Sejarah   11-04-2025 17:35 WIB

Kisah Heroik Legenda Kopassus Pratu Suparlan Hadapi Ratusan Musuh di Belantara Timor Timur

Kisah Heroik Legenda Kopassus Pratu Suparlan Hadapi Ratusan Musuh di Belantara Timor Timur
Kisah Heroik Legenda Kopassus Pratu Suparlan

DI TENGAH kepungan ratusan senapan musuh, satu nama bangkit dan menolak mundur.

Dia adalah anggota pasukan elite Kopassandha yang sekarang menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Pratu Suparlan.

Dia merupakan simbol keberanian tanpa syarat, sang martir dalam pertempuran berdarah di Timor Timur. Seorang diri, ia menahan gelombang musuh demi menyelamatkan pasukan yang nyaris hancur total.

Kisah ini adalah potongan sejarah yang tercetak dengan darah dan kehormatan.

Pada tahun 1975, dunia bergejolak. Revolusi Bunga mengguncang Portugal, melemahkan cengkeraman kolonial mereka di Timor Timur.

Di saat kekosongan itu, muncul kekuatan baru, yakni Fretilin-kelompok separatis berhaluan kiri yang mengangkat senjata. Warga yang pro-integrasi dengan Indonesia menjadi sasaran. Puluhan ribu nyawa sipil melayang. Indonesia tak tinggal diam.

Pasukan elite gabungan kemudian dibentuk. Sembilan prajurit TNI terbaik, termasuk Pratu Suparlan, diturunkan ke zona paling berbahaya, yakni pedalaman Hutan Larose pada 9 Januari 1983. Lima prajurit berasal dari Kopassandha, dan empat prajurit dari Kostrad. Pasukan elite ini dipimpin oleh Letnan Poniman.

Di lokasi ini, Fretilin menguasai penuh dengan berbagai senjata dan strategi gerilya.

Pertempuran Maut di Tengah Hutan Misi awal berjalan lancar. Mereka berhasil menyergap pos pengamatan musuh. Tapi tak butuh waktu lama sebelum bencana datang.

Dikutip dari Majalah Baret Merah edisi April 2014, kala itu Pratu Suparlan menghadang lebih dari ratusan pasukan Fretelin saat berpatroli di KV 34-34/Komplek Liasidi yang merupakan sarang pemberontak Fretelin yang terkenal sadis dan kejam.

Awalnya dari balik pepohonan, 300 lebih pasukan Fretilin muncul, mengepung dari segala arah. Mereka membawa mortar, GLM, dan senapan serbu.

Jumlah pasukan tak seimbang. Posisi pasukan TNI terjepit di bibir jurang. Satu demi satu rekan Pratu Suparlan tumbang.

Peluru datang dari segala arah. Sementara musuh terus mendesak, hanya ada satu pilihan, yakni mundur atau musnah. Letnan Poniman, sang komandan, memerintahkan pasukan mundur lewat celah bukit. Tapi itu butuh waktu.

Jika tak ada yang menahan serangan, tak satu pun akan selamat. Tanpa ragu, Pratu Suparlan angkat tangan.

“Biar saya yang tahan mereka,” katanya.

Dengan senapan mesin otomatis FN di tangan yang ia ambil dari tubuh rekannya yang gugur, Suparlan maju ke garis depan.

Peluru menembus tubuhnya. Tapi ia tak berhenti. Dia seperti banteng terluka. Berlari ke arah musuh. Menembak. Menabrak. Bertarung.

Ketika peluru habis, dia tak lari. Dia cabut pisau. Bertarung satu lawan satu di semak-semak. Enam anggota Fretilin tumbang di tangannya. Hingga akhirnya, tubuhnya mulai menyerah.

Tenaga habis. Darah mengucur deras. Tapi tekadnya masih hidup. Dengan sisa napas terakhir, ia mengeluarkan dua granat dari saku. Menarik pin.

Berteriak: “Allahu Akbar!” Dentuman keras mengguncang hutan. Puluhan pasukan Fretilin ikut roboh bersamanya.

Pengorbanan Abadi Tak Terlupakan Dari sembilan prajurit, enam gugur. Tapi berkat pengorbanan Pratu Suparlan, sebagian berhasil lolos. Dan dari pihak Fretilin, 83 orang tewas. Satu perlawanan terakhir yang berhasil membalik keadaan.

Jasad Pratu Suparlan ditemukan dalam kondisi mengenaskan, tak utuh. Tapi semangatnya tetap utuh, hidup dalam setiap langkah prajurit Kopassus hingga hari ini.

Pemerintah menganugerahkan Bintang Sakti sebagai bentuk penghargaan tertinggi. Dan untuk mengenang jasanya, nama Pratu Suparlan kini diabadikan sebagai nama landasan udara di Pusdiklatpassus, Batujajar, Bandung Barat.
Landasan pacu sepanjang 1.652 meter itu jadi tempat para prajurit elite berlatih, berlari di atas aspal yang mengabadikan nama seorang prajurit yang rela berlari menuju maut demi kawan-kawannya. (*)

Tags : kopassus, aksi heroik, korps baret merah, pasukan elite, tni,