Sorotan   27-05-2025 19:34 WIB

Kerjasama Pengelolaan Lahan Kopsa M-PTPN V Berakhir Ricuh, 'Petani Babak Belur Hingga Tinggalkan Utang Lebih Seratus Miliar yang Harus Dibayar Lunas'

Kerjasama Pengelolaan Lahan Kopsa M-PTPN V Berakhir Ricuh, 'Petani Babak Belur Hingga Tinggalkan Utang Lebih Seratus Miliar yang Harus Dibayar Lunas'
Sidang lapangan digelar Pengadilan Negeri Bangkinang. Sidang melibatkan PTPN V sebagai penggugat dan Kopsa-M sebagai tergugat. Perusahaan Milik Negara itu meminta Rp.140 Miliar kepada petani dengan dalil Hutang Piutang.

"Berawal dari kerja sama pengelolaan lahan antara petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) dengan PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) tetapi berakhir ricuh"

esepakatan dilakukan, di tengah jalan mulai muncul masalah, dari soal lahan buat petani sampai utang Kopsa M lebih seratusan miliar. Lantas Kopsa M pun mengadukan masalah mereka ke DPRD Riau.

Sampai 2021, Kopsa M terus diklaim utang mencapai Rp140 miliar. Tetapi pengurus Kopsa M minta audit investigasi independen untuk mengetahui penyebab utang koperasi menggunung padahal kebun masih dalam pengelolaan PTPN V yang sekarang PTPN IV Region III.

Pengurus Kopsa M, harus rajin memperbaiki kebun. Pasalnya, kebun yang dibangun PTPN V justru dalam kondisi gagal. 

Masa Bupati Kampar, dijabat Azis Zainal, kala itu, pernah memerintahkan Dinas Perkebunan untuk penilaian fisik. Ternyata, areal yang dapat dinilai hanya 369 hektar.

Rekomendasinya, kebun Kopsa M yang bermitra dengan PTPN V sebanyak 46 blok atau 1.415 hektar harus diremajakan.

Masa Syafaruddin Poti menjabat Wakil Ketua DPRD Riau mengatakan, akan menindaklanjuti masalah kerjasama yang sudah belasan tahun itu dengan memanggil para pihak terkait. 

Pihak Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) menilai persoalan yang terjadi di Kopsa-M tidak lepas dari tidak profesional nya kepengurusan internal dari sejak terbentuknya koperasi sampai saat ini.

"Keanggotaan dan kepengurusan silih berganti dan tidak adanya keterbukaan terkait pinjaman dana dari Bank Mandiri. Dampaknya, sebagian areal jadi terbengkalai. Sementara dana terus digunakan namun kondisi lahan perkebunan cukup memprihatinkan," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketua Umum (Ketum) INPEST menyikapi tadi Selasa (27/5).

Menurutnya, kepengurusan sebelumnya harus mendekam dibalik jeruji karena penggunaan dana tidak transparan dan tidak digunakan sebagai mestinya.

"Kami mengikuti persolan ini sejak awal bahwa Koppsa-M ini tidak menjalankan progres sementara pihak PTPN V menjamin pinjaman ke bank, kemudian membayar dan mencicil utang ke bank," kata dia.

Konflik berkepanjangan ini cukup pelik karena berdasarkan fakta persidangan yang berjalan di PN Bangkinang, para saksi yang dihadirkan sengaja menyatakan bahwa koperasi melakukan wanprestasi. 

Kopsa-M mengadu ke dewan 

Sengkarut kerja sama pengelolaan lahan antara petani yang tergabung dalam Kopsa M dengan PTPN V ini akhirnya melibatkan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pekanbaru, membawa petani dan pekerja Kopsa M ke gedung DPRD Riau, Oktober lalu.

Mereka ditemui Syafaruddin Poti, masa menjabat Wakil Ketua DPRD Riau.

Keluhan petani disampaikan Nurul Fajri, mewakili pengurus Kopsa M, Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau.

Dia, menjelaskan sejarah awal kerjasama sampai hal-hal yang memicu konflik.

Pada 25 Juni 2001, ninik mamak empat suku: Maliling, Domo, Dayun serta Melayu, memberi mandat pada Kopsa M.

Melalui koperasi ini, mereka menyerahkan pengelolaan 4.000 hektar lahan untuk jadi perkebunan sawit ke PTPN V.

Kerjasama ini, dikenal dengan hubungan bapak dan anak angkat. Dengan kata lain, pengelolaan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

Alasan masyarakat, kala itu mereka tergiur karena melihat penduduk transmigrasi sejahtera dengan memiliki kebun sawit.

Dengan mengikuti jejak serupa, masyarakat berharap dapat meningkatkan perekonomian dan mengentaskan kemiskinan.

Berdasarkan surat pernyataan penyerahaan hak atas tanah ulayat, 1 Agustus 2001, sekitar 4000 hektar yang diserahkan ke PTPN V antara lain, kebun inti PTPN V 500 hektar, kebun plasma Kopsa M 2.000 hektar serta kebun sosial kemasyarakatan Pangkalan Baru 1.500 hektar.

Penyerahan ditandatangani Ketua Kopsa M pertama, Sapri. Penerimaan diteken Mardjan Ustha, Direktur SDM/Umum PTPN V.

Pada 17 Juni 2002, Mardjan Ustha membalas surat permohonan kemitraan usaha dari Kopsa M.

Intinya, PTPN V menyetujui tawaran itu. Tetapi, katanya, ada beberapa persyaratan mesti dilengkapi lagi oleh koperasi.

PTPN V juga memberitahu, pembangunan kebun sawit pola KKPA akan bertahap setelah bank pelaksana mengucurkan dana.

Selanjutnya, Kopsa M diminta menyusun proposal rencana pembangunan kebun, juga buat berita acara penyerahan lahan untuk kebun inti 500 hektar tanpa ganti rugi yang diketahui ninik mamak.

Beberapa persyaratan lain muncul harus dilengkapi, setelah ada persetujuan dari perbankan sebagai penyandang dana.

Pelaksanaan pembangunan kebun sawit pola KKPA baru mulai pada 2003. Ia dikerjakan dengan bertahap dan disepakati dalam tiap surat perjanjian kerjasama.

Pembangunan pertama seluas 200 hektar untuk 100 keluarga dengan modal dari Bank Mandiri, Jakarta.

Tahap kedua seluas 950 hektar untuk 475 keluarga masih dibiayai bank sama. Tahap akhir seluas 500 hektar untuk 250 keluarga yang kali ini dibiayai PT Bank Agro, Jakarta.

Di sinilah, pengurus Kopsa M periode 2016-2021 mulai mencium ketidakberesan.

Merujuk tiga surat perjanjian kerjasama antara PTPN V dengan Kopsa M, luas kebun yang dibangun hingga 2006, hanya 1.650 hektar untuk 825 keluarga.

Kurang 350 hektar lagi dari usulan pembangunan sesuai penyerahan awal.

Utang tak sesuai kondisi kebun

Kebun sawit di lahan Koperasi Sawit Mandiri

Pengurus koperasi mensinyalir ada surat perjanjian kerjasama yang dihilangkan atau tidak dibuka oleh PTPN V. Pasalnya, dalam surat pengakuan utang dari Bank Agro, luas kebun yang dibangun tercatat 2.050 hektar.

Bahkan dalam peta kerja PTPN V yang pernah dilihat pengurus koperasi, luas pembangunan kebun sawit justru 2.100 hektar.

Ketidaksingkronan data itu kemudian jadi keberatan pengurus koperasi yang diketuai Anthony Hamzah, sejak 2016 dan berakhir Desember ini. Sebab, beban utang pembangunan kebun yang terus membengkak harus ditanggung petani peserta yang juga pengurus koperasi.

Sejak 2006, Kopsa M sudah diklaim memiliki utang Rp54 miliar. Jumlah itu dinilai pengurus koperasi tidak masuk akal.

Bila merujuk keputusan Direktur Jenderal Perkebunan 2007, tentang satuan biaya perluasan sawit kemitraan untuk wilayah Riau hanya Rp24, 980 juta per hektar.

Katakanlah, dia bilang, PTPN V membangun 2.100 hektar, berdasarkan peta kerja.

Utang yang diklaim ke Kopsa M mestinya hanya Rp52,4 miliar.

Bila dikalkulasi dengan luasan 2.050 hektar, berdasarkan surat pengakuan utang dari Bank Agro, jumlah tentu lebih kecil, Rp51,2 miliar.

Apalagi, bila dihitung berdasarkan tiga surat perjanjian kerjasama yang hanya membangun 1.650 hektar.

Jumlah utang yang ditanggung Kopsa M pada 2006 harusnya cuma Rp41,2 miliar.

“Kami hanya dapat standar biaya pada 2007. Kalau dihitung pada pembangunan kebun sejak 2003 sampai 2006, mungkin standar lebih kecil,” kata Nurul.

"Kami mencurigai ada korupsi atau penggandaan pembiayaan pembangunan kebun yang melanggar SK Dirjenbun," sebut Nurul.

Pada 2012, utang Kopsa M bertambah jadi Rp79 miliar. Terdiri dari utang ke Bank Agro dan PTPN V sendiri. Karena PTPN V sebagai avalis atau penjamin, perusahaan negara itu yang langsung membayar cicilan ke Bank Agro.

Jadi, Kopsa M mencicil utang ke perusahaan pelat merah itu. Dalam hal ini, koperasi tidak pernah berurusan uutang-piutang dengan perbankan sebagai pembiaya pembangunan kebun.

Rupanya, hasil penelusuran pengurus koperasi, PTPN V bayar cicilan utang ke Bank Agro bukan dari hasil produksi kebun. Melainkan dana talangan yang kemudian jadi pokok utang bagi petani atau pengurus koperasi.

“Pertanyaan kami, ke mana hasil kebun selama ini? Artinya, itu salah satu indikator kebun gagal karena tidak mampu bayar utang. Padahal masih dalam pengelolaan PTPN V.”

Pada 2013, pengurus Kopsa M mendapat informasi, semua utang ke Bank Agro ditutup. Namun, PTPN V mengagunkan kembali lahan Kopsa M ke Bank Mandiri Rp83 miliar.

Pengurus koperasi tidak dapat mengecek asal-usul penambahan Rp4 miliar dari utang terakhir, karena dana pinjaman itu tidak masuk ke rekening koperasi, melainkan langsung ke rekening PTPN V.

Menurut Nurul, petani dan pengurus koperasi telah dibodoh-bodohi perusahaan negara.

Singkat cerita, pada 2017, awal menjabat sebagai ketua koperasi, Anthony Hamzah dan badan pengawas Kopsa M, menolak pengakuan utang yang disodorkan PTPN V karena makin membengkak sampai Rp115 miliar.

Sampai 2021, Kopsa M terus diklaim utang mencapai Rp140 miliar.

Anthony minta audit investigasi independen untuk mencari tahu penyebab utang koperasi menggunung padahal kebun masih dalam pengelolaan PTPN V.

Hasil pengecekan pengurus koperasi, kredit di Bank Mandiri akan berakhir pada 2023.

Hingga tahun itu, koperasi akan menanggung beban utang ke PTPN V sebesar Rp183 miliar.

Urusan cicilan ke Bank Mandiri langsung autodebit dari rekening PTPN V. Utang tersisa di Bank Mandiri Rp27 miliar.

“Pengurus Kopsa M sebenarnya punya itikad baik. Sejak 2017, koperasi tetap bayar utang ke perusahaan sesuai hasil produksi dan kemampuan. Sebab koperasi juga harus memperbaiki kebun,” kata Nurul.

Sejak Anthony mengendalikan koperasi, rutin timbun jalan, infrastruktur lumayan bagus dan produksi terus meningkat.

Pengurus Kopsa M, harus rajin memperbaiki kebun. Pasalnya, kebun yang dibangun PTPN V justru dalam kondisi gagal.

Masa Bupati Kampar dijabat Azis Zainal, kala itu, pernah memerintahkan Dinas Perkebunan untuk penilaian fisik. Ternyata, areal yang dapat dinilai hanya 369 hektar.

Rekomendasinya, kebun Kopsa M yang bermitra dengan PTPN V sebanyak 46 blok atau 1.415 hektar harus diremajakan.

“Intinya, hasil penilaian saat itu, kebun dalam keadaan sangat kacau. Tidak sesuai dengan kewajiban utang yang tiap tahun ditagih ke koperasi,” ucap Nurul.

Dalam kesempatan lain, seorang ninik mamak Suku Maliling, cerita, ketika jadi badan pengawas koperasi, pernah menyerukan PTPN V membangun jalan, supaya memudahkan pengelolaan kebun.

Hasil produksi yang diterima petani jauh dari maksimal. Pendapatan petani kala itu paling besar Rp50.000 bahkan pernah Rp17.000 per bulan.

"Pernah juga tak terima hasil sama sekali."

“Kalau dibanding satu sawit di belakang rumah saya, bisa mendapatkan Rp45.000 tiap bulan. Jauh lebih besar ketimbang hasil produksi dua hektar kebun yang dimitrakan dengan PTPN V.”

Kalau saja bisa, mereka ingin cabut saja sawit-sawit itu dan kembalikan ke PTPN V. “Biarlah mereka mulai dari awal lagi dan tanam sendiri saja.”

Saat ini, karena kebun tak kunjung beralih dari PTPN V ke Kopsa M, petani belum tahu letak kaplingan mereka. Hasil produksi 369 hektar sawit itu terpaksa dibagi rata ke 997 petani.

Ketika kepengurusan Anthony Hamzah, kebun barangsur-angsur diperbaiki. Begitu juga infrastruktur di dalamnya seperti jalan atau akses panen maupun barak pekerja.

“Dengan terseok-seok, sekarang, kebun sudah terbenahi 823 hektar. Secara tanaman hanya 600 hektar yang berhasil produksi,” kata Nurul.

Kantor Kopsa M di Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau.

Celakanya, sebagian kebun plasma Kopsa M, itu justru dikuasai pihak-pihak lain. Pada 2008, petani mulai bergejolak terhadap penjualan kebun yang ditanam sawit itu.

Pernah terjadi demonstrasi, bentuk koalisi dan aliansi yang berujung pembakaran. Seorang ninik mamak dari Suku Maliling, sempat kena hukum tetapi tidak ditahan, hanya wajib lapor selama satu tahun.

“Sejak itu, perlawanan selalu dilakukan masyarakat. Bahkan pernah menyurati presiden.”

Curhat para petani dan pengurus koperasi hari itu baru masuk dalam catatan DPRD Riau.

Syafaruddin Poti, mengatakan, akan menindaklanjuti masalah kerjasama yang sudah belasan tahun itu dengan memanggil para pihak terkait.

Pembahasannya juga akan melibatkan sejumlah komisi.

Ali Junjung Daulay, Ketua PMII Pekanbaru, berharap anggota dewan memfasilitasi penyelesaian konflik antara Kopsa M dengan PTPN V.

Lebih dua bulan, petani dan pekerja tidak terima gaji hasil panen bauh sawit karena PTPN V tidak menandatangani pencairan gaji di rekening bersama.

“Kami mengetahui ada Rp3,4 miliar uang petani dan pekerja yang mengendap di rekening. Kami berharap diberikan ruang diskusi antara koperasi dan perusahaan untuk mencari titik temu penyelesaian masalah.”

Masyarakat, katanya, malah kelaparan ketika harga sawit melonjak sampai Rp 3.000 per kilogram.

Pihak PTPN V yang berkantor di Jalan Rambutan No 43, Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru melalui Anggi Humas/Corporate Communications di PTPN V menanggapi upaya konfirmasi riaupagi.com.

Ia mengaku adanya kerja sama pengelolaan lahan antara petani yang tergabung dalam Kopsa M dengan PTPN V, sambil mengarahkan pernyataan dan jawaban statement kuasa hukum PTPN V, Wahyu Awaludin. Adapun bunyi pernyataan kuasa hukum PTPN V ini antara lain:

"Terkait Koppsa-M bahwa langkah hukum gugatan wanprestasi yang dilayangkan merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai perusahaan negara, agar dana yang sudah dikeluarkan tetap akuntabel dan dapat diterima kembali sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan kerugian bagi negara.

Kenapa ini penting, karena pengembalian dana talangan kepada perusahaan akan memudahkan perusahaan utk mampu membantu perbaikan kebun, sehingga kebun Koppsa-M dpt benar2 produktif, dan mampu membawa manfaat serta kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. 

Begitu banyak mitra yang kini telah merasakan manfaat besar kehadiran perusahaan. Termasuk, saat ini ada ratusan petani mitra di wilayah lainnya yg sedang fokus mengurus RSPO karena saking sehatnya koperasi tersebut. Tentu perusahaan ingin hal yang sama juga diwujudkan di Koppsa-M. 

Kemudian, perlu juga dipahami, bahwa Koppsa-M melalui tim kuasa hukumnya yang kompleks sementara PTPN hanya diwakili satu penasehat hukumnya melewati proses persidangan.  Kita masih menunggu putusan dari hakim.

Namun, aku mencatat dari beragam saksi, mulai dari saksi penggugat, tergugat, akademisi, hingga saksi fakta silih berganti memberikan keterangan di bawah sumpah pengadilan. Mayoritas dari mereka menyampaikan keterangan yang senada dalam perkara wanprestasi bernilai jumbo itu. 

Mulai dari saksi paling anyar yang hadir ke pengadilan pada akhir April 2025. Saksi yang merupakan eks tim penilai Dinas Perkebunan Kampar bernama Idrus yang dihadirkan Koppsa-M sebagai saksi dalam sidang gugatan wanprestasi senilai Rp140 miliar di Pengadilan Negeri Bangkinang mengakui tidak mengetahui adanya kerjasama dengan pihak ketiga. 

Kerjasama ilegal yang disebutkan para ahli sebagai tindakan wanprestasi tersebutlah yang selama ini disinyalir menjadi penyebab kerusakan kebun seluas 1.650 hektare itu. 

Idrus, eks tim penilai kebun Koppsa-M pada 2017 lalu yang kini menjabat sebagai Sekretaris Dinas Perkebunan Kampar bersaksi selain tidak mengetahui adanya kerjasama eksploitasi kebun Koppsa-M dengan pihak ke-tiga, sementara koperasi yang berlokasi di Desa Pangkalan Baru, Kabupaten Kampar itu masih terikat perjanjian dengan PTPN selaku 'Bapak Angkat', beliau juga mengaku tidak mendapat data secara komprehensif selama penilaian kebun berlangsung. 

Tidak hanya itu, dalam keterangannya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Hakim Soni Nugraha, Idrus juga menyatakan bahwa tidak pernah mengeluarkan rekomendasi dari Disbun Kampar bahwa kebun Koppsa-M gagal dibangun.  

Praktis, keterangan saksi tersebut mematahkan argumen yang selama ini dibangun oleh kelompok tim kuasa hukum Koppsa-M. 

Pada medio April 2025 kemarin, tim kuasa hukum Koppsa-M menghadirkan saksi ahli yang merupakan pengajar studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau Dr Asharudin M. Amin. 

Dia menilai bahwa Koppsa-M melakukan wanprestasi dengan melanggar perjanjian yang berlaku. Adanya pengambilan alihan paksa, praktik jual beli lahan di bawah tangan, dan kerjasama dengan pihak ke-tiga, dinilai pelanggaran perjanjian dan telah menjurus ke tindakan wanprestasi. 

Selain itu, Asharudin turut menjelaskan terkait kelayakan pembangunan kebun yang kerap dipersoalkan oleh Koppsa-M. Faktanya, Studi kelayakan atau perencanaan digunakan saat pencairan di lembaga pembiayaan, yakni Bank. Saat lembaga perbankan telah mencairkan pendanaan, artinya telah dinilai layak dan tidak ada persoalan seperti yang disampaikan oleh Koppsa-M.

Begitu juga terkait penyerahan kebun dalam jangka waktu 48 bulan atau empat tahun, saksi ahli juga menjelaskan harus ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Mulai dari tidak ada sengketa areal dan petani anggota yang defintif dan telah ditandatangani bupati. Namun, seiring berjalannya waktu, Koppsa-M sendiri ternyata tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut. 

Ahli perdata Universitas Islam Riau Surizki Febrianto yang juga dihadirkan tim kuasa hukum Koppsa-M menjelaskan bahwa tidak adanya sanggahan, gugatan, maupun tuntutan sejak awal kebun dibangun, hingga tercapainya perjanjian baru di tahun 2013, menandakan pembangunan kebun telah sesuai dengan ketentuan.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, perjanjian yang diajukan dan telah disepakati pada tahun 2013 Koppsa-M, justru dilanggar sepihak. Dampaknya adalah ketidakmampuan membayar dana talangan. Padahal dalam perjanjian itu semua dibuat dan disepakati, tapi dilanggar oleh Koppsa-M sendiri.

Akademisi bidang hukum pertanian Ermanto Fahamsyah juga telah menilai pengambilalihan sepihak dan dilakukan secara paksa terhadap kebun sawit plasma oleh pengurus koperasi merupakan tindakan wanprestasi.

Sementara pengurus yang terus terbelenggu dengan pelbagai polemik justru mengorbankan segelintir anggota asli Koppsa-M yang kini masih berharap dengan keberadaan PTPN. 

Keterangan saksi-saksi di atas berbanding lurus dengan para saksi lainnya yang terlebih dahulu memberikan keterangan di muka persidangan sebelumnya, baik saksi ahli yang dihadirkan penggugat maupun yang dihadirkan pihak tergugat, yakni Koppsa-M itu sendiri. 

Dari satu persidangan ke persidangan lainnya, perkara ini semakin jelas, "tentu, sekali lagi kami berterimakasih kepada Koppsa-M dan para kuasa hukumnya yang telah menghadirkan saksi ahli ini."

"Justru kian membuat perkara ini semakin terang benderang bahwa mereka telah melakukan wanprestasi."

Koppsa-M hingga kini terus menjadi pesakitan usai sengkarut persoalan di kepengurusan.

Di saat kelompok petani mitra PTPN IV lainnya berhasil cuan hingga miliaran rupiah, Koppsa-M seolah tak belajar dari sejarah.

Satu persatu masalah muncul akibat salah kelola kepengurusan, hingga si ketua terakhir Anthoni Hamzah terjerat pidana hingga berujung penjara. 

Kali ini, Koppsa-M kembali berulah setelah PTPN yang telah membantu mendirikan kebun sawit seluas 1.650 hektare, hingga harus menanggung 'dosa' para pengurus dengan menanggulangi cicilan di Bank selama belasan tahun akibat ketidakbecusan pengurus. 

Usai seluruh cicilan dilunasi PTPN, Koppsa-M yang notabene adalah anak angkat mulai bertindak durhaka kepada 'bapak angkatnya'. Alhasil, PTPN pun terpaksa harus menempuh jalur pengadilan untuk kepastian hukum atas biaya pembangunan kebun, meski sempat di usir dan "diselingkuhi" dengan kerjasama pihak ke tiga." 

Kembali seperti disebutkan Marganda Simamora, bahwa kasus carut marut kerja sama pengelolaan lahan antara petani yang tergabung dalam Kopsa M dengan PTPN V, justru pihak petani Koppsa M pernah melakukan pengusiran paksa tim PTPN V di lapangan dan selanjutnya melakukan perjanjian sepihak dengan pihak ketiga untuk mengelola perkebunan plasma tanpa persetujuan PTPN V. 

"Kerjasama ilegal selama 5 tahun lebih itu adalah kesalahan fatal mereka yang jelas masuk kategori wanprestasi. Selain juga menjadi penyebab penurunan kondisi kebun karena hanya dilakukan eksploitasi tanpa diimbangi dengan perawatan yang baik," sebutnya. 

Dia menilai, klaim kebun gagal yang selama ini disampaikan oleh Koppsa-M atas penilaian Disbun Kampar sangat tidak tepat, "kalau kita simak dari fakta persidangan juga kemarin dibantah sama tim penilainya sendiri," terangnya. 

Selain tidak mengetahui adanya kerjasama eksploitasi kebun Koppsa-M dengan pihak ke-tiga, tim penilai juga tidak mendapat data secara komprehensif selama penilaian kebun berlangsung.

"Tim penilai juga menyatakan tidak pernah mengeluarkan rekomendasi dari Disbun Kampar bahwa kebun Koppsa-M gagal dibangun." 

Dari semua persoalan itu, kata Ganda Mora (sebutan nama sehari-harinya) ini menyimpulkan, selama berjalannya waktu Koppsa-M sama sekali tidak menunjukkan itikad baik, termasuk enggan membayar cicilan kepada PTPN.

Di lain sisi, PTPN yang merupakan bapak angkat sekaligus corporate guarantee, harus menalangi cicilan ke lembaga pembiayaan hingga cicilan di perbankan lunas. 

PTPN V yang sekarang PTPN IV Region III

Setelah cicilan dilunasi, Koppsa-M sekarang malah berusaha memutihkan hutang yang telah ditalangi perusahaan.

"Saya melihat, Koppsa-M ini seperti anak durhaka kepada orang tuanya. Sudah dibantu, dilunasi hutangnya, sekarang melawan balik," sebut Ganda. 

Menurutnya, langkah hukum yang ditempuh PTPN V ini karena sebagai perusahaan negara harus mendapat kepastian hukum atas biaya pembangunan kebun, meski telah disakiti oleh anaknya sendiri.

"Kami menyikapi persoalan tersebut cukup pelik dan kemungkinan besar pihak PTPN V melakukan gugatan ke Koppsa M karena tidak ingin pihak nya mengalami kerugian besar atas pembayaran utang koperasi, sementara pihak Koperasi justru mengikat kerjasama dengan pihak ke tiga hingga 5 tahun, namun cicilan utang justru PTPN V yang melunasi, sehingga dengan gugatan tersebut sebagai langkah hukum untuk menyelamatkan kerugian negara," jelasnya.

Petani harus tahu putusan RSPO 

Panel Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ternyata telah mengeluarkan keputusan terkait pengaduan petani yang tergabung dalam Kopsa-M di Kabupaten Kampar, Riau terhadap PTPN V (sekarang berganti nama menjadi PTPN IV).

Hal itu dinilai banyak pihak sangat kontras dangan apa yang dilakukan perusahaan negara (PTPN IV) terhadap masyarakat kecil petani Kopsa-M hari ini.

Dimana petani Kopsa-M digugat dan dikatakan masih berhutang Rp.140 Miliar. Meskipun kebun yang dibangunnya ditemukan rusak dan gagal.

Pengaduan Kopsa-M yang resmi diajukan pada 4 Maret 2022 silam, telah diputus panel RSPO pada 31 Mei 2024 lalu, atau setelah lebih dua tahun lamanya proses bergulir di RSPO.

Dalam keputusannya, panel RSPO menyatakan kalau PTPN V yang kini berubah nama menjadi PTPN IV Regional 3, telah melanggar prinsip dan kriteria RSPO 2018 ikhwal pelaksanaan kerjasama kemitraan pola KKPA yang dilakukan dengan Kopsa-M.

Adapun Kopsa-M sejak dua tahun lalu, pun telah berubah nama menjadi Koperasi Produsen Petani Sawit Makmur (Koppsa-M), sejak pergantian kepengurusan yang mendepak Anthony Hamzah dari posisi ketua. 

Pengaduan ke RSPO ini disampaikan saat Kopsa-M dipimpin oleh Anthony Hamzah.

Belakangan Anthony Hamzah dijatuhi pidana penjara dalam kasus pengrusakan camp PT Langgam Harmuni yang diklaim Kopsa-M telah menguasai sebagian areal KKPA kebun masyarakat yang dikerjasamakan dengan PTPN V.

Keputusan panel RSPO ini disampaikan dalam sepucuk surat dengan nomor referensi pengaduan RSPO/2022/03/CP tertanggal 31 Mei 2024.

Surat itu ditujukan kepada para pihak yang berkepentingan dengan identitas tetap dirahasiakan sehubungan dengan permintaan pemohon untuk perlindungan identitas.

PTPN V teregister mengantongi nomor keanggotaan RSPO:1-0030-06-000-00.

Petani sawit yang tergabung dalam Kopsa M di Riau, kebingungan, persoalan pengelolaan lahan belum tuntas, utang yang diklaim PTPN V buat koperasi menggunung.

Sebelumnya pada 2022 akhir PTPN V dilaporkan ke RSPO terkait konflik dengan Kopsa M di Kampar. Informasi adanya pengaduan terhadap PTPNV tersebut diunggah lewat kanal pengaduan di situs RSPO.

Dalam ringkasan latar belakang aduannya, RSPO mengompilasi 3 substansi pengaduan yang disampaikan terhadap PTPN V sebagai pihak termohon.

Pertama, termohon PTPN V diduga menguasai beberapa objek lahan Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) secara tidak sah, serta melanggar perjanjian KKPA.

Kedua, PTPN V diduga melakukan penggelapan dana dan penipuan pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Ketiga, PTPN V diduga melanggar kesepakatan terkait penjualan buah kelapa sawit petani yang seharusnya dibayarkan kepada pihak KKPA (pelapor) untuk dibagikan kepada anggotanya. Termasuk juga praktik dugaan penggunaan dana talangan yang tidak sah.

Dalam putusan panel, RSPO mengeluarkan pendapat atas 3 aduan dari pemohon. Dari 3 pokok aduan tersebut, panel RSPO menetapkan hanya satu aduan yang terbukti, yakni pada pokok aduan kedua. 

Sementara  terhadap dua aduan lainnya, panel RSPO menyatakan tidak dapat diterima.

"CP berpendapat bahwa Termohon (PTPN V) telah gagal menunjukkan transparansi dan keadilan kepada Pemohon (Kopsa-M) sebagai mitra plasma yang menyebabkan para petani yang menjadi anggota Pemohon, tidak mendapatkan kebun yang baik dan layak, bahkan memiliki hutang kepada bank dan Termohon," demikian isi surat Panel RSPO, Senin (3/2/2025).

Sebagai informasi, CP adalah sebutan untuk panel pengaduan RSPO.

Dengan terbuktinya aduan kedua tersebut, Panel RSPO berkesimpulan bahwa PTPN V telah melanggar Prinsip dan Kriteria RSPO 2018, secara khusus pada Kriteria 5.1 yang berbunyi "Unit sertifikasi berhubungan dengan semua petani (petani mandiri dan petani plasma) dan semua pelaku usaha setempat lainnya secara adil dan transparan".

Ketua KOPPSA-M (Koperasi Produsen Sukses Sawit Makmur), Nusirwan yang diframing seolah-olah menggelapkan keuangan negara hingga Rp 140 miliar, ditantang keras oleh kuasa hukum, Armilis Ramaini, SH.

"Itu jelas misleading dan mengada-ada," ujar Armilis kepada media, Jumat (24/1/2025) menjawab framing dari kuasa hukum PTPN IV Regional III (dulu PTPN V) yang terbit di sejumlah media online di Pekanbaru.

Dikatakannya, adapun nilai Rp 140 miliar tersebut sebenarnya merupakan nilai yang dibayarkan oleh PTPN kepada bank atas dana kredit/pinjaman dari bank untuk pembangunan kebun di Desa Pangkalan Baru, Kampar.

Sejatinya pembayaran kredit perbankan ini diatur dalam perjanjian KKPA dan Keputusan Gubernur Riau No. 7 tahun 2001 dimana seharusnya pembayaran kredit perbankan bersumber dari sepertiga hasil kebun.

Namun demikian, pada faktanya proporsi sepertiga dari hasil kebun tersebut tidak mencukupi, dikarenakan PTPN lalai dalam menjalankan pembangunan dan pengelolaan kebun sesuai perjanjian KKPA.

"Hingga saat ini setelah hampir 25 tahun kebun dibangun, luasan areal kebun yang dibangun oleh PTPN tidak sampai setengah dari yang diperjanjikan," beber Armilis.

Ditambahkan, luasan kebun yang berhasil dibangun oleh PTPN hanya sekitar 600 ha dari 1.650 ha yang diperjanjikan dalam Perjanjian KKPA.

"Parahnya kondisi 600 ha kebun tersebut juga sebagian besar terbengkalai tidak terawat dan tidak maksimal produktifitasnya," katanya.

Disebutkan juga, perihal kegagalan PTPN dalam membangun kebun ini sebenarnya telah sejak 2018, yang diungkapkan oleh laporan dari Pemerintah Kabupaten Kampar melaui laporan dan temuan yang diungkapkan Dinas Perkebunan.

Hal serupa juga telah menjadi temuan tim KOPPSA-M setelah melakukan audit agronomi atas kebun sawit yang dibangun oleh PTPN.

"Tidak optimalnya produksi sawit karena kelalaian PTPN dalam membangun dan mengelola kebun ini, menyebabkan proporsi hasil kebun yang dialokasikan sebagai pembayaran hutang tidak mencukupi. Karenanya PTPN sebagai avalist (penjamin hutang) berkewajiban untuk membayar hutang ke pihak perbankan tersebut hingga nilai hutang berikut bunganya membengkak sampai 140 miliar rupiah," tambahnya lagi.

Sehingga, apabila kuasa hukum PTPN mengklaim Rp 140 miliar digelapkan oleh koperasi, jelas yang bersangkutan tidak mengerti duduk perkara sehingga mengeluarkan pernyataan konyol.

⁠Lebih lanjut, dana kredit dari bank senilai puluhan miliar untuk pembangunan kebun sawit di desa pangkalan baru seluruhnya masuk ke rekening PTPN dan dikelola sendiri oleh PTPN pula.

Menjadi aneh apabila PTPN menuduh koperasi yang menggelapkan dana tersebut.

"Duitnya di kelola oleh mereka, malah koperasi yang diframing mengkamplang. Dimana jalannya," tegas Armilis.

Terkait hal ini sikap koperasi sejak awal sudah jelas. Koperasi meminta dan mendorong BPK dan KPK untuk memeriksa dan melakukan audit atas penggunaan dana kredit pembangunan kebun tersebut, karena hingga saat ini PTPN tidak pernah terbuka mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut kepada koperasi dan masyarakat pemilik kebun.

Selain itu, pernyataan kuasa hukum PTPN yang seolah-olah dirinya bertindak bak pahlawan bagi masyarakat jelas menyesatkan.

Melalui kuasa hukumnya, PTPN justru hendak merampas tanah masyarakat dengan meminta sita eksekusi atas tanah masyarakat sebagaimana ternyata dalam petitum gugatannya yang dijukan ke PN Bangkinang.

"Padahal PTPN sebagai perusahaan milik negara harusnya mengutamakan kepentingan masyarakat. Namun alih-alih menindas dan berupaya merampas tanah masyarakat," tandasnya.

Terhadap penyebaran berita bohong yang bersumber dari kuasa hukum PTPN tersebut yang merugikan kliennya, maka pihaknya sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum. (*)

Tags : koperasi petani sawit makmur dan pt perkebunan nusantara V, kopsa m dan ptpn v, kerjasama pengelolaan lahan, kebun sawit, kerjasama kopsa m dan ptpn v, kerjasama pengelolaan lahan berakhir ricuh, riau, kopsa m tinggalkan utang lebih seratus miliar, Sorotan,