Linkungan   2025/03/04 15:3 WIB

Kejagung Mulai Bidik Dugaan Permainan Denda Sawit, INPEST: 'Pemutihan Lahan Perusahaan Sama Saja Celah Merusak Hutan'

Kejagung Mulai Bidik Dugaan Permainan Denda Sawit, INPEST: 'Pemutihan Lahan Perusahaan Sama Saja Celah Merusak Hutan'

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kejaksaan Agung disebut sebut mulai membidik tiga nama petinggi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dugaan manipulasi denda perkebunan sawit di kawasan hutan.

Sementara aktivis Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) mengecam pemutihan lahan sawit di kawasan hutan.

INPEST mengecam kebijakan pemerintah mengampuni atau melakukan pemutihan terhadap lahan sawit di kawasan hutan.

"Ini jadi celah perusahaan merusak hutan," kata Ir. Marganda Simamora SH, M.Si, Ketua Umum (Ketum) INPEST dalam releasenya melalui Whats App (WA), Selasa (4/3).

Menurutnya, langkah tersebut dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum. 

Tetapi jika pihak Kejagung tetap melakukan denda perkebunan sawit di kawasan hutan, agar perhitungan denda keterlambatan melibatkan banyak pihak, Kejagung, Kepolisian, Yayasan atau LSM untuk dapat meghitung secara transparansi kerugian negara atas denda dan pajak perkebunan dalam kelapa sawit.

Sebelumnya, pihak Kejagung telah membidik salah satu nama yang disasar adalah BH yang merupakan, mantan Sekretaris Jenderal KLHK. 

BH diduga memiliki peran penting dalam permainan denda administratif yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Sumber penegak hukum menyebutkan, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) tengah mendalami keterlibatan BH dalam manipulasi denda perkebunan sawit di kawasan hutan.

"BH berperan sebagai pengendali proses penindakan hingga penetapan denda melalui Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian," kata sumber tersebut, Jumat, 28 Februari 2025.

Sebagai Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian yang dibentuk KLHK pada 2021, BH memiliki kewenangan menentukan besaran denda dan mekanisme penagihan.

Permainan denda ini berlangsung dengan penerapan dua aturan yang berlaku bersamaan, yakni melalui SK Menteri LHK Nomor 661 Tahun 2023 dan SK Menteri LHK Nomor 815 Tahun 2023.

SK 661 menghitung denda berdasarkan luas kawasan hutan dan nilai kekayaan alam yang rusak, sedangkan SK 815 hanya menghitung denda dari luas lahan sawit.

Selisih dari kedua rumus ini kabarnya mencapai ratusan miliar rupiah.

Sumber itu menduga ada kongkalikong antara pejabat KLHK dan pengusaha sawit dalam pemilihan aturan denda yang lebih ringan.

Perusahaan yang memilih membayar denda ringan melalui SK 815 diduga diminta menyetor uang tambahan kepada oknum pegawai KLHK.

Modus ini menjadi temuan utama penyidikan Kejagung yang berjalan sejak Oktober 2024.

Dokumen internal KLHK menunjukkan bahwa dari 365 tagihan denda hingga Februari 2024, negara hanya memperoleh Rp637 miliar.

Padahal, bila menggunakan rumus SK 661, penerimaan negara seharusnya mencapai Rp1,7 triliun.

"Ini permainan terstruktur. Tim BH yang mengatur semuanya,"kata sumber penegak hukum.

Meski sudah pensiun, BH hingga kini masih aktif sebagai Penasihat Utama Menteri Kehutanan dan berkantor di KLHK.

Sebelumnya Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengungkapkan bahwa ada pejabat KLHK yang akan menjadi tersangka kasus korupsi tata kelola perkebunan kelapa sawit tahun 2005-2024.

Hal itu disampaikan ST Burhanuddin menanggapi pertanyaan awak media terkait kabar yang menyebutkan adanya pegawai eselon I dan eselon II di KLHK yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut.

"Yang pasti ada," katanya di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu 8 Januari 2025.

Ketika awak media kembali menanyakan apakah ada mantan Menteri KLHK yang menjadi tersangka, ia enggan menjawabnya.

"Nanti dulu saja. Jangan tergesa-gesa," ucapnya.

Dirinya memastikan bahwa kasus korupsi di kementerian tersebut terus dikembangkan oleh penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

"Ada beberapa hal yang sudah perbuatan melawan hukum. Kita sudah inventarisasi. Kami sedang pendalaman. Tentunya dalam waktu sebulan lagi akan kami sampaikan," tuturnya.

Pemutihan lahan sawit celah merusak hutan

Kebijakan pemerintah mengampuni atau melakukan pemutihan terhadap lahan sawit di kawasan hutan, langkah tersebut dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum, kata Marganda Simamora.

"Kami meminta agar perhitungan denda keterlambatan melibatkan banyak pihak, Kejagung, Kepolisian, Yayasan atau LSM untuk dapat meghitung secara transparansi kerugian negara atas denda dan pajak peekebunan dalam kelapa sawit. Bisa saja mereka mengitung tidak tepat, misalnya umur tananan, profuksi perbulan dan potensi tutupan lahan sehingga pwmbayaran lebih kecil dan merugikan negara," ungkap Ketum Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) ini lagi. 

Menurutnya, selama ini pemerintah sudah berencana melakukan pengampunan atau pemutihan lahan sawit di kawasan hutan melalui mekanisme mekanisme Pasal 110A dan 110B Undang-undang atau UU Cipta Kerja.

Berdasarkan beleid tersebut, kata dia, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. Artinya, korporasi bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administratif.

Menurut Ganda Mora (nama sebutan sehari harinya) ini menambahkan, seharusnya proses penyelesaian lahan sawit di kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H).

"Uji materi pasal pemutihan sawit di dalam kawasan hutan ini kepada Mahkamah Agung hasilnya juga tidak diketahui." 

Para aktivis juga ingin memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. 

Ganda pun menilai proses penyelesaian sawit dalam kawasan sangat tertutup dan tidak transparan. Pasalnya, publik tidak diberikan informasi yang cukup untuk mengetahui sejauh mana perkembangan proses ini dalam perang masyarakat sipil melakukan mengawasi atas proses yang berlangsung. 

Bahkan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan KLHK ihwal subjek hukum yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan diharapkan menyelesaikan melalui mekanisme Pasal 110 A dan 110 B. Data ini pun tidak dapat diakses oleh publik. 

Menurutnya, kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum. Hal ini, ujarnya, dapat menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. 

Seharusnya, pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan tentang perizinan berusaha sebagaimana diatur di dalam UU Cipta Kerja.

Ia berpendapat, aturan pelaksanaan lewat mekanisme ini justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat. 

Guna mengejar pencapaian perkebunan sawit berkelanjutan, menurutnya, perlu didukung dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satunya dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna.

"Itu akan menciptakan transformasi sawit di mana perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan, melainkan percepatan penganekaragaman produk olahan sawit," kata Ganda.

Adapun batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan telah melewati batas akhir. Menurut amanat Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Penetapan Perpu CK) bahwa pada 2 November 2023 lalu merupakan batas waktu penyelesaian persoalan sawit ilegal dalam kawasan hutan baik melalui dua tipologi 110 A maupun 110 B. 

Terkini, Ganda Mora menyatakan bahwa telah teridentifikasi sebanyak 118 perusahaan sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan dan sudah mengurus izin. Selain juga ada sawit illegal berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Konservasi (HK) di Riau yang pelaku usaha harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan ke negara. Lalu dikembalikan ke negara berdasarkan Pasal 110 B UU Cipta Kerja. Berikut perusahaan yang terdata diantarannya:

Adi, dkk. 
Total permohonan: 907 hektare
Berproses: 907 hektare
Ditolak: -

2. PT. Adimulia Agrolestari
Total permohonan: 374 hektare
Berproses: 102 hektare
Ditolak: 272 hektare

3. PT. Aditya Palma Nusantara
Total permohonan: 795 hektare
Berproses: 744 hektare
Ditolak: 51 hektare

4. PT. Agro Mitra Rokan
Total permohonan: 3.605 hektare
Berproses: 380 hektare
Ditolak: 3.225 hektare

5. PT. Agro Sarimas Indonesia
Total permohonan: 4.661 hektare
Berproses: 1.636 hektare
Ditolak: 3.298 hektare

6. PT. Air Jernih
Total permohonan: 397 hektare
Berproses: 370 hektare
Ditolak: 27 hektare

7. PT. Air Kampar
Total permohonan: 129 hektare
Berproses: 128 hektare
Ditolak: 1 hektare

8. PT. Anugerah Agro Sawit perkasa
Total permohonan: 48 hektare
Berproses: -
Ditolak: 48 hektare

9. PT. Arindo Trisejahtra (1) 
Total permohonan: 28 hektare
Berproses: 28 hektare
Ditolak: -

10. PT. Arvena Sepakat
Total permohonan: 20 hektare
Berproses: - 
Ditolak: 20 hektare

11. PT. Asia Sawit Makmur Jaya
Total permohonan: 50 hektare
Berproses: 47 hektare
Ditolak: 3 hektare

PT. Bhara Induk
Total permohonan: 180 hektare
Berproses: 175 hektare
Ditolak: 5 hektare

First Resorces Group Ltd (Ex PT Surya Dumai Industri Group)
Darmex (Duta Palma)
PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP)
PT Tribakti Sari Mas
PT Peputra Master Raya
PT Ivomas Group
PT Torganda 
dll
(*)

Tags : perkebunan sawit, perusahaan sawit, perusahaan sawitdikawasan hutan, denda sawit di kawasan hutan, pemutihan lahan sawit celah merusak hutan, lingkungan alam,