JAKARTA - Ketahanan pangan Indonesia dinilai lemah, lantaran produksi di dalam negeri tidak sanggup menutup semua kebutuhan. Akibatnya, impor pangan terjadi hampir setiap tahun.
Bahkan, impor pangan membengkak begitu terjadi lonjakan harga di pasar domestik. Contohnya, tahun ini, pemerintah memutuskan mengimpor beras sebanyak 3,5 juta ton, tertinggi sejak krisis moneter 1997, demi meredam lonjakan harga komoditas tersebut. Jumlah itu naik tajam dibandingkan 2022 sebanyak 429 ribu ton.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), September 2023, rata-rata harga beras kualitas premium di penggilingan mencapai Rp 12.900 per kilogram (kg), naik sebesar 9,75% dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 12.685 per kg atau naik sebesar 10,55%, sedangkan rata-rata harga beras luar kualitas di penggilingan Rp 11.746 per kg atau naik sebesar 11,59%.
September 2023, rata-rata harga beras di penggilingan untuk kualitas premium, medium, dan luar kualitas naik masing-masing 25,83%, 29,64%, dan 24,09% dibanding periode yang sama September 2022. Selanjutnya, pada minggu pertama Oktober 2023, terdapat 276 kabupaten/kota di Indonesia yang mengalami kenaikan harga beras, turun dibandingkan minggu keempat September 2023 sebanyak 297.
Dari jumlah itu, terjadi kenaikan harga beras yang cukup signifikan di 138 kabupaten/kota. BPS juga melaporkan, rata-rata harga semua jenis beras pada minggu pertama Oktober 2023 mencapai Rp 13.674 per kg, melambung dibandingkan minggu pertama September 2023 yang masih di bawah Rp 11.900 per kg.
Indonesia tak hanya mengimpor beras, melainkan komoditas pangan lainnya. Sebut saja kedelai, jagung, hingga gula.
Di sisi lain, merujuk laporan Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022, indeks ketahanan pangan Singapura terbaik di Asean, yakni 73,1, disusul Malaysia 69,9, Vietnam 67,9, Indonesia 60,2, Thailand 60,1, Filipina 59,3, Myanmar 57,6, Kamboja 55,7, dan Laos 53,1.
Dari sembilan negara Asean yang disebutkan dalam laporan GFSI, hanya tiga negara yang nilai indeksnya berada di atas rata-rata indeks ketahanan pangan global maupun Asia Pasifik, yakni Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Adapun indeks enam negara lainnya, termasuk Indonesia dan Thailand, berada di bawah rata-rata indeks global maupun Asia Pasifik, masing-masing 62,2 dan 63,4.
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menuturkan, impor pangan dalam jumlah yang sangat signifikan jelas menandakan ketahanan pangan Indonesia lemah. Tahun ini, impor beras diproyeksikan mencapai 3,5 juta ton, melampaui tahun 2018 sebanyak 2,25 juta ton.
“Ini ironis. Sebab, tahun 2022 Indonesia menerima penghargaan internasional, lantaran dipandang mampu swasembada beras periode 2019-2021,” kata Yusuf di Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Faktanya, dia menuturkan, Indonesia hingga kini belum mampu swasembada beras. Kegagalan ini harus dibayar mahal oleh lemahnya ketahanan pangan nasional. Selama Indonesia tidak mampu swasembada beras, negara ini akan terus terekspor risiko impor.
Sebagai salah satu negara importir pangan terbesar di dunia, dia menyatakan, Indonesia juga selalu terekspos risiko politik proteksionisme pangan global. Indonesia sudah pernah mengalami hal itu saat krisis harga pangan global 2008. Kala itu, harga beras di pasar internasional melonjak tinggi, akibat gagal panen, spekulasi di pasar komoditas, dan politik pangan negara eksportir beras.
Dia mencatat, pasar beras internasional volumenya kecil, hanya sekitar 5-7% dari total produksi dunia. Dengan begini, sedikit guncangan di permintaan atau penawaran, akan membuat harga melonjak. Terlebih, pasar beras internasional ini didominasi hanya oleh segelintir negara eksportir, seperti Thailand, India, Vietnam, dan Pakistan.
“Krisis pangan 2008 harusnya menjadi pelajaran. Namun, hingga kini kondisi kita tidak banyak berubah, ketergantungan terhadap impor pangan masih sangat tinggi. Bahkan, impor beras 3,5 juta ton tahun ini akan menjadi yang tertinggi pascakrisis 1997,” kata Yusuf.
Dia menilai, kerentanan impor pangan menjadi lebih buruk, karena ketergantungan yang tinggi pada beberapa negara sumber impor. Pada 2022, Indonesia mengimpor 429 ribu ton beras, di mana 99% berasal dari hanya empat negara, yaitu India sebesar 41,6%, Thailand 18,7%, Vietnam 19,1%, dan Pakistan 19,7%.
Kerentanan pangan Indonesia, kta dia, tidak hanya dari beras, namun juga gandum. Di gandum, ketergantungan impor Indonesia mengkhawatirkan, karena tidak bisa memproduksi komoditas ini sama sekali. Sejak 2019, Indonesia tercatat sebagai importir gandum terbesar di dunia.
“Jadi ancaman pada ketahanan pangan kita tidak hanya dari politik proteksionisme pangan sebagaimana yang dilakukan eksportir beras seperti India, namun juga dari eksportir gandum seperti Ukraina yang terlibat perang dengan Rusia sejak tahun 2022,” kata dia.
Pada 2021, dia menerangkan, Indonesia mengimpor 11,2 juta ton gandum. Dari jumlah itu, sebesar 25,4% atau 2,8 juta ton berasal dari Ukraina. Pada 2022, impor gandum turun menjadi 9,4 juta ton dan hanya 1,8% atau 167 ribu ton yang berasal dari Ukraina.
Menghadapi krisis pangan, Yusuf menyatakan, tidak ada cara lain kecuali meningkatkan produksi dalam negeri, diikuti manajemen stok pangan yang lebih efisien. Ancaman terbesar di sini adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani, peternak dan nelayan.
Selain itu, dia menegaskan, kebijakan pemerintah justru seringkali tidak berpihak seperti membuka impor pangan di tengah panen raya dan terkini perubahan iklim semakin membuat petani terpuruk. Artinya, dibutuhkan keberpihakan kebijakan yang kuat, mulai dari kebijakan tata niaga yang kondusif bagi sektor pertanian, dukungan investasi pada infrastruktur pertanian, peternakan dan perikanan, serta reforma agraria dan aset.
Hal ini, demikian Yusuf, termasuk kebijakan diversifikasi pangan dan menumbuhkan budaya pangan lokal yang kini semakin tergerus oleh tren pangan asing.
Alih Fungsi Lahan
Di sisi lain, kekurangan pasokan beras saat ini, menurut Yusuf, dipicu alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif. Padahal, telah ada UU No. 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Namun, hingga kini, alih fungsi lahan sawah masih cenderung tidak terkendali, bahkan banyak disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN) seperti pembangunan jalan tol Trans Jawa.
Imbasnya, dia menerangkan, luas lahan baku sawah pada 2019 hanya 7,46 juta hektare (ha). Namun, angka ini diprediksi tidak valid saat ini. Ini menjelaskan mengapa produksi beras nasional cenderung terus melemah dalam lima tahun terakhir, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022.
Di delapan provinsi sentra beras nasional, yaitu Sumbar, Banten, Jabar, Jateng, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), luas lahan baku sawah (LBS) 2019 mencapai 3,97 juta ha. Namun, pada 2021, jumlah susut menjadi 3,84 juta ha sawah yang dapat ditetapkan menjadi lahan sawah yang dilindungi (LSD). Dengan kata lain, sebanyak 136 ribu ha sawah di delapan provinsi sentra beras tersebut diduga kuat telah mengalami konversi di sepanjang 2019-2021.
“Melindungi lahan sawah yang tersisa, terutama di Jawa, adalah kebijakan yang tidak bisa ditawar untuk ketahanan pangan di masa depan. Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, adalah kebijakan yang salah arah, mahal dan beresiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan kita,” tegas dia.
Selain itu, dia menegaskan, mempertahankan sawah dan mendorong usaha pertanian berbasis keluarga (family farming) di Jawa adalah krusial untuk memastikan ketahanan pangan nasional di masa depan, bukan dengan food estate yang mahal dan berisiko tinggi gagal.
Dia menyatakan, level produksi beras yang ideal berkisar 35-40 juta ton per tahun. Ini untuk keamanan konsumsi domestik sekitar 35 juta ton dan jika mampu menembus 40 juta ton, Indonesia berpotensi menjadi eksportir beras.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, ketahanan pangan Indonesia lemah. Padahal, seharusnya pemerintah bisa menciptakan kemandirian atau kedaulatan pangan.
Sebab, kata dia, di era 1980-an, Indonesia bisa mencapai swasembada beras dan mendapat penghargaan FAO. Hal ini bisa terulang, di mana kuncinya adalah good will untuk menciptakan kemandirian pangan
Faktanya, dia menuturkan, kerap terjadi hal yang tak menguntungkan industri pangan. Contohnya, ketika panen raya, pemerintah terkadang impor beras, dengan alasan untuk cadangan beras nasional.
Dia menilai, ada beberapa pemicu Indonesia tidak bisa swasembada pangan. Pertama, tidak ada anak petani yang mau jadi petani, karena petani identik dengan becek, miskin, dan dekil.
Selain itu, dia menyatakan, sarana prasana produksi pertanan sangat minim. Ini ditambah pupuk langka dan mahal, tidak ada inovasi untuk buat bibit unggul, misalnya, padi yang bisa ditanam di lahan kering dan basah, serta irigasi yang tidak diperhatikan lagi
Kemudian, dia menerangkan, petugas penyuluh lapangan kurang, sehingga tidak ada bimbingan teknis ke petani untuk meningkatkan produktivitas. Lalu, waktu tanam tidak sama, sehingga panen tidak serentak.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan, ketahanan pangan perlu terus dijaga agar dampak perubahan iklim dapat diatasi. Sektor keuangan dan moneter perlu mendukungnya karena menjaga ketahanan pangan membutuhkan dana yang besar.
"Saat ini ada ancaman perubahan iklim dengan terjadinya El Nino dan kemarau yang terjadi bisa mengancam krisis pangan. Contohnya harga beras yang semakin mahal, sehingga butuh terobosan darurat," kata Telisa di Kampus UI Depok, Rabu, dilansir dari Antara.
Dia menegaskan, saat ini, krisis beras kian menambah beban masyarakat. Daya beli yang berkurang tentunya dapat mengganggu pencapaian visi Indonesia 2045.
Stok Beras Aman
Di lain pihak, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan, pemerintah menjamin stok beras hingga akhir 2024 masih aman untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat.
"Kita tidak perlu khawatir, karena saat ini stok beras masih 1,6 juta ton dan didatangkan lagi 600 ribu ton. Pemerintah sudah untuk mendatangkan lagi 2 juta ton. Saya sudah keliling terus ke Papua, Makassar, NTT, dan hasilnya beras cukup," kata Mendag Zulkifli Hasan di Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu, dilansir Antara.
Menurut dia, harga beras yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dari Perum Bulog tidak lebih dari Rp 11 ribu per kg. Tetapi, harga beras jenis premium akan mengikuti harga pasar.
"Oleh karena itu, kami minta pemerintah daerah bisa menggerakkan Bulog agar ketersediaan dan suplai beras cukup karena apabila suplai berkurang maka harganya akan bergerak naik," kata dia.
Menurut dia, apabila kenaikan harga beras sudah mencapai di atas 5% dari harga eceran tertinggi (HET), pemerintah daerah dapat menganggarkan dari dana tidak terduga untuk membantu kelancaran penyaluran komoditas itu, seperti dari aspek transportasi dan subsidi harga agar normal kembali.
Zulkifli Hasan yang akrab disapa Zulhas mengatakan untuk menjaga stabilitas harga beras, pemerintah juga menyalurkan bantuan sosial berupa 10 kg beras kepada 21,5 juta penerima manfaat mulai September, Oktober, dan November 2023.
Kemudian, kata dia, pemerintah menggerakkan program pasar murah dengan menjual beras di bawah harga pasar yaitu Rp 10.900 per kilogram agar harga komoditas itu tidak melambung lagi.
"Kini, harga beras di Pulau Jawa mulai turun meski masih sedikit. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir karena stok beras masih ada 1,6 juta ton dan akan didatangkan lagi 2 juta ton," katanya.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal memastikan, Bulog siap menerima tambahan kuota penugasan impor dari pemerintah untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP) guna menstabilkan harga beras di pasaran.
“Pemerintah memang memberikan tambahan kuota penugasan impor kepada Perum Bulog sebanyak 1,5 juta ton, namun pelaksanaannya akan disesuaikan dengan kebutuhan penyaluran di dalam negeri,” kata Iqbal.
Fokus pemerintah saat ini, kata dia, adalah mempertahankan stabilitas harga beras di masyarakat. Oleh karena itu, Bulog akan melaksanakan penugasan tersebut secara maksimal demi kepentingan rakyat banyak, terlebih di tengah situasi saat ini yang menjelang musim tanam.
Dia menegaskan, kenaikan harga beras dikarenakan beberapa faktor, baik eksternal maupun internal dalam negeri, seperti bencana El Nino dan juga situasi dalam negeri yang menjelang musim tanam.
“Masyarakat jangan khawatir, pemerintah melalui Bulog menjamin kebutuhan beras tersedia di masyarakat dengan harga terjangkau walau di pasaran ada sedikit kenaikan harga. Kami melakukan pemantauan secara terus-menerus di tengah situasi saat ini agar tetap terkendali,” katanya pula.
Bulog telah menggelontorkan beras operasi pasar atau Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di seluruh Indonesia dengan jumlah total sebanyak 818 ribu ton. Kegiatan ini juga terus berlanjut digelontorkan sampai harga stabil.
Tak hanya itu, Bulog juga menyalurkan beras bantuan pangan untuk September, Oktober, dan November dengan jumlah total sebanyak 641 ribu ton kepada masyarakat kurang mampu di seluruh Indonesia.
Sementara itu, Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan menuturkan, pihaknya berbagi tugas dengan Perum Bulog dalam memenuhi cadangan pangan pemerintah (CPP). Detailnya, Bulog memegang tiga komoditas, yakni beras, jagung, dan kedelai, sedangkan ID Food sembilan, yakni minyak goreng, gula konsumsi, daging ungags, daging ruminansia, telur unggas, cabai, bawang mewah, bawang putih dan ikan.
Dia menyatakan, pemerintah sudah mengantisipasi ketersediaan pangan pada akhir 2023 dan awal 2024, dengan mengimpor 2 juta ton plus 1 juta ton beras. Ini juga sekaligus untuk mengantisipasi dampak kekeringan akibat El Nino.
“Intinya, usaha pemerintah di beras cukup masif untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga,” tegas Frans. (*)
Tags : ketahanan pangan, harga beras, bulog, El nino, impor beras, harga komoditas ,