Hukrim   2021/01/05 18:56 WIB

Kekerasan Seksual Menguak, Pelaku Mabuk Dapat 'Kurangi Masa Tahanan'

Kekerasan Seksual Menguak, Pelaku Mabuk Dapat 'Kurangi Masa Tahanan'

HUKRIM - Pengurangan masa hukuman yang membuat seorang napi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dibebaskan dari penjara telah memicu perbebatan tentang sistem hukum di Korea Selatan [Korsel].

12 tahun lalu, tepatnya 11 Desember pagi, seorang gadis kecil berusia delapan tahun tengah berjalan menuju sekolah di Ansan, sebelah barat daya Seoul, diculik seorang residivis, Cho Doo-soon, berusia 56 tahun. Cho membawa bocah itu ke sebuah toilet dekat gereja, tempat di mana dia secara brutal memukuli dan memperkosanya. Na-young - bukan nama sebenarnya - selamat. Tapi dia masih menderita luka fisik dan trauma mental akibat serangan tersebut.

Dan sekarang dia harus pindah dari rumahnya. Sebab, pemerkosanya diizinkan kembali ke rumahnya di Ansan, tempat dia melakukan kejahatan. Tempat tinggal Cho kurang dari 1 kilometer dari rumah Na-young. "Kami tidak ingin pergi dari sini, tapi tak ada pilihan. Saya juga ingin mengirim pesan bahwa pemerintah tak berbuat apa-apa, tapi memaksa korban untuk bersembunyi," kata ayah Na-young dirilis BBC, beberapa hari setelah Cho dibebaskan, setelah menjalani hukuman penjara 12 tahun setelah mendapat pengurangan masa hukuman.

Dia menambahkan bahwa Na-young berat hati untuk pindah karena dia tidak ingin meninggalkan teman-teman dekatnya.

Keluarga juga khawatir dengan pindah tempat tinggal, identitas mereka akan terkuak. Tapi mereka merasakan bahwa hanya itulah pilihan mereka. "Bertahun-tahun telah berlalu, tapi masih tak ada yang berubah. Beban masih ditanggung oleh korban sepenuhnya," katanya.

Mabuk dijadikan pembenaran

Kasus Cho telah menuai kritik besar-besaran terhadap sistem peradilan Korsel, karena bersikap lunak terhadap pelaku kekerasan seksual. Dia sebenarnya dipenjara 15 tahun. Tapi pengadilan banding memotong masa tahanannya menjadi 12 tahun, dengan dalih dia dalam kondisi mabuk saat memperkosa bocah itu. Hal itu bisa terjadi, karena di Korea Selatan, hukuman bagi kejahatan yang terjadi karena berada di bawah pengaruh alkohol akan dihukum lebih ringan.

Dalam aturan hukum pidana yang berlaku di negara itu, yaitu pada Pasal 10 ayat (2) yang dikenal sebagai "Sim Sin Mi Yak" menyebutkan, pengadilan dapat mengurangi hukuman kejahatan saat seseorang mengalami masalah mental. Sementara itu, aturan hukum "Joo Chi Gam Hyung" menyebutkan bahwa "penyalahgunaan zat" dapat mengganggu mental seseorang. Namun, publik murka dengan pengurangan masa hukuman Cho. Yoon Jung-Sook, dari Institut Kriminologi Korea, mengatakan kasus Cho telah memicu perdebatan yang meluas. "Kasusnya telah mengubah hukum di Korea, dan cara kita memandang mabuk-mabukan dalam sebuah kejahatan," kata Yoon.

Sejak kasus Cho bergulir, badan legislasi nasional telah mengamandemen undang-undang tersebut untuk mempersulit terdakwa menjadikan alkohol sebagai pembelaan. Namun, ketentuan tersebut masih ada, meskipun ada seruan untuk mencabut sepenuhnya, dan penilaian mengenai "mabuk" tetap bisa digunakan atas kebijaksanaan pengadilan. Dalam kasus lainnya, pada Oktober 2019, seorang pria berusia 26 tahun telah mendapat keringanan hukuman. Awalnya dihukum tiga tahun penjara menjadi empat tahun masa percobaan. Artinya pria yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswa tersebut tetap bisa menghirup udara segar.

Berdalih dalam kondisi mabuk saat kejahatan terjadi

Pada awal tahun ini, pria 24 tahun bernama Son Jong-woo telah dibebaskan setelah 18 bulan berada dalam penjara dengan kasus menjalankan situs pornografi anak terbesar di dunia. Pada Juli, pengadilan setempat menolak permintaan Amerika Serikat untuk mengekstradisinya. Kalangan aktivis perempuan mengatakan, kegagalan ekstradisi ini telah menunjukkan kelemahan sistem peradilan terhadap pelaku kekerasan sesksual.

Pembebasan Cho telah memicu ketakutan dan kecemasan di Korea Selatan. Lebih dari 600.000 orang menandatangani sebuah petisi dalam situs kepresidenan Gedung Biru, menyerukan untuk pengadilan ulang dan menolak Cho untuk berbaur lagi dengan masyarakat. Tapi pemerintah menolak seruan tersebut. Kemarahan publik makin tampak saat Cho, saat ini berusia 68 tahun, kembali ke rumah istrinya di Ansan, pada 12 Desember. Gelombang unjuk rasa menyerukan "eksekusi dia!" dan "kebiri dia!".

Saat pria dengan rambut abu-abu itu tiba dengan mobil van pemerintah, dikawal oleh petugas lapas, sejumlah pengunjuk rasa melemparkan telur dan menendangi mobil tersebut. Untuk meredam kemarahan publik, kepolisian berjanji untuk mengawasi Cho sepanjang waktu, memasang 35 kamera pengawas, dan mendirikan pos polisi baru di sekitar lingkungan rumah Cho.

Selain itu, Cho juga akan dikenakan sebuah perangkat pemantau elektronik selama tujuh tahun. Kepolisian juga menawarkan keluarga Na-young sebuah jam tangan pintar yang akan mendeteksi dan memberi sinyal ketika pelaku berusaha mendekati mereka. Tapi ayah Na-young mengatakan hal ini akan membuat mereka "merasa lebih cemas", dan keluarga menolak untuk menggunakan perangkat tersebut. "Kalau jam tangan ini mengirimkan sebuah peringatan kepada anak saya, dia akan ketakutan," katanya, sambil menambahkan dia takut perangkan ini kemungkinan akan membantu orang untuk mengidentifikasi identitas anaknya sebagai korban serangan.

Para pengamat hukum mengatakan sistem peradilan sedang diubah, tapi itu tidaklah cukup. Jung Seung-yoon, profesor hukum dari Univeristas Nasional Pusan, meyakini diperlukan "perubahan pada hukuman dan prosedur pembebasan" yang sah menurut hukum untuk memantau napi yang sudah dibebaskan, tanpa harus khawatir adanya hukuman ganda. Jung mengatakan: "Jika pengadilan menghukum penjara Cho 30 tahun, bukan 12 tahun, kita masih tetap bisa membebaskannya setelah 12 tahun - tapi dengan kondisi yang sangat kuat untuk mencegah kejahatan yang berulang."

Jung juga berpendapat, sistem hukum saat ini, tak banyak mempertimbangkan kondisi korban. "Sistem hukum Korea semestinya lebih peduli tentang pendapat dari para korban. Di mana suara korban saat pengadilan memutuskan 12 tahun penjara untuk Cho Do Soon?". Kasus pembebasan Cho juga mendorong anggota parlemen mengusulkan sejumlah aturan bagi pelaku kekerasan seksual yang telah dibebaskan dari penjara. Salah satunya, Kim Young-ho dari Partai Demokrat yang berkuasa, mengusulkan sebuah rancangan undang-undang yang membuat pelaku kekerasan seksual terhadap anak dihukum penjara seumur hidup jika ia mengulangi perbuatannya.

Selain itu, pelaku juga harus dipisahkan dari masyarakat. Seruan ini datang di saat kekerasan seksual terhadap anak-anak terus meningkat. Menurut kepolisian, jumlah kejahatan seks terhadap anak-anak usia di bawah 13 tahun, meningkat dari 1083 kasus pada 2016 menjadi 1374 pada 2019. Selain itu, perwakilan Partai Demokrat lainnya, Jung Choun-sook juga mengusulkan sebuah aturan yang bertujuan untuk menguatkan perintah pengadilan untuk melarang yang bersangkutan mendekati sekolah atau taman bermain dari 100 meter menjadi 1km. "Ini adalah kunci untuk meningkatkan hukuman (penjahat seksual terhadap anak-anak) dan memperkuat langkah-langkah perlindungan bagi para korban," tulis Jung dalam halaman Facebooknya.

Kasus Cho juga mendorong badan legislasi nasional untuk membuat RUU yang dinamai "Undang Undang Cho Doo-soon", di mana mengatur larangan bagi pelaku kekerasan seksual untuk meninggalkan rumah mereka pada malam hari dan pada jam anak-anak berangkat dan pulang sekolah. Namun, Yoon Jung-Sook, dari Institut Kriminologi Korea mengatakan "karena itu mustahil untuk mengisolasi pelaku dari lingkungan masyarakat selamanya, sistem kriminal harus menjamin bahwa mereka telah berubah, sebelum kembali berbaur dengan masyarakat".

Dia menambahkan fasilitas lembaga pemasyarakatan harus lebih berupaya untuk merehabilitasi para penjahat itu demi "kebaikan masyarakat kita", sambil menekankan bahwa hukuman secara statistik tak banyak membantu mencegah mantan narapidana mengulangi perbuatannya lagi. Dia mengatakan: "Setiap orang membenci kejahatan kekerasan seksual. Kita semua tahu itu. Seluruh dunia membenci mereka. Tapi kembalinya mereka tak bisa dihindari. Mereka pasti kembali."

Trauma tak berkesudahan

Ada juga kebutuhan yang lebih besar untuk mendukung para korban, kata ayah Na-young. Dia takut, perhatian yang besar karena kasus pembebasan Cho "pada akhirnya menghilang", sambil menambahkan bahwa keluarga korban membutuhkan "perhatian yang terus menerus". "Ini akan lebih membantu, jika ada pejabat publik atau pekerja sosial yang tetap terus berhubungan dengan para korban. Hanya sekali sebulan atau dua kali sebulan, menelpon kami, menanyakan kabar kami, ini akan membuat kamu merasa lebih aman dan terlindungi. Kalian tidak sendiri. Kami akan mendukung kalian. Itulah hal yang ingin didengar oleh keluarga korban". (*)

Tags : Kekerasan Seksual Menguak, Kekekrasan seksual pada anak, Korsel,