JAKARTA - Pemerintah sedang mempertimbangkan kenaikan harga BBM subsidi, kata sejumlah menteri, demi mengurangi beban pada APBN.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperingatkan bahwa subsidi tahun ini untuk Pertalite dan solar subsidi dapat melampaui anggaran Rp502,4 triliun yang sudah ditetapkan, jika tidak dikendalikan.
Namun pakar ekonomi dan pengamat energi meminta pemerintah mencari solusi lain, mengatakan dampak kenaikan harga BBM akan paling dirasakan oleh masyarakat di lapisan terbawah.
Berbicara dalam konferensi pers nota keuangan dan RAPBN 2023 pada hari Selasa (16/08), Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah tengah memperhitungkan potensi dampak kenaikan harga BBM pada inflasi dan Pendapatan Domestik Bruto ke depan.
“Apabila ada penyesuaian kita sedang mengkalkulasi juga kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan kompensasi, dalam berbagai program. Tentu program-programnya yang sedang berjalan, artinya dikaitkan dengan program yang berjalan dalam perlindungan sosial seperti yang kita lakukan dalam penanganan Covid,” kata Airlangga di hadapan media.
Dalam wawancara eksklusif dengan Metro TV, Selasa malam (16/8), Presiden Joko Widodo mengakui Indonesia memang perlu mengurangi subsidi energi, namun pemerintah sedang mencari waktu yang tepat supaya tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Sinyal kenaikan harga
Sejak pekan lalu, pemerintah sudah memberi sinyal bahwa harga BBM harus naik. Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menerangkan pada hari Jumat (12/08) bahwa harga minyak rata-rata bulan Januari sampai Juli telah tembus US$105 per barel - jauh di atas perkiraan di APBN 2022 sebesar US$63 per barel.
Saat ini, harga Pertalite Rp7.650 sementara harga keekonomian – yaitu harga wajar tanpa subsidi – adalah Rp13.150, menurut Menko Perekonomian. Sedangkan harga solar subsidi Rp5.150, jauh di bawah harga keekonomian yaitu sekitar Rp18.000. Selisih harga ini ditanggung oleh subsidi.
Peringatan akan beban subsidi BBM pada keadaan fiskal negara juga disampaikan anggota DPR. Said Abdullah, politikus PDIP dan kepala Badan Anggaran DPR, menyarankan pemerintah menaikkan harga BBM dua kali sampai akhir tahun.
Pemerintah juga perlu meningkatkan belanja perlindungan sosial untuk membantu masyarakat tidak mampu mengatasi dampak kenaikan harga, kata Said.
Pada konferensi pers hari Selasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperingatkan bahwa anggaran subsidi Rp502,4 triliun bisa terlampaui apabila volume subsidi tidak terkontrol.
“Tentu kita berharap jumlah dari kilo liter, juta kilo liter, untuk Pertalite, untuk solar, jumlah LPG, itu tetap dikendalikan. Karena kalau tidak, pasti akan melewati. Bahkan yang 502,4 triliun pun bisa terlewati apabila volume subsidi tidak terkontrol,” kata Sri.
Sri menambahkan bahwa anggaran subsidi dan kompensasi energi pada RAPBN 2023 berkurang jadi Rp336,7 triliun, dengan asumsi harga minyak turun ke US$90 per barel dan kurs Rupiah membaik.
Pertamina sebelumnya mengatakan bahwa hingga Juli 2022, Pertalite sudah terjual sebanyak 16,8 juta kiloliter (KL) dari kuota 23 juta KL. Sedangkan solar bersubsidi sudah terjual 9,9 juta KL dari kuota 14,9 juta KL.
Para pengamat memperkirakan, kuota Pertalite dan solar bersubsidi hanya cukup hingga akhir Oktober mendatang.
Berbagai media melaporkan bahwa mulai terjadi antrean panjang kendaraan di beberapa pom bensin di sejumlah daerah, dan beberapa pom memasang plakat yang menyatakan ‘Pertalite habis’.
Berdampak ke masyarakat lapisan bawah
Pengamat ekonomi dari CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan dampak kenaikan harga BBM akan paling dirasakan oleh masyarakat lapisan terbawah, yang membutuhkan Pertalite dan solar untuk aktivitas konsumsi dan produksi.
Secara agregat, kenaikan harga BBM juga akan secara signifikan memengaruhi inflasi karena efek tidak langsung, misalnya pada harga pangan.
“Dan tentu saja saat inflasi tinggi, income-nya masih belum sepenuhnya pulih, ini berarti income riilnya akan turun. Daya beli akan mengalami penurunan,” kata Faisal seperti dirilis BBC News Indonesia.
Di antara kelompok masyarakat yang akan merasakan dampaknya adalah pengusaha mikro dan pekerja sektor informal.
Ketua Umum Asosiasi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono, mengatakan kenaikan harga Pertalite akan menambah biaya operasional, atau operational expenditure, para pengemudi ojek. Ia menerangkan BBM merupakan 30-40 persen dari biaya operasi mereka.
“Andaikan ada kenaikan, pastinya pendapatan kami pun akan menjadi tergerus, berkurang, dengan adanya kenaikan, tergantung berapa persen kenaikannya. Jadi kita berharap jangan dulu ada kenaikan khusus bagi kami para pengemudi ojek online ataupun transportasi lainnya,” kata Igun kepada BBC News Indonesia
Faisal berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM karena APBN masih punya ruang fiskal untuk menambah subsidi.
“Dari sisi APBN sebetulnya masih bisa karena sekarang itu sampai semester satu masih surplus sebenarnya Rp73 triliun. Prediksinya sampai akhir tahun defisit memang, tapi 3,9 persen; itu masih di bawah target, 4,5 persen. Jadi sebetulnya masih ada ruang,” katanya.
“Kuota pertalite prediksinya sampai bulan Oktober, jadi perlu ada bantalan dua bulan terakhir saja. Nah ini sebetulnya tidak akan banyak menambah defisit APBN.”
Kebijakan subsidi BBM selama ini dinilai tidak tepat sasaran karena lebih banyak dinikmati oleh orang-orang yang mampu.
Pengamat mengatakan sudah saatnya pemerintah mengubah pola subsidi, dari yang berbasis barang menjadi yang berbasis orang.
Perketat pembatasan BBM subsidi
Mamit Setiawan, direktur eksekutif Energy Watch, mengatakan salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah selain menaikkan harga ialah mengoptimalkan pembatasan tentang siapa yang berhak menerima BBM subsidi.
Untuk itu pemerintah perlu segera merevisi Perpres 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Menurut Mamit, aturan tersebut masih terlalu umum dan belum mengatur Pertalite.
Ia juga menilai pembatasan bagi solar subsidi belum cukup ketat.
“Padahal kita tahu solar subsidi ini paling rawan terjadi penyimpangan dan bahkan dengan terang-terangan solar subsidi ini banyak digunakan untuk kendaraan perkebunan, pertambangan, yang harusnya tidak berhak,” ujarnya.
Saat ini Pertamina menggunakan aplikasi MyPertamina untuk mengontrol penyaluran BBM bersubsidi. Namun cara tersebut telah dikritik karena mempersulit masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki akses internet.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pihaknya tengah melakukan kajian tentang cara menyalurkan BBM subsidi agar tepat sasaran. (*)
Tags : Minyak gas, Ekonomi, Energi, Inflasi, Indonesia, Biaya hidup,