JAKARTA - Kerja sama pertahanan antara Amerika Serikat dan Indonesia setelah Joe Biden terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) sangat tergantung kepada sikap Kongres dan Senat AS yang saat ini dikuasai Partai Demokrat, kata pengamat.
Selama ini Partai Demokrat dianggap mengedepankan isu hak asasi manusia (HAM), sehingga nilai-nilai ini dianggap akan mempengaruhi hubungan pertahanan AS-Indonesia ke depan. Namun Kementerian Luar Negeri Indonesia meyakini kerja sama pertahanan keamanan Indonesia-Amerika Serikat akan terus berjalan karena kedua negara sudah terikat dengan kesepakatan sebelumnya. Menurut Kemenlu, Indonesia dan AS merupakan mitra strategis di kawasan Asia Tenggara, sehingga hubungan pertahanan kedua negara tidak akan terganggu terkait dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dikaitkan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Ketua Kajian AS di Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, mengatakan, hubungan pertahanan antara AS dan Indonesia sangat tergantung kepada sikap Kongres dan Senat AS yang saat ini dikuasai Partai Demokrat dan tidak semata pada sosok Joe Biden. "Joe Biden itu bukan satu kekuasaan saja. Maksudnya, dia bergantung pada diktum Kongres," kata Suzie dirilis BBC News Indonesia.
"Apakah mereka akan menafsirkan kembali kesepakatan tersebut? Itu tergantung kepada mereka," tambahnya.
Hal itu, menurutnya, juga tidak terlepas dari fokus utama pemerintahan Joe Biden, apakah menitikberatkan pada upaya mengatasi pandemi di dalam negeri atau meninjau ulang kebijakan yang sudah dibuat pemerintahan Trump. Sementara, Direktur Amerika 1 di Kementerian Luar Negeri, Zelda Wulan Kartika, mengatakan dia meyakini bahwa berbagai kesepakatan yang sudah dihasilkan pada pemerintahan Trump akan tetap dieksekusi oleh pemerintahan Biden karena sifatnya yang 'sudah hitam di atas putih'.
"Sistem di AS itu sudah established. Jadi biasanya pemerintahan baru — kali ini ganti kubu dari Partai Republik ke Partai Demokrat — akan menghormati keputusan, atau deal dengan negara lain, yang sudah dilakukan pada pemerintahan yang lalu. Jika perubahan atau pandangan lain terhadap keputusan yang sudah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya, biasanya tidak akan dianulir," kata Zelda.
"Tapi mungkin diturunkan prioritasnya," ujarnya. "Jadi mungkin awalnya prioritas pertama jadi prioritas kedua, misalnya."
"Kalau dalam hal pembelian alutsista, saya yakin bahwa ini akan terus dilanjutkan oleh pemerintahan Biden. Mengapa? Karena ini kalau Amerika kan berarti dia mereka menjual alutsista. Dia pasti akan dapat pemasukan. Nah, ini pasti akan digulirkan terus seperti ini, mereka tetap mengharapkan Indonesia membeli alutsista dari AS. Itu pasti akan terus terjadi," jelasnya.
Pada Oktober 2020, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berkunjung ke AS, dan bertemu Menteri Pertahanan AS — saat itu dijabat oleh Mark Esper — di masa pemerintahan Trump. Dalam situs resmi Kementerian Pertahanan Indonesia, Prabowo dan Mark Esper "membahas keamanan regional, prioritas pertahanan bilateral, dan akuisisi pertahanan". Disebutkan, Menhan Esper menyampaikan "pentingnya menegakkan hak asasi manusia, supremasi hukum, dan profesionalisasi" saat kedua negara memperluas kerja samanya.
Adapun Menhan Prabowo disebutkan menyatakan "pentingnya keterlibatan militer di semua tingkatan", dan "menyampaikan apresiasinya atas dukungan Amerika Serikat untuk modernisasi pertahanan Indonesia". Menurut Ketua bidang Hubungan Luar Negeri DPP Gerindra, Irawan Ronodipuro, dalam pertemuan itu, Indonesia berkeinginan untuk mengadakan alutsista buatan AS melalui program Foreign Military Sales, FMS. "Pembicaraan bilateral terakhir sewaktu Secretary of Defense Christopher Miller mengadakan lawatan ke Jakarta, 7 Des 2020, membicarakan antara lain, pembelian jet tempur F-15 dan F-16," kata Irawan Ronodipuro, yang juga merupakan Foreign Relations Liason dari Prabowo Subianto.
Sejumlah organisasi HAM mengkritik kunjungan Prabowo ke AS, karena apa yang mereka sebut sebagai dugaan keterlibatan langsung Prabowo dalam pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Pada Oktober lalu, Kedutaan Besar AS di Jakarta menyatakan, "Kementerian Pertahanan AS menerima Menteri Prabowo di Pentagon pada 16 Oktober untuk memperkuat hubungan bilateral AS-Indonesia."
Sebelumnya, Prabowo dilaporkan masuk dalam daftar hitam AS, karena dianggap terlibat dugaan pelanggaran HAM di masa lalu. Prabowo, mantan Komandan Kopassus, dituduh terlibat dalam pelanggaran HAM, termasuk dalam kerusuhan 1998 yang diwarnai penculikan, serta kekerasan di Timor Leste. Prabowo Subianto pernah ditolak masuk Amerika pada Maret 2014 ketika hendak menghadiri wisuda putranya. Larangan ini diterapkan di bawah pemerintahan Presiden Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama.
Menurut Suzie Sudarman, sikap Joe Biden terkait Prabowo Subianto yang dikaitkan dengan persoalan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu, tergantung pada sikap Kongres AS. "(Sikap) Kongres itu bagaimana perasaannya terhadap isu-isu lama yang masih menggantung, seperti isu Pak Prabowo dan sebagainya," ujar Suzie melalui sambungan telepon.
Dia menganalisa, terpilihnya Joe Biden sebagai presiden dan kenyataan bahwa Senat dan Kongres AS saat ini didominasi oleh Partai Demokrat, akan melahirkan pertimbangan-pertimbangan berbeda yang akan mempengaruhi arah kebijakan luar negeri AS. "Kalau Partai Demokrat itu power and principles. Jadi principlesnya penting. Principles itu misalnya adalah hak asasi atau demokratisasi, dan sebagainya. Ini yang sebetulnya menjadi permasalahan utama. Kalau sebelumnya Donald Trump diiringi oleh senat yang konservatif, sekarang senat dan kongres di tangan Partai Demokrat. Apakah akan merujuk ke kebijakan lama atau tidak dalam meng-OK-kan pembelian alutsista. Ataukah Amerika masih membutuhkan dana-dana, sehingga alutsista aka dijual kepada siapapun juga - itu akan menjadi masalah," ujar Suzie.
AS sebelumnya menerapkan embargo militer terhadap Indonesia pada 1999-2005 atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh TNI di Timor Leste.
'AS membutuhkan Indonesia di kawasan Asia Tenggara'
Meski demikian, Direktur Amerika 1 di Kemlu, Zelda Wulan Kartika, mengatakan posisi Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan tidak akan berpengaruh terhadap kerja sama pertahanan dengan AS. Sebab, Indonesia dipandang oleh AS sebagai mitra strategis, katanya. "Jadi AS itu memandang Indonesia sebagai suatu mitra strategis di kawasan. Mereka itu membutuhkan adanya Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Kenapa? Bukan cuma karena Indonesia ini besar secara luas wilayah dan populasi, tapi karena juga letak strategis kita dan peran kita di ASEAN," jelas Zelda.
"Jadi, mau tidak mau, memang harus diakui ASEAN, Indonesia itu punya peran besar di ASEAN dan di kawasan Asia Tenggara. Jadi ini sangat dianggap oleh mereka. Apalagi mereka itu juga ada rivalitas dengan Tiongkok, misalnya. Jadi mereka tahu bahwa Tiongkok ini juga memandang Indonesia sebagai negara yang strategis dan berpengaruh di ASEAN. Jadi Tiongkok punya hubungan baik dengan Indonesia, AS juga," paparnya.
Menurut, Suzie Sudarman, ketua Kajian AS di UI, bagi AS, rencana kerja sama Indonesia-AS dalam pengadaan alutsista "bisa tetap berjalan", walaupun ada pergantian pemerintahan dari Trump ke Biden. Meski demikian, Suzie meminta pemerintah Indonesia perlu "berhati-hati" dalam merealisasikan berbagai kesepakatan dengan pemerintah AS terkait alutsista. Dia meminta pemerintahan Joko Widodo harus melakukannya dengan "tepat". "Mereka dananya (AS) masih ada untuk mengungkit Papua, mengungkit masalah-masalah Timor Timur, masalah macam-macam yang bisa kita perhatikan," kata Suzie.
"Tapi orang pemerintahnya apa cukup mawas diri bahwa logika Amerika adalah America's business is business? Jadi hadapi dengan cara yang benar," tegasnya. (*)
Tags : Kerjasama Pertahanan Amerika Serikat dan Indonesia, Tergantung Sikap Kongres dan Senat AS,