Agama   2025/11/11 11:17 WIB

Kemenhaj Jelaskan Masa Tunggu Haji yang Cukup Ekstrem akan Bentuk Aturan Waiting List

Kemenhaj Jelaskan Masa Tunggu Haji yang Cukup Ekstrem akan Bentuk Aturan Waiting List

Proporsi kuota dan jumlah pendaftar riil sebelumnya dinilai tak seimbang.

JAKARTA — Kementerian Haji dan Umrah Republik Indonesia menjelaskan, sebelum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 diberlakukan, pembagian kuota jamaah haji reguler masih mengikuti pola lama yang telah berjalan hampir satu dekade tanpa penyesuaian berarti.

Pola tersebut menjadi salah satu penyebab utama terjadinya ketimpangan masa tunggu haji antarwilayah yang ekstrem, bahkan mencapai lebih dari 40 tahun di sejumlah daerah.

Menurut penjelasan Kementerian Haji dan Umrah, meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 sebenarnya telah memberikan dasar hukum agar kuota dibagi berdasarkan jumlah pendaftar (waiting list) atau proporsi penduduk muslim, aturan tersebut tidak pernah diterapkan secara operasional.

Dalam praktiknya, pembagian kuota provinsi dari tahun ke tahun hanya disesuaikan dengan angka historis yang telah digunakan sejak sebelum 2013. Akibatnya, komposisi kuota relatif tetap meski jumlah pendaftar dan panjang antrean di tiap provinsi berubah drastis. 

"Pola status quo inilah yang menimbulkan ketimpangan masa tunggu, di beberapa daerah mencapai lebih dari 40 tahun," demikian keterangan resmi Kementerian Haji dan Umrah RI, Ahad (9/11/2025).

Ketimpangan masa tunggu yang sangat ekstrem terjadi karena kuota haji selama ini dibagi secara tradisional berdasarkan proporsi jumlah penduduk muslim, bukan berdasarkan proporsi jumlah pendaftar (waiting list).  

Dengan pola ini, setiap provinsi menerima kuota sesuai besaran populasi muslimnya, lalu membaginya kembali ke kabupaten/kota menggunakan rumus serupa.

Padahal, jumlah penduduk muslim tidak selalu sebanding dengan jumlah calon jemaah yang sudah mendaftar. Akibatnya, ada kabupaten/kota yang memiliki daftar tunggu besar tetapi mendapat kuota kecil, sehingga masa tunggunya bisa mencapai puluhan tahun.

"Sebaliknya, ada daerah dengan daftar tunggu kecil yang mendapat kuota berlebih sehingga masa tunggunya jauh lebih singkat," tulis pernyataan tersebut.

Ketidakseimbangan antara proporsi kuota dan jumlah pendaftar aktual ini dinilai menimbulkan kesenjangan ekstrem, seperti antrean 11 tahun di satu daerah dan lebih dari 40 tahun di daerah lain.

Kementerian Haji dan Umrah RI menconhtohkan, di Sulawesi Selatan jamaah haji berhak lunas musim haji 1446H/2025 di kabupaten Tanah Toraja mendaftar di tahun 2014. Sementara, Kabupaten Bantaeng Sidrap mendaftar di tahun 2011.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto meminta Kementerian Haji dan Umrah terus menurunkan biaya haji hingga memangkas waktu tunggu keberangkatan haji bagi jamaah Indonesia menjadi 26 tahun.

Kemenhaj juga bentuk Satgas Haji 2026 di Jeddah untuk perkuat koordinasi, Satgas akan bekerja sepanjang tahun untuk perkuat layanan jamaah.

Kemenhaj RI membentuk task force (satuan tugas/Satgas) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Arab Saudi dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah.

Satgas ini disepakati dalam Rapat Kerja Lintas Lembaga yang berlangsung di Kantor Urusan Haji Jeddah, Sabtu (8/11/2025).

Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf menegaskan pentingnya sinergi yang kuat antara kementerian dan perwakilan diplomatik untuk memastikan penyelenggaraan haji berjalan lebih terintegrasi, responsif, dan antisipatif.

“Ada berbagai kesepakatan yang telah kita lakukan dan kita putuskan. Insya Allah yang lebih penting lagi, kita telah menyepakati semacam task force antara Kemenhaj RI bersama KBRI dan KJRI, sehingga setiap ada permasalahan apa pun bisa segera dicarikan penyelesaiannya,” ujar menteri yang akrab disapa Gus Irfan dalam siaran persnya, Ahad (9/11/2025).

ask force yang dibentuk akan menjadi joint coordination platform lintas sektor antara Kemenhaj RI, perwakilan diplomatik Indonesia di Arab Saudi, maskapai nasional, penyedia layanan jamaah, hingga otoritas terkait di Kerajaan Arab Saudi.

Langkah ini menjadi bagian dari penguatan diplomasi layanan haji pascaperubahan kelembagaan dari Badan Penyelenggara Haji menjadi Kemenhaj RI.

Kemenhaj RI menegaskan, Task Force Bersama Haji 2026 ini akan bekerja secara berkelanjutan, bukan hanya saat musim haji.

Tim akan mengawal seluruh proses mulai dari tahap persiapan, pemberangkatan, pelaksanaan ibadah, hingga pemulangan jamaah ke Indonesia.

“Filosofi yang ingin kita tanamkan adalah kerja cepat dan terintegrasi. Kemenhaj RI, KBRI, dan KJRI bukan entitas yang bekerja terpisah, melainkan satu kesatuan dalam diplomasi pelayanan umat,” kata Gus Irfan.

Pembentukan task force ini menandai komitmen Kemenhaj RI untuk memperkuat tata kelola haji Indonesia yang adaptif, kolaboratif, dan modern, sekaligus menjaga citra Indonesia sebagai negara dengan penyelenggaraan haji yang tertib dan berstandar pelayanan tinggi.

Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Abdul Aziz Ahmad, menyambut baik pembentukan task force tersebut. Ia menilai, koordinasi yang erat akan memperkuat perlindungan dan peningkatan layanan jamaah haji Indonesia.

“Kolaborasi ini menjadi penguatan bahwa diplomasi perlindungan jamaah haji dan kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji dapat kita ikhtiarkan bersama melalui kolaborasi lintas institusi seperti yang saat ini dibangun bersama Kemenhaj RI,” ucapnya.

Pertemuan tersebut juga membahas sejumlah aspek teknis, mulai dari kesiapan transportasi udara, layanan akomodasi dan katering, hingga integrasi sistem data pergerakan jamaah. Sistem digital milik Kemenhaj RI akan disinkronkan dengan mitra layanan di Arab Saudi guna memperkuat monitoring berbasis teknologi.

Sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, kebijakan pemerataan masa tunggu haji selama 26 tahun memerlukan kajian yang matang agar dapat memberikan kemudahan lebih banyak kepada calon peserta haji.

"Sebaiknya semua hal dikaji secara matang plus-minusnya. Masyarakat Indonesia atau jamaah itu kan biasanya kalau memang itu sudah jadi kebijakan, mengapa tidak? Tetapi perlu dikaji secara saksama kalau mau ada pemerataan," katanya di Jakarta, Jumat.

Haedar menegaskan, apabila memang kebijakan tersebut sudah dikaji secara matang dan berdampak positif bagi peserta haji, maka bisa dijalankan untuk memudahkan jamaah haji Indonesia.

"Kalau sudah dikaji plus-minusnya itu, lalu kesimpulannya banyak yang plus, ya dilaksanakan, tetapi kalau ternyata masalahnya juga banyak, ya dicoba dengan pilihan lain, jadi dikaji dulu secara saksama saja," ujar dia.

Sementara itu, Ketua Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah PP Muhammadiyah Muhammad Ziyad menyatakan dukungan terhadap pemerataan masa tunggu haji apabila memang praktiknya terselenggara dengan baik untuk mengatasi kesenjangan yang selama ini terjadi.

"Ini kan salah satu dari kebijakan baru oleh Kementerian Haji dan Umrah, maka tentu kita mendukung dan melihat dulu karena kita belum tahu praktiknya seperti apa. Ini tujuannya baik karena ingin melakukan pemerataan nasional supaya kesenjangan tidak terjadi, misalnya ada daerah yang 28 tahun, tetapi di Sulawesi Selatan misalnya ada yang sampai 49 tahun, maka ini diratakan," paparnya.

Ziyad menegaskan, Muhammadiyah mendukung apapun kebijakan Kementerian Haji dan Umrah sepanjang itu memberikan kemaslahatan bagi jamaah haji Indonesia. (*) 

Tags : haji 2026, kementerian haji dan umrah, kemenhaj, antrean jamaah haji, antrean haji, jamaah haji indonesia, kuota haji, pemerataan kuota haji nasional, Satgas Haji, Jeddah, KBRI Arab Saudi, KJRI Jeddah, layanan jamaah haji, diplomasi haji,