"Beberapa aktivis semula mengutarakan keraguanya atas kinerja panitia khusus (pansus) dalam menangani konflik lahan yang sudah terjadi menahun di Riau"
onflik lahan di Riau masih tinggi, itu sebabnya Gubernur Riau Drs H Syamsuar MSi mendukung dibentuknya Panitia Khusus [Pansus] untuk menginventarisasi permasalahan sengketa lahan. Potret buram di sektor perkebunan kelapa sawit dan kehutanan itu telah menempatkan Riau sebagai provinsi peringkat pertama rawan konflik lahan di Indonesia.
Tetapi Koordinator Scale Up, Rawa el Almady, mengutarakan keraguanya atas kinerja panitia khusus (pansus) konflik lahan DPRD Riau. Rawa menyebut hasil pansus tersebut sudah bisa ditaksir sebelum pekerjaanya tuntas. Dia merinci ada sejumlah parameter yang bakal membuat kinerja pansus itu tidak akan optimal.
"Pertama dari durasi kerja pansus yang hanya enam bulan. Akan sulit menuntaskan konflik selama enam bulan," ujarnya didepan pers, Senin 22 November 2021 kemarin.
"Persoalan konflik di Bumi Lancang Kuning sudah menahun upaya penyelesaiannya tidak bisa dituntaskan dalam waktu singkat."
"Kasus tanah ulayat yang telah beralih fungsi menjadi usaha perkebunan yang sulit untuk dibereskan dalam waktu enam bulan. Parameter kedua adalah, urusan konflik yang tergolong teknis. Jadi jika pansus itu mencoba mengusut dari sisi teknis, akan sulit membayangkan konflik bisa tuntas dalam enam bulan. Sebab, DPRD itu bukan lembaga teknis, melainkan lembaga politik," kata Rawa el Almady, sebuah LSM lingkungan yang fokus memantau konflik sumber daya alam (SDA) di Provinsi Riau.
Pada tahun 2020 lembaga ini mencatat ada 31 konflik SDA yang melanda Provinsi Riau. Dari jumlah tersebut konflik yang mendera perkebunan sawit paling dominan. Tercatat, ada 26 kasus konflik yang berkaitan dengan tanaman komoditas unggulan Indonesia tersebut. Sisanya, konflik di ranah Hutan Tanaman Industri (HTI).
"Pansus konflik lahan DPRD Riau bisa melakukan pekerjaanya jika menjadikan kebijakan sebagai persoalan mendasar."
"Hanya saja kan ranah kebijakan juga belum dapat dituntaskan dalam waktu enam bulan. Sebagai lembaga politik masuk ke ranah kebijakan, tapi mencari kesamaan pandangan politik itu juga tidak mudah. Kalau misalkan gampang, maka revisi Perda Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau bisa selesai tahun ini," ucapnya.
Pansus konflik lahan dibentuk pada Senin 1 November 2021 yang diketuai oleh Politisi Partai Gerindra, Marwan Yohanis dan Wakil Ketua Robin Hutagalung (politisi PDI Perjuangan). Dibantu 13 anggota dewan lainnya dari lintas fraksi DPRD Riau. Diantaranya, Amyurlis, Yanti Komala Sari, Iwandi, Tumpal Hutabarat, Manahara Napitupulu, Suhaidi, Ardiansyah, Abdul Kasim, Sulaiman Mz, Mardianto Manan, Misliadi, Sardiono, dan Ali Rahmat Harahap.
Tetapi Marwan Yohanis menyadari terbatasnya waktu dalam mengurai konflik lahan di Riau. Lantas pihaknya menyaring konflik lahan yang akan dikerjakan.
"Tentu tidak semua konflik lahan yang akan kita urus, kalau tidak menyangkut masyarakat dengan perusahaan tidak kita tangani. Yang jelas semua surat yang sudah masuk ke DPRD terkait konflik lahan,akan kita jadikan pegangan," bebernya.
Marwan enggan merincikan perusahaan mana saja yang bakal menjadi objek kerja pansus. Kendati begitu ia memastikan PT Duta Palma dan PTPN V masuk dalam daftar.
Koordinator Scale Up, Rawa el Almady, mengutarakan keraguanya atas kinerja panitia khusus (pansus) konflik lahan DPRD Riau. Rawa menyebut hasil pansus tersebut sudah bisa ditaksir sebelum pekerjaanya tuntas. Dia merinci ada sejumlah parameter yang bakal membuat kinerja pansus itu tidak akan optimal.
"Pertama dari durasi kerja pansus yang hanya enam bulan. Akan sulit menuntaskan konflik selama enam bulan," ujarnya.
Rawa menyebut, persoalan konflik di Bumi Lancang Kuning sudah menahun. Untuk itu upaya penyelesaiannya tidak bisa dituntaskan dalam waktu singkat.
Pemerintah pusat juga diminta segera menyusun regulasi terkait pembentukan Unit Resolusi Konflik yang akuntabel dan transparan di daerah.
"Kebijakan terkait penyelesaian konflik dapat digunakan sebagai salah satu indikator kinerja bupati dan wali kota dalam pelayanan publik," kata Rawa.
Hal itu terkait masih tingginya jumlah konflik lahan di Riau sepanjang 2016-2018 yang mencapai 185 kasus dengan luas lahan sengketa sekitar 283.277 hektare (ha).
Data itu berdasarkan laporan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2017. Adapun, mayoritas penyelesaian konflik di beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Riau pada periode 2016-2018 selalu diselesaikan oleh pemerintah pusat.
"Ini menunjukan lemahnya kreativitas dan kapasitas pemerintah daerah dalam menangani konflik yang terjadi di wilayahnya walaupun harus diakui ada hambatan otoritas penanganan konflik karena terbatasnya regulasi terkait hal tersebut," ungkap Rawa.
Scale Up, kata dia, mendorong pemerintah pusat untuk segera menyusun regulasi terkait pembentukan Unit Resolusi Konflik yang akuntabel dan transparan di setiap daerah di Indonesia. Terutama di kawasan perkebunan dan kehutanan di Provinsi Riau.
"Ranah konflik ini menjadi ranah kebijakan. Selama ini pemerintah daerah, kabupaten dan provinsi belum menjadikannya kebijakan. Segalanya diserahkan ke pusat. Hampir seluruh pengaduan konflik disampaikan ke pusat, KLHK. Sementara Dinas Kehutanan belum mempunyai suatu sistem menangani konflik," jelas Rawa.
Scale up telah menyelesaikan 17 kasus konflik lahan di Riau. Seluruh kasus konflik itu terselesaikan dengan baik lewat pendekatan mediasi dan negosiasi.
"Semua akhirnya menjadi saudara. Namun apabila menyangkut perizinan dan tapal batas, kami serahkan kepada pengadilan dan lembaga hukum terkait agar tuntas," ujar Rawa mengungkapkan.
Scale up ingin ada unit akuntabel transparan menangani konflik yang berisikan multistakeholder dari birokrasi, seluruh perusahaan, instansi hukum, NGO dan masyarakat.
"Sehingga masyarakat bisa menilai kinerja pemerintah daerah dalam kemampuan menyelesaikan konflik lahan sendiri," jelas Rawa.
Dari luas konflik lahan di Riau selama 3 tahun terakhir yakni 283.277 ha, Kabupaten Bengkalis adalah kabupaten yang memiliki konflik lahan paling tinggi mencapai 83.121 ha. Di urutan kedua adalah Kabupaten Siak dengan 70.320 ha, Pelalawan 52.091 ha, Indragiri Hilir 44.732 ha, dan Kampar 36.016 ha.
"Segalanya diserahkan ke pusat. Hampir seluruh pengaduan konflik disampaikan ke pusat, KLHK."
"Sementara Dinas Kehutanan belum mempunyai suatu sistem menangani konflik," jelas Rawa.
Rawa mengungkapkan, Scale up ingin ada unit akuntabel transparan menangani konflik yang berisikan multistakeholder dari birokrasi, seluruh perusahaan, instansi hukum, NGO dan masyarakat.
"Sehingga masyarakat bisa menilai kinerja pemerintah daerah dalam kemampuan menyelesaikan konflik lahan sendiri," jelas Rawa.
Tetapi dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, 241 konflik agraria pecah sepanjang 2020. Perkebunan merupakan sektor dengan letusan konflik terbanyak.
Sektor tersebut mengalami 122 konflik, dengan 101 konflik di antaranya bermasalah dengan perkebunan kelapa sawit. Jumlah tersebut meningkat 28% dari tahun lalu. KPA menilai konflik agraria di perkebunan sepanjang 2020 adalah anomali. Semestinya angkanya menurun karena ekonomi sedang lesu yang berdampak pada rendahnya investasi dan ekspansi bisnis.
Sektor dengan konflik terbesar kedua adalah kehutanan. Ada 41 konflik yang terjadi pada 2020. Persoalan didominasi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga 34 konflik, ditambah dengan enam konflik hutan lindung (6 konflik), dan satu konflik dengan perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Proyek infrastruktur turut menimbulkan 30 konflik. Angka tersebut menurun dibanding 2019 yang menyumbang 83 konflik. Konflik 2020 banyak disumbang proyek strategis nasional (PSN) dan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) sebanyak 17 konflik.
KPA melihat selama ini pemerintah daerah, kabupaten dan provinsi belum menjadikannya kebijakan untuk menyelesaiakn ranah konflik.
Gubernur mendukung pembentukan Pansus
Sebelumnya, Gubernur Riau, Syamsuar mendukung dibentuknya Panitia Khusus [Pansus] DPRD Riau dan kerjanya mengatasi tentang konflik lahan masyarakat dengan perusahaan di Provinsi Riau.
"Gubri berharap konflik lahan di Provinsi Riau dapat segera diselesaikan dengan baik."
"Kami tentunya ini menyambut baik ya, kesepakatan dewan untuk membentuk pansus penyelesaian masalah konflik lahan, dan kami dari pemerintah turut mendukung," katanya, di DPRD Riau.
Gubri juga menyampaikan bahwa atas nama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau juga mensupport pembentukan pansus ini.
"Ini merupakan tugas bersama antara Pemprov Riau dan DPRD."
"Kita tahu juga komisi II DPR RI juga sudah ada pansus yang mengurus ini (konflik lahan)," ucapnya.
Gubri mengungkapkan perlu sinergitas semua stakeholder agar titik persoalan terkait konflik lahan dapat diselesaikan dengan baik.
Penyelesaian konflik lahan ini menjadi perhatian karena berdasarkan data dari Komisi II DPR RI konflik lahan paling banyak terdapat di Riau, kata Gubernur Syamsuar.
"Komisi II itu sampaikan kepada saya konflik lahan yang paling banyak di Riau. Oleh karena itu, Komisi II datang kesini (berkunjung ke Riau)," lanjut Gubri.
Kunjungan Komisi II DPR RI itu, jelas Gubri untuk memberikan solusi terhadap konflik lahan masyarakat masyarakat dengan perusahaan di Provinsi Riau, agar konflik ini secara bertahap dapat diselesaikan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Sengketa Lahan DPRD Riau, Marwan Yohanis
Sementara Ketua Panitia Khusus (Pansus) Sengketa Lahan DPRD Riau, Marwan Yohanis mengaku pihaknya sudah mulai bergerak melakukan menginventarisasi permasalahan sengketa lahan dalam dua bulan kedepan.
"Pansus mendata klaster dan kriteria konflik termasuk konflik antara masyarakat dan korporasi."
"Tugas Kami membuat klaster, kriteria konflik yang ada. Setelah itu, kita undang pihak-pihak yang kita butuhkan keterangannya. Akhir tahun ini kita sudah harus kantongi data dan susun prioritas," jelas Marwan.
"Pansus konflik lahan ini berbeda dengan pansus monitoring dan evaluasi lahan yang pada periode 2014-2019 sudah dibentuk."
Pansus monitoring dan evaluasi tersebut dikatakan Marwan hanya mendata saja. "Ini beda, kalau kemarin kan pansus monitoring dan evaluasi. Tapi nanti akan kita gunakan datanya. Mereka punya datanya, tapi sebatas rekomendasi. Nanti diserahkan ke eksekutif," jelasnya.
Sesuai aturan, pansus ini hanya diproyeksikan enam bulan, sehingga tidak mungkin menyelesaikan seluruhnya.
Marwan menyebut terpenting memberi role model bagaimana penyelesaian lahan seharusnya dilakukan.
"Ada yang sudah lama dan tidak tuntas atau yang baru tapi dampak sosialnya luar biasa. Ini akan kita jadikan prioritas, kita akan selesaikan dulu terutama sebab-sebab penyebab konflik," ungkapnya.
Marwan menegaskan, pansus ini perlu dilakukan untuk memastikan investasi yang dilakukan melalui perusahaan-perusahaan tak membawa dampak buruk bagi masyarakat.
"Spirit pembentukan pansus ini agar pembangunan yang kita lakukan aman dan nyaman bagi kita semua. Bagaimana investasi bisa membawa dampak positif bagi kita," terangnya.
19 Perusahaan dipanggil
Pansus telah menuntaskan 19 laporan masyarakat terkait penyelesaian konflik lahan masyarakat dan perusahaan.
"Sebenarnya ada 39 laporan yang masuk kepada kita. Namun, berdasarkan analisa, kita menilai hanya 19 laporan yang akan ditindaklanjuti," kata Ketua Pansus Konflik Lahan DPRD Riau Marwan Yohanis menambahkan.
19 perusahaan kini sebagai terlapor. Pansus juga akan memanggil dinas terkait baik dari Pemprov Riau sebagai mitra DPRD maupun pemerintah kabupaten/kota yang daerahnya tempat terjadinya konflik lahan.
"Jadi hari ini kami tadi mendengarkan keterangan dari lima pelapor yang sebelumnya tak hadir saat pemanggilan. Kelima pelapor tersebut dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Indragiri Hulu (Inhu), Siak, Rokan Hilir (Rohil) dan Pelalawan," kata Marwan saat konferensi pers di Gedung DPRD Riau, Kamis (13/1/2022).
Selanjutnya Pansus akan mendengarkan keterangan secara langsung dari seluruh pihak yang akan dimulai pada 17 hingga 26 Januari 2022. Agenda dengar pendapat seluruh pihak tersebut akan dilakukan bergantian per kabupaten.
"Untuk Senin depan 17 Januari pagi kami bersama masyarakat yang melapor dari Kenegerian Sibarakun, Kenegerian Kotorajo, Kuantan Hilir Seberang, dan Kenegerian Kopah. Nah ini menyangkut PT Duta Palma Nusantara (DPN), makanya kami undang Bupati Kuansing beserta dinasnya, juga dari Pemprov Riau seperti Dinas LHK Riau, Dinas Perkebunan Riau," tutur politisi Gerindra ini.
Adapun tenggat kerja Pansus menyelesaikan masalah ini selama enam bulan terhitung November 2021 hingga April 2022 mendatang. Dan saat ini kerja Pansus sudah berjalan tiga bulan.
Untuk agenda audiensi semua pihak ditargetkan tuntas Januari ini. Dan pada Februari Pansus rencananya melakukan tinjauan lapangan.
Tak hanya itu, dalam menyelesaikan masalah ini Pansus juga akan mempelajari daerah yang berhasil menyelesaikan konflik lahan sebagai referensi.
"Jadi, pada bulan April 2022 nanti kita sudah harus mengeluarkan rekomendasi di sidang paripurna," katanya.
Sebelumnya Pansus DPRD Riau telah menerima 33 laporan konflik lahan ini. Marwan Yohanis mengaku telah menerima 33 surat masuk soal sengketa lahan yang terjadi. Ia menuturkan pada tahap awal laporan tersebut akan diinventarisasi berdasarkan klaster sebelum ditindaklanjuti.
Marwan menyatakan sebanyak 33 laporan konflik lahan itu berasal dari surat yang dikirimkan masyarakat di hampir seluruh kabupaten/kota di Riau. Ia menilai laporan ini menandakan bahwa konflik agraria yang menyebabkan perseteruan masyarakat dengan perusahaan cukup tinggi tanpa disertai penyelesaian yang tepat.
Mekanisme kerja pansus, kata dia, adalah setelah memetakan konflik akan memanggil pelapor dan instansi berwenang untuk menelusuri duduk perkara dan mencarikan solusi.
"Hampir di seluruh wilayah di Riau ada konflik (lahan). Makanya kami telaah terlebih dahulu. Baru setelah itu undang pelapor dan pihak terkait untuk menelusuri kasus ini sampai pada upaya dan solusi yang diberikan," sebutnya.
Pansus DPRD Riau ditargetkan bekerja selama 6 bulan untuk menyelesaikan konflik lahan. Hasil dari kerja pansus akan melahirkan rekomendasi. Diharapkan melalui rekomendasi pansus akan menjadi langkah kongkret untuk mengurai konflik lahan yang memicu bentrokan korporasi dengan masyarakat di Riau.
"Kami lihat tingkat kesalahannya seperti apa. Nanti setelah rekomendasi ini keluar, kami akan mengawal hasil rekomendasi ini untuk ditindaklanjuti oleh pihak eksekutif," kata Marwan soal konflik lahan di Riau ini. (*)
Tags : Konflik Lahan, DPRD Riau, Panitia Khusus, Sorotan, Konflik Agraria,