News   15-05-2025 9:40 WIB

Kementerian ATR Akui Ikut Aturan dalam Penertiban Kawasan Hutan, Tetapi Dikritik karena tak Berdasar 

Kementerian ATR Akui Ikut Aturan dalam Penertiban Kawasan Hutan, Tetapi Dikritik karena tak Berdasar 

PEKANBARU - Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) Nusron Wahid bahwa Hak Guna Usaha (HGU) lahan tak bisa digusur oleh penetapan kawasan hutan oleh pemerintah mengundang kritik.

HGU bisa menang jika lebih dulu ada sebelum penertiban penetapan kawasan hutan, sebutnya. 

Sementara Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) menilai setiap lahan yang merupakan kawasan Hutan baik itu penunjukan maupun penetapan sama saja tidak boleh di terbitkan izin apapun sebelum ada izin pelepasan kawasan hutan dari kementerian Kehutanan.

"Tidak akan mungkin kepala daerah mau menerbitkan IUP dikawasan hutan," kata Ketua Yayasan SALAMBA, Ir Marganda Simamora SH M.Si, Rabu.

Disisi lain, kata dia lahan milik masyarakat kecil selama ini bila berada di kawasan hutan tidak akan diterbitkan SHM nya atau tidak dapat diagunkan ke bank dengan alasan SHM tidak dapat di terbitkan sehingga harus sesuai pernyataan dari menteri BPN /ATR dan Kementerian Kehutanan agar jangan membingungkan.

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid seolah menyatakan HGU menang jika lebih dulu ada sebelum dilakukan penetapan kawasan hutan, tetapi ini mendapat kritikan dari berbagai pihak.

"Argumen tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat," kata Praktisi Hukum Alhamran Ariawan SH MH yang dihubungi ponselnya, Rabu.

Alhamran Ariawan menjelaskan, jika menggunakan PP yang lama tentang Hak Guna Usaha, misalkan PP Nomor 40 Tahun 1996, penjelasan Pasal 4 ayat (2) memang menguraikan bahwa Hak Guna Usaha itu adalah hak yang dapat dibentuk setelah dia bebas kepentingan pihak lain.

Artinya, sudah menjadi tanah negara yang tidak dikelola, tidak dimiliki atau dikuasai pihak lain, baik secara de facto (melalui penguasaan tradisional) maupun de jure. 

"Jadi, ketika dialokasikan menjadi kawasan melalui penunjukan maka negara tidak dapat mengalokasikannya untuk kepentingan lain," kata Alhamran Ariawan.

Penyelesaian hak terhadap tanah yang demikian hanya berlaku untuk untuk tanah dalam hak tradisional dan masyarakat adat, yang memang menguasai tanah itu sebelum penunjukan kawasan hutan.

Tapi, Alhamran Ariawan memaparkan, PP terbaru Nomor 18 Tahun 2021 menyatakan sumber tanah negara sebagai alas dari Hak Guna Usaha.

"Yang relevan dengan alokasi itu adalah tanah negara yang sudah dilepaskan dari kawasan hutan atau tanah yang sejak semula merupakan tanah negara," ucap dia.

Alhamran menilai bahwa faktualnya hampir tidak ada tanah negara yang sejak semula merupakan tanah negara bebas.

Sebagian besar lahan sudah dialokasikan sebagai kawasan hutan dan penguasaan hak tradisional oleh masyarakat setempat atau masyarakat adat.

Dengan demikian, menurut Alhamran Ariawan, pernyataan Nusron berpotensi mengarahkan pelaku pada risiko pelanggaran terhadap aturan Pasal 17 Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang tidak hilang meski dengan UU Cipta Kerja.

"Di sisi lain juga, pernyataan itu melemahkan upaya penyelesaian penguasaan skala besar ilegal lahan kawasan hutan yang saat ini sedang berjalan oleh Perpres Penertiban Kawasan Hutan."

Sebelumnya, Menteri ATR-BPN Nusron Wahid mengatakan bila ada HGU yang tumpang tindih dengan peta kawasan hutan, maka penetapannya bisa mengacu pada MoU yang disepakati Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Kehutanan.

“Terkait MoU dengan Kementerian Kehutanan, jika HGU lebih dahulu terbit daripada penetapan kawasan hutan maka HGU itu yang akan menang,” ujarnya.

Pernyataan tersebut kembali mendapat kritik tajam dari Marganda Simamora, yang menilai pernyataan itu menyesatkan dan berbahaya karena berpotensi mengaburkan kerangka hukum yang telah disusun pemerintah untuk menegakkan ketaatan sektor usaha terhadap undang-undang kehutanan.

“Sudah ada aturan hukum yang secara jelas mengatur perusahaan agar tunduk pada regulasi sektor kehutanan. Pernyataan Menteri Nusron justru mengaburkan hal itu,” kata dia.

Nusron berkilah, pernyataannya ditujukan untuk mendorong percepatan penataan lahan dan HGU, mengingat masih ada 126 perusahaan perkebunan di Riau yang telah memiliki izin usaha perkebunan (IUP) namun belum mengantongi HGU.

Ia juga menekankan bahwa tugasnya adalah memastikan prinsip pemerataan, keadilan, dan keseimbangan ekonomi dalam penerbitan HGU, sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto.

Isu HGU di kawasan hutan kini menjadi perhatian utama Satuan Tugas Penerbitan Kawasan Hutan yang dibentuk Presiden Prabowo.

Pernyataan Nusron mengacu pada nota kesepahaman antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan.

Ia mengklaim bahwa jika HGU lebih dulu terbit dibanding penetapan kawasan hutan, maka HGU tersebut yang berlaku. Namun pernyataan ini tidak direspons secara resmi oleh Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan.

Nota kesepahaman lintas kementerian yang diteken pada 17 Maret 2025 oleh Nusron bersama Kementerian Dalam Negeri, Kehutanan, Transmigrasi, dan Badan Informasi Geospasial bertujuan memperkuat sinergi tata kelola pertanahan dan tata ruang. Namun, keabsahan dan interpretasi hukum atas pernyataan Nusron tetap menjadi sorotan.

Tetapi Ganda Mora menekankan bahwa penetapan kawasan hutan merupakan proses bertahap dan belum seluruh kawasan rampung secara resmi.

Ia menilai argumen bahwa HGU otomatis menang atas penetapan kawasan hutan tidak tepat dan menyesatkan.

“Tidak ada aturan yang menyebut HGU otomatis sah jika terbit lebih dulu. Regulasi mengatur sanksi dan mekanisme korektif bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa prosedur sah,” tegasnya.

Ia merujuk pada PP No. 60 Tahun 2012 dan PP No. 104 Tahun 2015 yang memberi waktu tiga tahun bagi pelaku usaha ilegal di kawasan hutan untuk menyelesaikan kewajiban administratif.

Ia juga menyinggung Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja (UUCK) yang memberikan ruang penyelesaian administratif, namun tetap disertai sanksi bagi yang tidak patuh.

Ia juga mengkritik pernyataan Menteri Nusron yang menilai arah kebijakan tersebut cenderung mengabaikan keberadaan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan izin lingkungan sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2014 dan UU Pokok Agraria.

“Ini bukan soal siapa menang atau kalah antar kementerian. Ini soal supremasi hukum dan perlindungan lingkungan,” kata Ganda Mora, sebutan sehari harinya ini.

Ganda menambahkan, HGU adalah proses akhir dalam rantai perizinan. Sebelum HGU diterbitkan, pelaku usaha seharusnya lebih dulu mengantongi izin lokasi, IUP, dan izin pemanfaatan kawasan hutan.

Ia meminta agar Kementerian ATR/BPN menghormati keseluruhan proses perizinan lintas sektor tersebut.

Kembali disebutkan Alhamran Ariawan, menyebut pernyataan Menteri Nusron tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Ia merujuk PP No. 40 Tahun 1996 yang menegaskan bahwa HGU hanya bisa diberikan atas tanah negara yang dipastikan bebas dari penguasaan pihak lain.

“Ketika tanah negara sudah dialokasikan menjadi kawasan hutan melalui penunjukan, negara tidak dapat mengalokasikannya untuk HGU perkebunan,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa PP No. 18 Tahun 2021 dan UU Cipta Kerja menyebut sumber tanah negara sebagai dasar HGU, tetapi hanya untuk tanah yang memang bukan kawasan hutan atau tidak dalam penguasaan masyarakat adat.

Alhamran mengingatkan bahwa pernyataan seperti Nusron justru dapat mendorong pelanggaran terhadap Pasal 17 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ia menganggap pernyataan tersebut bisa melemahkan upaya penyelesaian kasus penguasaan ilegal lahan berskala besar yang saat ini tengah ditangani pemerintah melalui Peraturan Presiden tentang Penerbitan Kawasan Hutan. (*)

Tags : hgu, atr, hutan, tata-ruang, hgu, penetapan-kawasan-hutan, nusron-wahid, atr bpn, News,