PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Independen Pembawa Suara Transparansi [INPEST] kembali mempertanyakan kenaikan harga Tandan Buah Segar [TBS] yang saban tahun diperjuangkan pemerintah.
"Pemerintah belum bertindak tegas bagi perambah hutan yang menjadikan kebun sawit diatas tanah negara."
"Penyelesaian kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan melalui Undang-Undang Cipta Kerja harus mengusung asas berkeadilan dan transparan. Hal itu untuk menghindari klaim pengampunan bagi pengusaha sawit. Dengan kata lain, mereka seharusnya tetap bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan," kata Ketua Umum [Ketum] Nasional INPEST, Ir. Ganda Mora SH M.Si, Jumat (7/6/2024).
Menurutnya, kenaikan harga TBS yang diperjuangkan pemerintah, justru menguntungkan pengusaha perambah hutan yang masing-masingnya memiliki luasan 100 hektar keatas.
Berdasarkan kajian implementasi hukum dari UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah secara detail pada pasal 110A: yang bisa diurus dalam prosedur pinjam pakai [keterlanjuran] maksimal 5 hektar bagi masyarakat yang sudah mendiami areal selama 5 tahun keatas dan bagi warga tempatan.
Sedangkan untuk prosedur pasal 110B: untuk korporate persyaratannya adalah harus memiliki izin usaha perkebunan [IUP]. Artinya dari UU tersebut diatas hampir sebagian besar lahan yang ada di Indonesia tidak memenuhi kriteria dalam prosedur pinjam pakai.
Jika harga TBS naik yang diuntungkan yakni perambah, karena mereka tidak dibebani kewajiban [PBB, PPH dan Retribusi lainnya] pada negara. Ini karena tidak ada dasar untuk membayar karena kebunnya ilegal.
"Yang memiliki luasan lahan 100-1000 hektar di Riau sangat banyak. Karena mereka tergolong perambah dan alih fungsi hutan, yang justru mereka inilah menikmati kenaikan harga TBS," ungkapnya.
Kawasan yang banyak dikuasai oleh pengusaha ini seperti di hutan produksi terbatas [HPT] di Desa Sintong Pusako/Rohil, kemudian di Hutan Margasatwa, Bengkalis, Hutan Produksi Giam Siak Kecil dan sekitarnya, Hutan Produksi di Desa Mandau/Siak, TNTN dan Hutan Produksi Tesso Nilo/Pelalawan, Hutan Rimbang Baling/ Kampar, Hutan Lindung Bukit Batabuh/Inhu, dicontohkannya.
"Artinya lahan hutan tergarap seluruhnya di Riau ada seluas 1,2 juta hektar yang dialih fungsikan menjadi kebun sawit," kata dia.
Menurut Ganda, pengusaha yang merambah hutan yang menjadikan kebun sawit [perkebunan yang melanggar] harus dikenakan hukuman pidana.
"Kalau prosedur pinjam pakai akan sulit terealisasi, mengingat dua kriteria [petani dan pengusaha] tadi."
"Sebaliknya, korporasi dapat mengganti kerugian negara dalam bentuk denda. Hitungannya berdasarkan durasi pembukaan lahan, luas, dan tarif denda tutupan hutan saat kebun sawit ilegal digunakan."
“Tidak selamanya hukuman pidana dianggap solusi, terutama jika kekayaan negara dan ekosistem hutan tidak bisa dikembalikan dari praktik bisnis ilegal yang sebagian besar sudah berjalan belasan hingga puluhan tahun,” kata dia.
Ganda balik menyatakan, jumlah kebun sawit ilegal oleh perusahaan di Indonesia cukup masif.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), perkebunan sawit haram tersebut mencapai 3,3 juta hektare.
Provinsi sentra sawit seperti Riau, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Jambi, dan Sumatra Selatan memiliki luas kebun ilegal paling besar.
"Pemilik kebun sawit di dalam kawasan hutan di Riau cukup banyak. Selama beroperasi, korporasi menikmati keuntungan tanpa membayar pajak belasan tahun lamanya atau lebih," sebutnya.
Sementara, temuan Pansus Monitoring Perizinan Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan DPRD Riau pada 2016 menemukan 378 perusahaan sawit beroperasi di dalam kawasan hutan, seluas 1,8 juta hektare.
Potensi pajak yang tidak dibayarkan mencapai Rp 19,6 triliun per tahun. Di antaranya pajak perkebunan Rp 9,4 triliun dan pabrik kelapa sawit mencapai lebih dari Rp 10,2 triliun.
Selain itu, pada 2019 dutemukan lebih dari 5% kebun sawit ilegal di Riau tanpa izin Hak Guna Usaha di kawasan hutan dan area penggunaan lain (APL) seluas 129.948 hektare.
Area ini dikelola oleh satu koperasi unit desa, tiga perseorangan (cukong), dan 39 perusahaan.
Dalam pemantauan dilapangan, mayoritas perkebunan sawit ilegal melakukan konversi hutan alam untuk sawit sejak 10 hingga 25 tahun silam.
"Ini menunjukkan kronisnya masalah menjadikan kerugian negara yang masif. Sebab pelanggaran ini tak tertangani selama belasan tahun,” kata Ganda lagi.
Namun menurutnya, hukum dari UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah secara detail para pebisnis sawit secara otomatis masih melegalkan semua kebun sawit yang bermasalah.
Jadi dalam pandangan SALAMBA, pengampunan tersebut tidak sah lantaran menggunakan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Ganda Mora mendukung KLHK mengembalikan kawasan hutan lindung dan konservasi yang dijadikan kebun sawit untuk direstorasi ke ekosistem semula, tetapi pemerintah harus tegas mengambil alih lahan atau sanksi pidana.
Dia balik menyebutkan, penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan harus mempertimbangkan petani sawit swadaya dengan maksimal luas kelola 5 hektare dan berusia lima tahun.
Menurutnya, petani dalam kategori ini harus dikecualikan dari sanksi administratif karena rentan gejolak sosial.
Pemerintah juga harus melindungi kepentingan masyarakat agar tidak dimanfaatkan oleh korporasi. Ganda mengatakan hal ini terjadi di berbagai provinsi sentra sawit.
Dia pun lantas mewanti-wanti, betapapun para pemain besar sawit termasuk cukong, jangan sampai memanfaatkan peluang ini dengan berkedok sebagai koperasi ataupun berlindung atas nama masyarakat lokal.
"Yang penting lagi, partisipasi bermakna benar-benar dimaknai oleh pemerintah bahwa pendapat publik harus didengarkan, dipertimbangkan, dan pemerintah harus memberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan,” pungkasnya. (*)
Tags : kebun sawit ilegal, riau, hutan lindung jadi kebun sawit, korporate, hutan lindung dirambah, uu cipta kerja, lingkungan, alam,