Kesehatan   2024/06/21 19:28 WIB

Kelompok Buruh Ragu Ketentuan Hak Cuti Melahirkan Selama Enam Bulan, Apakah Untung Atau Rugi Bagi Ibu Pekerja di Indonesia?

Kelompok Buruh Ragu Ketentuan Hak Cuti Melahirkan Selama Enam Bulan, Apakah Untung Atau Rugi Bagi Ibu Pekerja di Indonesia?
Petugas kesehatan memeriksa kalender kehamilan pasien.

JAKARTA - Sejumlah kelompok buruh ragu ketentuan mengenai hak cuti melahirkan selama enam bulan yang diatur UU Kesejahteraan Ibu dan Anak bisa terlaksana selama pengawasan ketenagakerjaan lemah.

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia [FSBPI], Jumisih, mengatakan, banyak kasus buruh yang berstatus kontrak akhirnya diberhentikan oleh perusahaan demi menghindari kewajiban membayar upah cuti melahirkan selama tiga bulan.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia [Apindo], Bob Azam, mengakui adanya praktik semacam itu. Kini, setelah adanya aturan cuti enam bulan, dia yakin tak semua perusahaan sanggup memenuhi hal tersebut.

Bob justru khawatir aturan ini malah membuat perusahaan enggan merekrut tenaga kerja perempuan.

Wakil Ketua Komisi 8 DPR, Diah Pitaloka, memahami kekhawatiran buruh tersebut. Namun, dalam aturan anyar ini pekerja yang diberhentikan atau tidak memperoleh hak cuti melahirkan bakal mendapatkan bantuan hukum untuk memperjuangkan haknya.

Apa isi UU Kesejahteraan Ibu dan Anak?

Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] mengesahkan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan pada Selasa (04/06).

Undang-undang ini diharapkan bisa menyelesaikan persoalan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan yang terkait dengan akses layanan kesehatan – seperti melahirkan, menyusui, hingga pemenuhan gizi anak.

Intinya, menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, beleid tersebut ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

"Ini momen yang penting untuk pertumbuhan anak dan UU KIA mengondisikan pendekatannya secara serius dari perencanaan sampai politik anggaran. Jadi jangan cuma pencitraan aja," imbuhnya, Rabu (05/06).

"Harus didukung lah, bagus kok UU-nya."

UU KIA mengatur sejumlah hal yang terkait dengan kesejahteraan ibu dan anak. Beberapa poinnya antara lain pada Pasal 4 ayat 3 memuat bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan:

Cuti melahirkan dengan ketentuan paling singkat tiga bulan pertama, dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Kondisi khusus yang dimaksud meliputi ibu yang mengalami gangguan masalah kesehatan, gangguan kesehatan, komplikasi pasca-persalinan atau keguguran. Atau anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan komplikasi.

Ibu yang sedang menggunakan haknya tersebut tidak boleh diberhentikan dan tetap memperoleh gaji serta jaminan sosial perusahaan.

Penggajian itu merujuk Pasal 5 ayat 2 berupa upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan keempat dan 75% dari upah di bulan kelima dan keenam.

Selain itu, ibu pekerja diberikan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran.

Ada pula tertera kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja.

Lalu, waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya.

Soal biaya, kata Diah Pitaloka, pendekatannya dibuat oleh dana dari pemerintah pusat atau pemda tergantung pada kapasitas anggarannya.

"Tapi setidaknya kita membangun perspektif anggaran untuk kebutuhan itu yang selama ini tidak pernah ada," imbuhnya.

"Selama ini kan bicara anak retoris, buktinya kita enggak punya politik anggaran. UU ini mengondisikan bahwa pendekatannya serius dari perencanaan sampai politik anggaran. Bukan cuma pencitraan aja."

Namun demikian, jika ibu pekerja tersebut diberhentikan dari pekerjaannya ataupun tidak mendapatkan haknya, maka pemerintah pusat dan pemda harus memberikan bantuan hukum sesuatu dengan peraturan perundang-undangan.

"Artinya dibantu memperjuangkan haknya," ucap Diah Pitaloka.

"Dan hak cuti melahirkan ini berlaku untuk pekerja formal baik statusnya kontrak dan karyawan tetap."

Seorang ibu pekerja di Bandung, Jawa Barat, Dian – bukan nama sebenarnya – sangat gembira ketika mengetahui akan adanya cuti selama enam bulan bagi ibu yang melahirkan.

Terlebih lagi, kata perempuan 30 tahun ini, dia sedang mengandung anak kedua.

Akan tetapi kegembiraan itu seketika sirna begitu tahu bahwa cuti selama enam bulan itu hanya berlaku bagi ibu yang mengalami masalah kesehatan berdasarkan surat keterangan dokter.

"Senang sekali tahu ada berita itu, cuti melahirkan jadi enam bulan. Walaupun setelah dibaca benar-benar, tiga bulan tambahan itu kalau ada surat dokter, atau kalau anak atau ibunya ada perhatian khusus bisa tambah cuti lagi," ungkap Dian, Kamis (06/06).

"Kenapa enggak enam bulan itu diberlakukan sama saja ke semuanya? Tidak harus ada surat dokter atau ketentuan lain. Kita kan berharapnya lahiran anak baik-baik saja, dan kitanya juga baik-baik aja."

Dina berkata cuti selama enam bulan sebetulnya sangat ideal untuk ibu pekerja yang habis melahirkan supaya bisa optimal mengurus sang bayi.

Si bayi pun bisa melewati 1.000 hari pertama kelahiran dengan pemberian Air Susu Ibu [ASI] eksklusif selama enam bulan penuh.

Sebab berdasarkan pengalamannya saat melahirkan anak pertama, Dian menjalani cuti selama tiga bulan.

Setelah masa cutinya berakhir, pemberian ASI eksklusif menjadi tidak optimal karena dia kelelahan akibat bekerja. Meskipun kantornya menyediakan fasilitas penitipan anak [daycare].

"Idealnya enam bulan kayak aturan sekarang yang sudah disahkan. Pemerintah mendukung 1000 hari pertama kelahiran. ASI eksklusif sangat berpengaruh apalagi dengan kita bekerja produksi ASI itu menurun."

"Apalagi kondisi kantor juga berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental ibu. Minimal ASI eksklusif kalau sudah dipegang Insyaallah ke depannya anakku bisa lebih sehat."

Kendati diberikan keleluasaan mengambil cuti hingga enam bulan, Dian mengaku tidak akan mengajukannya. Bagaimanapun dia berharap, bayi dan dirinya dalam kondisi sehat setelah proses melahirkan nanti.

"Kalau aturannya seperti itu ya sudah terima saja cutinya tiga bulan, daripada harus memaksakan cuti enam bulan, padahal kondisi sehat-sehat saja," ucap Dian yang usia kehamilannya baru menginjak dua bulan.

Mengenai cuti bagi ayah, dia sebetulnya berharap pemerintah juga memberikan cuti tambahan. Peran ayah atau suami, ungkapnya, sangat membantu ibu melewati masa-masa setelah melahirkan.

Minimal, katanya, cuti ayah bisa satu atau dua minggu.

"Ketika ada suami dekat kita, merasa lebih aman dan tenang, lebih semangat lagi. Menyusui di awal itu butuh ada suami. Jadi mendukung banget kalau cuti suami ditambah untuk nanti setelah melahirkan."

"Idealnya satu atau dua minggu untuk cuti ayah sudah lumayan dibanding dua hari," tutur Dian yang mengaku belum mendapat sosialisasi soal aturan cuti enam bulan dari kantornya.

Apakah UU ini menguntungkan pekerja perempuan?

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia [FSBPI], Jumisih, menyatakan pihaknya juga mendukung sepenuhnya ketentuan pasal cuti melahirkan dalam UU KIA.

Selama aturan tersebut memang mendukung kesehatan reproduksi perempuan dan tidak menjadi peluang untuk mendomestikasi peran perempuan.

Tapi yang jadi masalah, dia ragu aturan soal cuti melahirkan bagi ibu pekerja itu bisa terlaksana di lapangan.

Sebab ketentuan cuti tiga bulan yang sudah ada saja, banyak dilanggar oleh perusahaan, terutama dialami oleh buruh pabrik garmen.

"Dalam kondisi sekarang saja faktanya di lapangan cuti melahirkan yang tiga bulan susah diakses oleh buruh perempuan. Sekarang cuti enam bulan, dalam pandangan saya sulit direalisasikan," ungkap Jumisih, Rabu (05/06).

Dalam beberapa kasus yang dilaporkan buruh garmen kepada FSBPI, kata Jumisih, buruh perempuan yang berstatus kontrak diminta mengundurkan diri ketika hendak mengajukan cuti melahirkan.

Iming-imingnya, begitu selesai cuti si buruh perempuan tersebut akan dipanggil bekerja kembali.

Namun yang terjadi, saat kembali masuk bekerja diberikan kontrak baru. Tujuannya tak lain agar si pengusaha tak mengeluarkan uang atau membayar upah cuti melahirkan selama tiga bulan penuh.

"Bahasanya lembut, supaya bisa mengurus anak dengan baik, nanti melamar lagi setelah siap kembali bekerja. Itu kata-kata manis, tapi jebakan."

Pada kasus lain, kata Jumisih, buruh perempuan yang berstatus kontrak ada yang langsung diberhentikan kala mengajukan cuti melahirkan.

Kalaupun tidak dipecat, biasanya perusahaan akan memaksa pekerjanya membuat surat pernyataan yang berisi bahwa dia bersedia kembali bekerja atas kemauan sendiri.

"Jadi ada praktik di mana belum tiga bulan atau 1,5 bulan cuti, si buruh sudah masuk kerja. Caranya membuat kesepakatan bahwa ini kemauan si pekerja, padahal di baliknya ada intervensi pengusaha demi menghindari tuntutan hukum."

Itu mengapa Jumisih mempertanyakan implementasi aturan tersebut di tengah lemahnya pengawasan dinas ketenagakerjaan.

Apalagi setelah UU Cipta Kerja lahir, hubungan atau status kerja menjadi tidak pasti dan sangat fleksibel, katanya.

Jangan sampai buruh perempuan berada dalam posisi terjepit yang akhirnya tidak berani mengambil hak cuti melahirkan seperti yang diatur dalam UU KIA lantaran ada risiko diberhentikan.

"Setelah UU Cipta Kerja makin banyak buruh yang jauh dari hak mendapatkan cuti melahirkan, keguguran, atau haid."

"Makanya ini butuh kerja sama banyak pihak, pengusaha, buruh, dan dinas tenaga kerja karena mereka yang melakukan pengawasan."

"Selama ini pengawasan enggak berjalan. Mereka tahu ada pelanggaran, tapi tidak bisa berbuat apa-apa alasannya klasik, jumlah mereka sedikit untuk mengawasi ribuan perusahaan."

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia [KSBSI], Elly Rosita Silaban, juga sepemikiran.

Selama tidak ada sanksi bagi pengusaha yang melanggar, maka perusahaan akan mencari seribu satu alasan agar tidak membayar penuh hak cuti melahirkan buruh perempuan.

Lebih dari itu, yang dia takutkan pengusaha bakal mempersempit lowongan pekerjaan untuk perempuan.

"Bagus sih [cuti enam bulan] untuk perempuan, tapi jangan sampai membuat hadirnya dampak yang lain dengan lamanya cuti," ucapnya.

Apakah pengusaha sanggup menjalankan UU KIA?

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia [Apindo], Bob Azam, nampak tak terlalu bahagia menyambut lahirnya undang-undang teranyar ini.

Utamanya menyangkut cuti melahirkan hingga enam bulan.

Ia bilang, ketentuan soal cuti melahirkan selama tiga bulan sebetulnya sudah diatur di UU Ketenagakerjaan dan dianggap cukup ideal.

Kalaupun ada cuti tambahan tiga bulan lagi, selama ini dimasukkan dalam Perjanjian Kerja Bersama [PKB] masing-masing perusahaan.

Sebab tak semua perusahaan, klaimnya, mampu memberikan cuti hingga enam bulan.

"Buat kami UU ini ya akan jadi masalah," tutur Bob, Kamis (06/06).

Kini, dengan total enam bulan cuti melahirkan ditetapkan melalui UU maka konsekuensinya seluruh perusahaan wajib menerapkan hal tersebut.

Tidak lagi seperti sebelumnya yang hanya ada, jika tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama [PKB].

Dan ini, katanya, memberatkan. Khususnya untuk perusahaan kecil.

"Cuti melahirkan itu hak yang melekat pada karyawan sudah diatur di UU Ketenagakerjaan, tapi harus dicari solusi bagi perusahaan kecil yang kemampuannya terbatas seperti konveksi atau perusahaan yang karyawannya di bawah seratus," tutur Bob.

"Jangan sampai UU yang melindungi perempuan berdampak negatif, perusahaan malah enggak mau rekrut tenaga kerja perempuan karena kalau cuti lama banget. Jadi jangan sampai terjadi."

Karenanya, Apindo akan berdiskusi dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk membahas peraturan pemerintah dari UU KIA agar tidak tumpang tindih dengan UU Ketenagakerjaan.

"UU mana yang dipakai? Kami harus berdiskusi dengan Kemnaker."

"Pemerintah kalau memang mau kasih bantuan untuk ibu hamil dan anak, kenapa enggak dalam bentuk fiskal aja sih? Jangan pemerintah beri bantuan, perusahaan yang jalanin."

"Misalnya alokasikan dana yang disalurkan lewat puskesmas. Itu lebih efektif."

"Kemarin sudah ada Tapera, sekarang cuti tambahan, aduh, gimana ini."

Apa tanggapan pemerintah?

Sejumlah pejabat di Kementerian Ketenagakerjaan belum memberikan respons menyusul pengesahan UU KIA.

Namun, penjabat Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Indra Gunawan, mengungkapkan Kemnaker selama ini ikut dalam pembahasan RUU KIA hingga disahkan menjadi undang-undang.

Dalam pembuatan aturan turunannya, dia bilang sudah berdiskusi dengan Kemnaker – terutama menyangkut cuti melahirkan bagi ibu pekerja.

"Kami sudah diskusikan juga oleh Kemnaker karena nanti mereka yang banyak regulasinya," imbuhnya, Rabu (05/06).

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka, meminta pengusaha mematuhi UU KIA soal cuti melahirkan selama enam bulan.

Karena bagaimanapun beleid ini ingin menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pekerja.

Dia juga yakin UU KIA tidak akan memberatkan pengusaha, apalagi sampai menurunkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan.

Sebab selama ini sudah ada beberapa perusahaan yang menerapkan cuti hingga enam bulan.

"Enggak lah, itu kan kekhawatiran aja, bukan kenyataan. Saya juga enggak mau pekerja perempuan diintimidasi ketika memperjuangkan haknya menjadi lebih baik."

"UU KIA ini sinkron dengan UU Ketenagakerjaan, jadi enggak ada yang baru. Jadi kenapa kita lebih pusing sama pengusaha daripada buruhnya? Harusnya kita memperjuangkan hak pekerjanya."

"Investasi harusnya lanjut terus, kok kayak takut sama pengusaha, enggak percaya diri sama hak kita sendiri."

"Negara lain juga jalan investasinya dengan standar [ketenagakerjaan] lebih tinggi."

Bagaimana dengan cuti suami?

Selain mengatur cuti melahirkan bagi ibu pekerja. UU KIA juga menjamin suami mendampingi istrinya.

Pasal 6 ayat 2 menyebutkan, suami berhak mendapatkan hak cuti pendampingan istri pada masa persalinan selama dua hari dan dapat diberikan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan; atau saat mengalami keguguran selama dua hari.

Selain cuti mendampingi istri melahirkan, suami juga diberikan waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan anak dengan alasan istri yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan komplikasi pascapersalinan atau keguguran.

Kemudian anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.

Lalu istri yang melahirkan meninggal dunia, dan/atau anak yang dilahirkan meninggal dunia.

Selama melaksanakan hak cuti pendampingan istri, suami berkewajiban menjaga kesehatan istri dan anak, memberikan gizi yang cukup dan seimbang bagi istri-anak, mendukung istri dalam memberikan air susu ibu eksklusif sejak anak berusia enam bulan, serta mendampingi istri dan anak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan juga gizi sesuai dengan standar. (*)

Tags : Hak perempuan, Pekerjaan, Indonesia, Kesehatan perempuan, Anak-anak, Keluarga, Kesehatan, Perempuan,