau pernah memegang jabatan publik di perusahaan swasta berpotensi besar menghadirkan konflik kepentingan, menurut Auriga Nusantara dan Satya Bumi.
"Keberadaan PEP dalam struktur perusahaan membuat perusahaan tersebut memiliki potensi dalam penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi dan suap serta pencucian uang," tulis Auriga Nusantara dan Satya Bumi.
Sementara itu menurut Egi Primayogha, koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, para "orang dalam" serta keluarga dan orang-orang dekatnya dapat menggunakan pengaruh dan jaringannya untuk membantu pihak tertentu mendapat sejumlah keistimewaan.
"Ia bisa mengubah aturan maupun anggaran untuk memfasilitasi kejahatan korupsi seperti penggelapan pajak atau pencucian uang," kata Egi.
"Itu bisa dilakukan olehnya atas motif telah menerima suap, balas budi pasca-pemilu, menguntungkan partai politik dirinya, dan sebagainya."
Dalam konteks industri biodiesel Indonesia, para PEP bisa membantu perusahaan mengamankan dana insentif biodiesel dari BPDPKS atau, bila memiliki kewenangan perpajakan, dapat memfasilitasi "kecurangan pajak", tambah Egi.
Pada periode 2015-2023, total pendapatan yang diterima BPDPKS secara akumulatif mencapai Rp217,8 triliun, yang 94,7% di antaranya datang dari pungutan atas ekspor produk kelapa sawit, termasuk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya.
Di kurun waktu yang sama, total belanja atau pengeluaran BPDPKS menyentuh Rp176,1 triliun. Sebesar Rp160,8 triliun di antaranya, atau 91,3%, disalurkan pada para produsen biodiesel sebagai insentif untuk menutup selisih antara harga indeks pasar biodiesel dan solar, merujuk data anggaran di laporan kinerja BPDPKS 2023.
Porsi belanja untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit hanya mencapai 5,4%.
Sementara itu, persentase pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, serta untuk pengembangan sumber daya manusia (termasuk pelatihan untuk para petani kecil dan beasiswa untuk anak-anak mereka) masing-masing hanya menyentuh 0,37% dan 0,27%.
"Alokasi dana BPDPKS jelas menunjukkan keberpihakan dana sawit untuk pengusaha dan sangat tidak berimbang dibanding untuk petani kecil," kata Putra Adhiguna, analis dan managing director Energy Shift Institute.
"Meski petani kecil memiliki lebih dari 40% lahan sawit, produktivitasnya masih relatif rendah dan membutuhkan dukungan. Sebagai dana publik, dana BPDPKS harus teralokasi dengan baik untuk kesejahteraan rakyat."
BPDPKS dibentuk berdasarkan amanat pasal 93 Undang-Undang No. 39/2014 tentang perkebunan, yang mengatur penghimpunan dana dari pelaku usaha dan tujuan penggunaan dana tersebut.
Masalahnya, pasal itu tak pernah menyebut bahwa dana yang terkumpul akan digunakan untuk insentif biodiesel. Tujuan yang disebutkan di sana adalah untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan pengadaan sarana dan prasarana perkebunan.
Pemberian insentif biodiesel baru dibahas di Peraturan Presiden No. 61/2015. Ini lantas diadopsi dalam misi BPDPKS.
Dalam perjalanannya, penyaluran dana insentif biodiesel untuk grup usaha besar seperti Wilmar dan Sinar Mas justru selalu mendominasi anggaran belanja BPDPKS.
Menurut catatan Auriga Nusantara dan Satya Bumi, ada setidaknya empat perusahaan dalam grup Wilmar dan dua dalam grup Sinar Mas yang pernah menerima insentif biodiesel dalam periode 2015-2023.
Hampir seluruh perusahaan itu rutin mendapat alokasi insentif biodiesel setiap tahunnya selama tujuh hingga sembilan tahun terakhir.
Sementara itu, hanya ada satu perusahaan dari grup Jhonlin, yaitu PT Jhonlin Agro Raya, yang pernah mendapat insentif.
Meski baru menerima insentif pada 2022-2023, PT Jhonlin Agro Raya langsung mendapat alokasi yang terhitung cukup besar, kata Auriga Nusantara dan Satya Bumi.
Dari sana, muncul indikasi bahwa kehadiran PEP di tiga grup usaha tersebut membantu mengamankan alokasi insentif biodiesel, pun memudahkan operasi para perusahaan terkait di lapangan.
"Keberadaan PEP bisa saja mengindikasikan hal itu," kata Sesilia Maharani Putri, peneliti Auriga Nusantara.
"Untuk itu menjadi penting agar, pertama, pemerintah menegaskan batasan dari PEP itu sendiri, supaya tidak semua orang dikategorikan sebagai PEP. Kedua, pihak korporasi wajib mendeklarasikan PEP - jika di perusahaannya ada pejabat/mantan pejabat/keluarga pejabat - sebagai bentuk transparansi."
Indonesia memang belum mengatur soal masa jeda bagi seseorang setelah melepas jabatan publik, sebelum ia bisa mengambil jabatan di perusahaan swasta.
Sejumlah negara lain telah mengatur hal ini. Di Kanada, misalnya, seseorang masih dianggap PEP selama lima tahun setelah ia meninggalkan jabatan publiknya.
Sementara itu di Australia, seseorang tak lagi dianggap PEP langsung setelah ia mundur dari posisinya.
Karena belum ada peraturan yang jelas soal ini di Indonesia, Wakil Ketua Ombudsman, Bobby Hamzar Rafinus, menilai penunjukan para PEP di perusahaan telah menjadi "strategi korporasi dalam upaya mendapatkan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah".
"Dari kacamata Ombudsman, strategi ini tidak bermasalah sejauh tidak mendorong timbulnya maladministrasi pada instansi pemerintah pemberi fasilitas," kata Bobby.
"Maladministrasi tersebut dapat berupa penyimpangan prosedur, diskriminasi, pelanggaran hukum, serta KKN."
Agus Cahyono Adi, juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, enggan mengomentari temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi.
"Itu ranahnya APH [aparat penegak hukum] dan Ombudsman," kata Agus.
Hingga Selasa (19/03), BPDPKS juga tidak merespons sejumlah pertanyaan.
Mengapa pemerintah begitu semangat mengembangkan biodiesel?
Semua bermula pada 2005, saat harga minyak dunia melonjak tajam.
Hal ini memojokkan Indonesia, karena ongkos impor minyak ikut membengkak sehingga cadangan devisa pun menipis.
Pada tahun itu, produksi minyak domestik hanya mencapai 1,09 juta barel per hari, sementara konsumsi domestik telah menyentuh 1,29 juta barel per hari, merujuk laporan BP Statistical Review of World Energy (2011).
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lantas merumuskan kebijakan energi baru, yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan peran energi alternatif seperti biofuel untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
SBY menerbitkan Peraturan Presiden No. 5/2006, yang menargetkan peningkatan porsi biofuel di bauran energi nasional hingga 5% pada 2025, dari 0% pada 2005.
Biofuel adalah bahan bakar yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani. Di Indonesia, ia kerap pula disebut sebagai bahan bakar nabati atau BBN.
Ada beberapa jenis biofuel, termasuk biodiesel untuk bahan bakar mesin diesel dan bioetanol untuk mesin bensin.
Mulanya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengidentifikasi potensi 60 jenis tanaman sebagai bahan baku biodiesel, termasuk singkong, tebu, dan kelapa sawit. Namun, dalam praktiknya, minyak sawit jadi andalan utama (dan satu-satunya) untuk memproduksi biodiesel.
Setelahnya, terbitlah Peraturan Menteri ESDM No. 32/2008 yang mewajibkan penggunaan biofuel di beberapa sektor tertentu, termasuk transportasi, industri, dan pembangkit listrik, dengan mekanisme pencampuran secara bertahap - yang dari tahun ke tahun persentasenya terus membesar.
Peraturan ini sempat beberapa kali direvisi, terakhir melalui Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015, untuk meningkatkan target pencampuran biofuel, termasuk biodiesel.
Dari sana, muncullah istilah B5, B10, B20 dan seterusnya. Mudahnya, angka di belakang huruf "B" mewakili persentase biodiesel yang dicampur dengan solar.
Pada 2015, BPDPKS dibentuk sebagai respons pemerintah atas kelebihan pasokan minyak sawit mentah (CPO) yang membuat harganya terus menurun, seperti yang dijelaskan dalam laporan kinerja BPDPKS.
Ini menjelaskan mengapa skema insentif biodiesel masuk dalam Peraturan Presiden No. 61/2015, meski Undang-Undang No. 39/2014 yang menjadi landasan pembentukan BPDPKS tidak membahas hal itu.
Setelah berhasil menstabilkan harga CPO melalui BPDPKS, pemerintah melihat peluang lain: industri biodiesel dapat membantu mewujudkan target pengembangan industri energi baru dan terbarukan (EBT) untuk memangkas emisi gas rumah kaca, sejalan dengan Perjanjian Paris 2015.
"Sejarah awalnya, biodiesel itu tujuan utamanya lebih ke mengurangi impor BBM. Jadi, bukan untuk sisi lingkungannya. Kemudian, itu juga bisa menyerap kelebihan pasokan minyak sawit apabila harga internasional sedang jatuh," kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios).
"Sebenarnya tujuannya ke sana. Jadi baru-baru saja kemudian digiring dia [tujuannya] menjadi transisi energi yang lebih bersih."
Karena itu, pengembangan biodiesel terhitung pesat. Mulanya, pemerintah menargetkan untuk mewajibkan penggunaan B30 di sektor yang masuk kategori pelayanan publik (PSO) mulai Januari 2020. Namun, Pertamina telah memasarkannya sejak akhir 2019.
Pada periode 2020-2025, pemerintah pun awalnya hanya mewajibkan penggunaan B30. Namun, pada 2023 program B35 telah diluncurkan. Uji coba untuk pemanfaatan B40 pun telah berlangsung sejak 2022.
"Biodiesel menawarkan campuran bahan bakar yang lebih bersih dan ramah lingkungan daripada bahan bakar fosil konvensional, sehingga mengarah kepada pengurangan emisi gas rumah kaca dan polusi udara secara signifikan," kata Yudo Dwinanda Pribadi pada Oktober 2023, kala masih menjabat sebagai Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
Apakah benar biodiesel ramah lingkungan?
Pesatnya pertumbuhan produksi biodiesel memicu kenaikan permintaan akan minyak sawit mentah (CPO). Ini dikhawatirkan mendorong perluasan lahan sawit serta peningkatan laju deforestasi dan emisi gas rumah kaca.
Pada periode 2014-2023, angka produksi biodiesel tahunan melonjak 215% dari 3,96 juta kilo liter menjadi 12,48 juta kilo liter, merujuk data Aprobi.
Pada 2014, Indonesia memproduksi 29,3 juta ton CPO dari kebun sawit seluas 10,9 juta hektare.
Pada 2023, produksi CPO telah menyentuh 50,07 juta ton dari kebun sawit seluas 16,38 juta hektare, merujuk data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Kementerian Pertanian.
Sebuah studi yang dipimpin TheTreeMap menunjukkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas hilangnya 3,09 juta hektare hutan primer di Indonesia pada periode 2001-2019.
"Orang-orang kan bilang, biodiesel ini lebih ramah lingkungan dibandingkan BBM, tapi [melihat] rantai emisi karbon dari kebun - apalagi kebunnya hasil dari deforestasi - sampai kemudian ke SPBU, sebenarnya emisi karbon yang dihasilkan juga cukup tinggi," kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Celios.
"Jadi juga dia tidak serta-merta bisa mempercepat menuju net zero emission."
Di sisi lain, Putra Adhiguna, managing director Energy Shift Institute, juga memperingatkan soal kompetisi antara industri biodiesel dan pangan.
Menurut data Gapki, konsumsi CPO dalam negeri untuk produksi biodiesel terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, pada 2023 ia telah melampaui angka konsumsi CPO untuk menghasilkan produk pangan seperti minyak goreng dan margarin.
"Adanya kompetisi dengan [sektor] pangan tetap akan memberi risiko tambahan untuk perluasan lahan sawit," kata Putra.
"Bisa jadi biodiesel diproduksi dari perkebunan berstandar baik, namun konsumsinya yang besar akan turut ‘memaksa’ perluasan lahan sawit untuk kebutuhan pangan dan ekspor."
Studi CDP, organisasi internasional yang menganalisis dampak lingkungan dari operasi berbagai perusahaan global, pun mempertanyakan "kredensial hijau" biodiesel.
Keputusan Indonesia untuk terus meningkatkan produksi biodiesel, menurut CDP, akan berujung pada kian tingginya permintaan atas minyak sawit, yang akhirnya mengancam keberadaan hutan karena kian masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit.
"Hilangnya hutan lebih lanjut mengancam keanekaragaman hayati di lanskap yang rentan, dapat memperparah emisi gas rumah kaca, mengalihkan minyak sawit dari rantai makanan, dan membuat masyarakat yang tinggal di lahan yang dikonversi terkena dampak perubahan iklim ekstrem," tulis CDP. (*)
Tags : Minyak gas, Bisnis, Ekonomi, Politik, Indonesia, Lingkungan, Alam, Sorotan, riaupagi.com,