"Kemenkes klaim pasien anak yang diberikan obat penawar akibat gangguan ginjal akut akan sembuh total"
Kementerian Kesehatan mengklaim anak yang sudah mengonsumsi obat penawar atau antidotum Fomepizole akan sembuh total dan tidak mengalami kelainan fungsi ginjal.
Ini karena kondisi anak yang mengalami gagal ginjal akut karena keracunan atau intoksitasi dari etilen glikol dan dietilen glikol, berbeda dengan orang yang mengalami gagal ginjal kronis.
"Kalau gagal ginjal kronis, terjadi kerusakan-kerusakan pada ginjal yang lama, sehingga tidak bisa pulih 100%. Kalau gagal ginjal akut karena keracunan, begitu racunnya hilang, maka sembuh total," jelas juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Senin (7/11).
Kementerian Kesehatan juga mencatat tidak ada penambahan kasus baru gagal ginjal akut pada anak, per Minggu (6/11). Sehingga total kasus hingga saat ini ada 324 yang tersebar di 28 provinsi.
Dari angka itu, 195 anak meninggal, 102 anak sembuh, dan masih ada 27 dirawat.
Sebanyak 27 anak yang dirawat tersebut berada dalam pengawasan ketat atau di ruang perawatan intensif ICU.
"Karena sebagian besar ada dalam stadium 3 dan karena kondisi organ tubuhnya berbeda dengan orang dewasa, perlu kekhususan. Apalagi stadium 3, sehingga perlu kesembuhan lebih lama," sambung Syahril.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebelumnya mengklaim penyebab gangguan ginjal akut pada anak-anak adalah keracunan obat atau intoksikasi.
Hal itu didasarkan hasil penelitian Kemenkes dan tim ahli, kata Juru bicara Kemenkes dr. Syahril Mansyur, Selasa (25/10).
Kesimpulan itu didapatkan setelah pihaknya melakukan biopsi pada anak yang meninggal.
Ternyata "ginjal mereka mengalami kerusakan dan kelainan yang disebabkan zat etilen glikol (EG)," ungkapnya.
"Jadi kasus gangguan ginjal akut ini bukan disebabkan oleh Covid-19, vaksinasi Covid-19, atau imunisasi rutin," tegasnya.
Obat penawar 'terbukti ampuh'
Untuk mengatasi kasus gangguan ginjal akut yang menyebabkan ratusan anak meninggal dunia, pemerintah telah mendatangkan obat penawar atau antidotum dari Singapura dan Australia dengan total 36 vial fomepizol.
Dokter Syahril mengatakan obat itu terbukti ampuh karena pasien anak sudah bisa memproduksi lagi air seni.
"Dari hasil pemberian obat fomepizol di RSCM, 10 dari 11 pasien terus mengalami perbaikan secara klinis, tidak ada kematian, dan tidak ada perburukan lebih lanjut," kata Syahril.
Kadar etilen glikol (EG) dari 10 pasien anak tersebut juga sudah "tidak terdeteksi berbahaya".
Antidotum fomepizol dipilih karena obat itu sudah "siap pakai dan efektivitasnya sudah teruji".
"Sudah direkomendasi WHO dengan efektivitas di atas 90%, dari situlah kita membeli obat itu," ujar dr. Syahril
Obat penawar akan didatangkan lagi
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya memastikan fasilitas pengobatan gratis bagi pasien gagal ginjal akut akibat mengonsumsi obat-obatan yang mengandung bahan pelarut di atas ambang batas atau berbahaya.
"Saya minta diberikan pengobatan gratis kepada pasien-pasien yang dirawat. Saya kira ini penting sekali," ujar Jokowi dalam arahannya pada Rapat Penanganan Gagal Ginjal Akut di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin, sebagaimana disaksikan secara daring melalui akun YouTube Sekretariat Presiden.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, secara terpisah, menyampaikan bahwa pemerintah sedang mempercepat kedatangan pasokan fomepizol ke Indonesia.
Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan, tujuh di antara 10 pasien gagal ginjal akut kondisinya membaik setelah pengobatan dengan fomepizol.
"Kita akan percepat kedatangannya di Indonesia sehingga 245 (pasien) yang masuk dan mungkin masih agak sedikit bertambah itu kita bisa obati dengan baik," ujar Gunadi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10).
Menkes mengatakan Indonesia sejauh ini telah menerima 20 vial fomepizol dari Singapura dan dijadwalkan menerima 16 vial lagi dari Australia pada Senin malam ini atau Selasa (25/10) pagi.
"Kita sedang proses untuk beli dari Amerika (Serikat), mereka punya stok nggak terlampau banyak di sana. Kita juga sekarang sedang dalam proses untuk beli dari Jepang, mereka ada stok sekitar 2.000-an," katanya sebagaimana dikutip kantor berita Antara.
Menkes: Gangguan ginjal akut disebabkan zat kimia berbahaya
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak disebabkan adanya pencemaran dari pelarut dalam obat cair sehingga menimbulkan zat kimia berbahaya.
“Jadi memang zat kimia yang berbahaya ini merupakan impurities (pencemaran) dari pelarut pembantunya, pelarut pembantu ini memang sudah lama dipakai, bukan hanya di industri obat,” katanya merujuk pada zat kimia etilen glikol dan dietilen glikol.
Zat pelarut tersebut, katanya, memang sudah jamak dipakai di berbagai industri. Namun, karena tercemar, zat pelarut itu menghasilkan senyawa kimia yang berbahaya.
“Banyak yang bertanya, kok dulu tidak apa-apa, sekarang jadi seperti ini. Penyebabnya impurities atau pencemaran ini. Saya sudah tanya pada ahlinya, paling besar penyebabnya adalah dari bahan baku,” katanya.
Dia mengaku sudah berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melihat perubahan dari jenis, tipe, dan asal setiap bahan baku obat cair.
“Kita sudah ada datanya, pergeseran dari negara mana, impor mana bahan baku itu terjadi. Saya akan sampaikan pada kesempatan khusus,” ujarnya.
Kemenkes telah merilis daftar 102 obat yang diduga mengandung senyawa penyebab kasus gangguan ginjal pada anak.
Namun, belakangan, sebanyak 30 obat dari 102 produk obat cair atau sirup yang sebelumnya dilarang oleh Kementerian Kesehatan diklaim "aman digunakan" oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu, tambah Penny, ada tujuh produk lain yang sudah dilakukan pengujian dan hasilnya "dinyatakan aman digunakan sepanjang aturan pakai".“
Kemudian ada tiga produk yang telah dinyatakan pengujian dan dinyatakan mengandung cemaran, EG (etilen glikol) dan DEG (dietilen glikol), melebihi ambang batas aman,” jelas Kepala BPOM Penny Lukito dalam konferensi pers yang digelar Minggu (23/10).
Adapun 23 obat yang dinyatakan "aman digunakan" adalah: Alerfed Syrup, Amoxan, Amoxcilin, Azithromycin Syrup, Cazetin, Cefacef Syrup, Cefspan Syrup, Cetrizin, Devosix drop 15 ml, Domperidon Syrup, Etamox Syrup, Interzinc, Nytex, Omemox, Rhinos Neo Drop, Vestein, Yusimox, Zinc Syrup, Zincpro Syrup, Zibramax, Renalyte, Amosisilin dan Eritromisin.
Sementara tiga obat yang dinyatakan "aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai" adalah Ambroxol HCl, Anakonidin OBH, Cetirizin, empat merek Paracetamol dari beragam produsen.
Sedangkan tiga obat yang dinyatakan "mengandung cemaran EG/EDG melebihi ambang batas aman adalah Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup dan Unibebi Demam Drops yang diproduksi Universal Pharmaceutical Industries.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya menganjurkan para orang tua untuk tidak memberi obat sirup paracetamol kepada anak yang sedang mengalami demam sebagai langkah berjaga-jaga di tengah kemunculan kasus gagal ginjal akut.
"Dugaan dari Gambia, Afrika, ada kandungan dietilen glikol dan etilen glikol pada sirup obat. Untuk kewaspadaan dini, hindari dulu obat sirup, sambil diawasi ada tidaknya obat itu di Indonesia," kata Ketua Pengurus Pusat IDAI, Piprim Basarah Yanuarso, dalam siaran langsung Instagram IDI, seperti dilansir Antara, hari Selasa (18/10/2022).
Piprim menjelaskan saat ini sudah terlalu banyak produk obat antibiotik beredar di pasaran, termasuk yang mengandung paracetamol. Bahkan produk tersebut kerap menjadi jalan instan bagi orang tua dalam menurunkan demam anak.
"Yang dihadapi sekarang adalah obat sirup paracetamol atau obat pilek batuk lain yang ada campuran dietilen glikol dan etilen glikol," ujar Piprim.
Anjuran tersebut merupakan kewaspadaan dini yang bisa diterapkan para orang tua, dengan mengambil pelajaran dari kasus gagal ginjal akut di Gambia.
"IDAI merekomendasikan ke Kemenkes agar hindari dulu konsumsi obat tersebut," katanya.
Piprim menganjurkan pengobatan konservatif untuk menurunkan demam pada anak, salah satunya dengan memberikan waktu istirahat yang cukup dan tidak menggunakan antibiotik.
"Pakai cara konservatif dulu, kecuali ada komorbid seperti asma, pneumonia. Itu butuh obat serius. Kalau batuk dan pilek karena cuaca, cukup istirahat, jangan gunakan antibiotik" ujarnya.
Merespons situasi ini, Kementerian Kesehatan sebelumnya sudah menerbitkan panduan untuk menangani penyakit yang diidentifikasi sebagai gangguan ginjal akut (acute kidney injury).
IDAI mengatakan mayoritas anak yang terkena gangguan ginjal akut berusia 1-5 tahun.
Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Syahril Mansyur, mengatakan hasil pemeriksaan laboratorium Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) “tidak ditemukan bakteri atau virus yang spesifik”.
Untuk menindaklanjuti temuan kasus gangguan ginjal akut itu, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes telah menerbitkan Tatalaksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal sebagai panduan bagi fasilitas kesehatan untuk menangani pasien dengan kasus serupa.
"Fasilitas pelayanan kesehatan jangan sampai tidak tahu dengan keadaan atau gejala-gejala kasus ini, sehingga bisa dilakukan penanganan-penanganan lebih cepat dan intervensi supaya angka kematian bisa kita tekan," kata Syahril.
Dari lebih 150 anak yang terkena “gangguan ginjal akut” atau acute kidney injury (AKI) sejak Januari lalu, IDAI mengatakan ada beberapa pasien yang sudah sembuh, tapi ada juga yang masih menjalani perawatan.
“Dari Januari ke Juli itu pasien yang pulih, semua pulih sempurna. Di Januari-Juli itu angka kematiannya mungkin sekitar 30%,“ kata Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr. Eka Laksmi Hidayati, dalam jumpa pers pada Selasa (11/10).
IDAI mencatat, sejak Januari hingga Juli 2022, terdapat sembilan kasus yang “ditandai sebagai AKI“.
Pada Agustus, dr. Eka mengatakan mulai terjadi lonjakan kasus AKI pada anak-anak.
“Di Agustus ada 35 kasus, kemudian di September meningkat menjadi 71, di Oktober sampai tanggal 11 ini, 9 kasus,” ujarnya.
Apa yang dialami anak-anak dengan kasus gangguan ginjal akut?
Dokter Eka menjelaskan, semua pasien anak yang dia tangani mengalami penurunan frekuensi buang air kecil atau sama sekali tidak buang air kecil. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, para dokter tidak menemukan jenis infeksi yang konsisten pada semua anak, sehingga mereka tidak bisa menyebutkan penyakit itu mengarah pada infeksi tertentu.
Namun, dr. Eka menjelaskan lebih jauh bahwa anak-anak yang menderita AKI itu tidak hanya mengalami gangguan pada ginjal, melainkan juga pada organ-organ lainnya.
“Ketika kami melakukan pemeriksaan secara mendetail, di laboratorium, dan kami mengamati gejala klinisnya, dalam perjalanannya di rumah sakit mereka ini sebetulnya mengalami apa yang kami sebut dengan peradangan di banyak organ. Jadi, ada tanda-tanda peradagangan di hatinya juga, kemudian ada juga gangguan dalam sistem darahnya, jadi ada penggumpalan darah yang berlebihan.
Memang sepertinya ini bukan hanya melibatkan organ ginjal, meskipun manifetasi awalnya semuanya itu di ginjal, tapi yang kita dapatkan sebetulnya ada keterlibatan organ lain,“ ujar dr. Eka.
Selama perawatan di rumah sakit, dr. Eka menambahkan, anak-anak itu juga mengalami penurunan kesadaran.
Apa gejala gangguan ginjal akut?
Sebelum diketahui mengalami AKI, pasien anak mengalami gejala infeksi seperti batuk, pilek, diare, atau muntah. Dokter Eka menyebut infeksi yang dialami pasien anak tidak berat dan “secara teoritis bukan tipikal infeksi yang menyebabkan AKI”.
Hal itu membuat para dokter heran.
“Dia hanya beberapa hari timbul batuk, pilek, diare, atau muntah, dan demam, kemudian dalam 3-5 hari, mendadak tidak ada urinnya. Jadi, tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali buang air kecilnya. Jadi, anak-anak ini hampir semuanya datang dengan keluhan dengan tidak buang air kecil atau buang air kecilnya sangat sedikit.”
Pasien anak juga dikatakan tidak mengalami sakit perut karena tidak ditemukan sumbatan dalam aliran buang air kecilnya.
Gangguan ginjal akut misterius ini kebanyakan dialami oleh balita, tapi ada juga anak dengan usia delapan tahun dan ada juga yang berusia belasan tahun.
Orang tua harus waspada
IDAI mengimbau para orang tua memberikan jumlah cairan yang cukup untuk anak ketika anak mengalami batu, pilek, muntah, diare, dan demam.
“Bila tidak memungkinkan melalui minum, maka harus segera dibawa ke RS untuk diinfus,” kata dr. Eka.
Orang tua juga diminta memantau produksi urine pada anak. Ketika terjadi penurunan frekuensi buang air kecil anak juga harus segera dibawa ke rumah sakit karena masalah ini tidak bisa ditangani sendiri di rumah.
Dalam kondisi normal, anak dengan berat 10 kilogram akan mengeluarkan 1 cc air seni per jam. Jika berat anak 10 kilogram, maka perjamnya dia akan memproduksi 10 cc air seni atau 240 cc (seukuran gelas air minum kemasan) dalam sehari. (*)
Tags : Indonesia, Anak-anak, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia,