BERMODAL upah mengosek kamar mandi, meminjam uang dagang nasi uduk orang tua, hingga menyisihkan Rp10.000 per hari dari berjualan sabun, sejumlah individu dari kalangan masyarakat miskin kota bertarung memperebutkan kursi legislatif dalam Pemilu 2024.
Mereka yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT), supir angkot, penjual sabun keliling, dan tukang mi ayam ini mencoba memikat pemilih - pada saat masyarakat miskin kota, menurut pengamat politik, kadung terbiasa menerima ‘hadiah’ dari para calon legislatif (caleg) saat berkampanye.
Dengan berbekal dana Rp1 juta hingga Rp6 juta, mereka tetap menyimpan asa untuk menang, walau itu bukan jadi tujuan utama.
Angka ini tentu tak sebanding dengan besarnya dana yang dikeluarkan oleh para caleg pada umumnya.
Dalam sebuah riset, biaya yang dikeluarkan seorang caleg pada pemilu-pemilu sebelumnya berkisar dari Rp250 juta hingga Rp2 miliar.
Mereka berharap partisipasi kelompok miskin dalam hajatan akbar demokrasi dapat menginspirasi dan menciptakan kehidupan politik yang inklusif. Bukan hanya dimiliki oleh kelompok berduit, tapi juga dari kelas menengah ke bawah.
Pengamat politik menilai kans kelompok miskin kota untuk menang dalam kontestasi politik relatif kecil di tengah mahalnya biaya politik di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh model pencalonan dan kampanye yang kandidat sentris – setiap calon berjuang seorang diri, baik itu dari biaya hingga kampanye.
Lalu, bagaimana para caleg miskin itu menyiasati biaya politik yang tinggi dan tantangan apa saja yang mereka hadapi saat berkampanye?
Lihat lah seperti dialami Lestareno, supir angkot di Purwakarta.
Dari Jakarta, saya menuju Purwakarta di Jawa Barat demi bertemu seorang supir angkot yang menjadi caleg DPRD Purwakarta nomor urut empat, Lestareno Septiano Basariasis.
Pria berusia 41 tahun yang biasa dipanggil Ompong oleh teman-temannya itu mengajak saya berkeliling dengan mobil angkot 02 jurusan Simpang-Sadang, yang dia beli dari uang pensiun dini usai bekerja di pabrik.
Di mobilnya, terpasang beberapa stiker kampanye wajahnya bersama caleg lain.
Saat kami berbincang, seorang penumpang bernama Sigit Prabowo, pedagang makanan di sekolah, menghentikan mobilnya.
Di tengah perjalanan, Lestareno lalu berbincang dengan Sigit.
“Mas, nanti pilih saya ya, nomor urut empat. Saya caleg DPRD Purwakarta dari Partai Buruh,” kata Lestareno yang telah menjadi supir selama tiga tahun terakhir.
Mendengar itu, Sigit terperanjat karena supir angkot yang ditumpangi adalah seorang caleg.
“Baru pertama kali dengar ada supir angkot jadi caleg. Biasanya caleg orang kaya, berduit, ini supir angkot jadi caleg,” katanya.
Di sepanjang perjalanan, mereka pun saling berdiskusi tentang masalah yang dihadapi kelompok miskin kota, mulai dari jaminan kesehatan, hingga bantuan sosial lain.
Sebelum turun dari angkot, Sigit mengatakan, “Harapan saya nanti kalau jadi, jangan lupa pada masyarakat bawah, jangan seperti caleg sebelumnya yang lupa, dan janjinya meleset terus.”
Kami lalu berhenti di sebuah terminal di Purwakarta sambil menunggu penumpang. Setengah jam berlalu, penumpang yang kami nanti tak kunjung datang.
Pendapatan supir angkot yang semakin sedikit menjadi salah satu motivasi Lestareno menjadi caleg.
“Saya pernah keluar dari subuh sampai malam hanya dapat Rp17.000. Kini, penumpang sedikit, bensin mahal, dan servis mobil semakin tinggi,” katanya.
Bahkan, dia kerap berutang ke warung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Itu karena belum ada kebijakan yang memotivasi masyarakat untuk menggunakan transportasi massal,” katanya.
Selama kampanye, Lestareno telah mengeluarkan uang pribadi sebesar Rp6 juta.
“Saya ini caleg miskin. Untuk kampanye, saya sampai pinjam uang dagangan nasi uduk ibu, sampai dia tidak dagang dua hari,” katanya.
Lestareno juga mengaku tidak memiliki tim sukses karena keterbatasan biaya. Hanya ada beberapa teman yang membantunya secara sukarela untuk berkampanye.
Tantangan lain yang sempat dihadapi Lestareno adalah penolakan dari keluarga.
“Kerja tidak bawa uang, waktu habis tersita ke politik, lalu di rumah berantem sama istri,” aku Lestareno, seraya menambahkan bahwa ia mendapat gunjingan negatif dari lingkungan terdekatnya.
Tapi yang menjadi mimpi buruk buat dirinya adalah ketika warga meminta uang.
Istrinya, Neng Solihah mengaku sempat tidak mendukung Lestareno menjadi caleg karena menguras biaya.
“Sempat berantem karena belum menerima, sekarang terserah dia saja, yang penting keluarga aman. Jangan sampai utang dan keluarga berantakan. Menang kalah juga alhamdulillah saja lah,” katanya.
Setuju dengan istrinya, Lestareno mengatakan menang atau kalah adalah urusan belakangan karena yang terpenting baginya adalah mencoba dan belajar dari pengalaman.
“Tidak kapok, akan terus mencoba. Kalau tidak diberi kesempatan 2024 mungkin saya realisasikan di 2029, saya akan belajar dari kekurangan,” ujarnya.
Juli Basaroni, tukang mie ayam di Karawang: ‘Total uang keluar Rp1,5 juta’
Saya kemudian bertemu dengan Juli Basaroni, 42 tahun, pedagang mie ayam keliling yang menjadi caleg DPRD Karawang, nomor urut terakhir, yaitu sebelas.
Juli yang memiliki empat anak sempat bekerja sebagai buruh pabrik sampai akhirnya dipecat secara sepihak oleh perusahaan pada tahun 2012.
Usai di-PHK, dia silih berganti profesi. Mulai dari pedagang kelontong, pecel lele, hingga akhirnya kini berjualan mie ayam dengan pendapatan rata-rata Rp100.000 per hari.
“Saya masuk kategori masyarakat miskin kota. Keluarga saya terdaftar dalam bantuan masyarakat tidak mampu. Saya bisa disebut caleg miskin,” katanya.
Selama menjadi caleg, Juli mengaku telah menghabiskan uang sebesar Rp1,5 juta, untuk proses pengurusan adminstrasi hingga kampanye.
“Kadang saya berpikir, makan saja terbatas, saya mau jadi calon, apalagi saya melawan namanya politik uang. Walau kita tidak pakai politik uang, tapi segala sesuatu butuh uang,” katanya.
Untuk mengakali biaya APK, Juli mengaku mendapat bantuan dari caleg lain tingkat DPR RI dan DPRD provinsi.
“Jadi pamflet, stiker dan banner-nya itu tim, dari caleg Partai Buruh di pusat dan provinsi. Kami saling berkolaborasi dalam kampanye,” katanya.
Juli pun memasang gerobak mie ayam dengan stiker sehingga saat berdagang dia bisa sambil berkampanye.
“Ada beberapa yang beli [mie ayam] bilang, ini foto bapak? Kaget mereka, memang bisa tukang mie ayam jadi caleg. Ini buktinya saya bisa, artinya tidak pakai uang ya,” kenang Juli.
“Ada juga yang bilang sok-sokan, dagang mie ayam mau jadi calon, tapi saya meyakini ini adalah proses,” katanya.
Selain itu, Juli juga berkampanye dengan mengunjungi rumah demi rumah di dapilnya.
Saya mengikuti kegiatan Juli saat dia membagikan brosur dan kaos di dekat rumahnya.
“Permisi, saya pedagang mie ayam. Saya jadi caleg, saya minta doa dan dukungannya ya. Kalau ada butuh bantuan jaminan kesehatan seperti BPJS menunggak dan pelayanan kesehatan lain, bisa hubungi saya, gratis,” katanya.
Mendengar itu, seorang perempuan mengatakan, “Mudah-mudahan sukses dan jadi wakil rakyat yang amanah.”
Sementara seorang warga lain cenderung acuh.
“Tidak tahu dia [Juli] mah, tidak menyebar [kampanye]. Saya kurang tahu juga [untuk memilih Juli]. Yang dipilih juga begitu, cuma janji-janji doang, diminta tolong susah."
“Kalau sudah jadi, yang diangkat orang-orang dia juga. Kalau sekarang janji ini itu, giliran yang dapat, orangnya dia juga. Orang kita mana, tidak dapat,” katanya dengan nada pesimis.
Namun, di tengah pesimisme calon pemilih dan keterbatasan modal yang dimiliki, Juli tetap berharap dapat menang.
“Saya potensi menang 75-80% walau secara data baru terkumpul 150 orang yang sudah meyakinkan [untuk memilih]. Tapi orang yang saya sosialisasi sudah banyak,” tutupnya.
Yuni, PRT di Jakarta: ‘Kampanye dari mengosek WC’
Menyusuri gang sempit yang hanya dapat dilewati sepeda motor di wilayah Cipete Utara, Jakarta Selatan, saya tiba di rumah Yuni Sri Rahayu, seorang PRT yang menjadi caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta nomor urut empat.
Di rumah kontrakan yang disewa dengan harga Rp1,2 juta per bulan itu, Yuni tinggal bersama dengan keempat anaknya.
Di ruang utama – dengan kamar tidur dan ruang tamu hanya disekat lemari – Yuni menceritakan perjalanan hidupnya dari menjadi PRT sejak tahun 2008 hingga kini dia menjadi seorang caleg.
Diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan verbal dan ekonomi, pernah dialami Yuni.
Kendati begitu, dia mengaku bersyukur atas kondisi hidupnya saat ini. PRT lain, katanya, kerap mengalami kondisi lebih buruk.
Seorang diri menghidupi keempat anaknya, Yuni kini bekerja di tiga orang majikan dengan penghasilan kira-kira Rp5 juta per bulan.
Yuni lalu mendapat penugasan dari organisasinya, Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi, untuk menjadi caleg melalui Partai Buruh.
“Waktu dicalonkan, aku bersikeras tidak mau. Aku didesak untuk mengisi kekosongan suara 30% perempuan. Dari situ akhirnya mau tidak mau coba dulu karena cuma mengisi kekosongan dan ada tes juga. Jadi belum tentu lolos,” tutur Yuni
Satu demi satu proses pendaftaran dilewati hingga akhirnya Yuni menjadi daftar calon tetap (DCT).
Kehidupan PRT yang jauh dari layak dan rawan mengalami kekerasan menjadi pijakan bagi Yuni untuk terus melangkah, kendati dia kerap diselimuti rasa tidak percaya diri karena bersaing dengan calon-calon yang memiliki amunisi dana, popularitas, jaringan sosial di masyarakat, hingga gempuran politik uang.
“Harus ada perwakilan dari PRT yang menjadi anggota dewan sehingga bisa turun andil mengambil kebijakan kami para PRT,” kata Yuni.
Yuni – yang menyebut dirinya sebagai caleg duafa atau miskin kota – juga mengalami hambatan saat berkampanye.
“Di wilayah sendiri saja aku tidak boleh bersosialisasi dengan alasan yang tidak masuk akal. Mungkin karena tidak bermodal, aku pun bukan orang sini asli, istilahnya pendatang. Diskriminasi kependudukan saya alami,” katanya tanpa menjelaskan lebih rinci.
Selain itu, Yuni mengatakan hanya mampu mengalokasikan dana Rp1,5 juta untuk kampanye, dengan menyisihkan pengeluaran untuk kebutuhan keluarga yang juga harus dipenuhi.
“Dana kampanye aku sisihkan dari upah. Kasarnya dari hasil saya mengosek [bersihkan] WC,” katanya.
Usai berbincang di rumahnya, Yuni mengajak saya untuk mengikutinya berkampanye.
Dengan mengendarai sepeda motornya, Yuni mendatangi rumah seorang teman di Terogong, Cilandak. Di sana, ada sejumlah PRT dan ibu rumah tangga (IRT) yang telah berkumpul.
Di hadapan mereka, Yuni menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki dana untuk dibagi-bagikan, namun menegaskan bahwa misinya maju sebagai caleg adalah demi keterwakilan perempuan dalam politik.
“Saya minta dukungan dari kawan-kawan supaya ada perwakilan perempuan, dan dari PRT bisa masuk [parlemen]. Saya tidak ada pelicin, tapi jika ada masalah kami siap advokasi,” katanya.
Seorang PRT yang hadir, Sumainah, 34 tahun, sempat mengatakan tidak akan memilih (golput).
“Yang jadi pemimpin mah enak, saya cari duit sendiri (PRT). Mau tidak terima kita kalau ke rumahnya?” kata Sumainah yang mengaku baru bertemu dengan Yuni saat itu.
Yuni lalu menjawab, “Aku buka [pintu]. Aku saja lagi pikir kalau terpilih, aku masih mau kok kerja sebagai PRT. Aku sayang sama bos aku.”
Seorang PRT lain lalu menambahkan, “Saya berharap jangan sampai kacang lupa kulitnya kalau nanti terpilih”.
Di akhir pertemuan itu, saya mendatangi Sumainah. Perempuan yang tinggal di kontrakan dengan biaya sewa Rp1,2 juta per bulan itu mengaku salut ada PRT seperti Yuni yang berani menjadi caleg.
“Kita PRT itu juga punya mimpi, tidak direndahkan. Insya Allah [pilih Yuni]. Tidak menjanjikan memilih, tapi insya Allah,” kata Sumainah yang menjadi tulang punggung ketiga anaknya dengan gaji Rp2 juta per bulan. Adapun suami Seumainah bekerja serabutan.
Setelah itu, Yuni mengajak saya mengunjungi deretan petak kontrakan di Gandaria Selatan, Cilandak.
Dia mengetuk satu demi satu pintu rumah untuk memperkenalkan diri dan membagikan kalender serta stiker kampanyenya.
Ada warga yang merespon positif, namun tak sedikit juga yang bersikap acuh saat Yuni berkampanye.
Di ujung pertemuan kami, Yuni menyimpan harap untuk menang, di tengah beragam tantangan yang dihadapi.
“Apapun hasilnya Insya Allah aku terima. Karena memang untuk Jala PRT mungkin 10-15 tahun lagi baru akan mendatangkan caleg yang benar-benar mumpuni jadi anggota dewan," kata Yuni.
"Untuk menuju ke sana, sekarang lah proses belajarnya,” tutupnya.
Slamet, penjual sabun di Solo: ‘Sisihkan Rp10.000 per hari untuk cetak stiker’
Ratusan kilometer dari Karawang, di Kota Solo Di Jawa Tengah, seorang pembuat dan penjual sabun cuci cair, Slamet Widodo menjadi caleg DPRD Kota Solo dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), nomor urut delapan.
Slamet adalah seorang penyandang disabilitas tuna daksa sejak lahir.
Dua tungkainya layuh dan mengalami skoliosis – kondisi tulang punggung bengkok membentuk huruf S.
Untuk menopang kegiatan sehari-hari, ia selalu mengandalkan alat bantu kursi roda. Sedangkan untuk aktivitas di luar rumah, pria berusia 44 tahun itu selalu mengendarai sepeda motor roda tiga yang dimodifikasi.
“Saya itu ibaratnya caleg tak bermodal karena memang miskin,” kata Slamet saat dijumpai di rumahnya yang berada di tengah gang perkampungan di Solo.
Slamet mengatakan omzet penjualan sabun cuci cairnya kurang lebih Rp200.000 per hari. Adapun modal awal sekitar sekitar Rp60.000.
Lantaran modalnya yang terbatas, Slamet pun menyiasati kampanyenya dengan cara memberikan sabun cuci gratis.
Kemasan botol sabun ditempeli stiker yang memuat foto dirinya lengkap dengan nomor urut dan logo partai.
Ia sering membagikan botol sabun cuci cair itu kepada ibu-ibu yang ditemuinya.
Namun untuk mencetak stiker itu, kata Slamet, membutuhkan biaya sehingga dirinya tidak mencetak dalam jumlah yang banyak.
“Saya membuat stiker itu setiap mendapatkan keuntungan. Setiap hari saya sisihkan Rp10.000."
"Setelah genap Rp100.000, saya pesankan stiker yang dapat 100 lembar. Nanti kalau ada rejeki lagi, kita cetak lagi,” ujar pria yang sempat jualan teh tarik di salah satu kampus di Solo, namun terpaksa tutup sejak pandemi melanda.
Selain akan memperjuangkan hak-hak kesetaran bagi penyandang disabilitas di Solo, Slamet mengusung program untuk memperjuangkan pembangunan yang merata dan berkeadilan di Kota Solo.
Sementara itu salah satu tetangga, Yanti mengaku telah mengetahui jika Slamet maju menjadi caleg.
Ia pun berharap jika nantinya Slamet terpilih menjadi anggota legislatif DPRD Kota Solo untuk merakyat dan memperjuangkan aspirasi warga.
“Harapannya tetap bisa merakyat lah. Saya harus mendukung dan wajib mencoblos Mas Slamet karena dekat (rumahnya),” kata Yanti.
Seberapa besar peluang caleg miskin ke parlemen?
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Hurriyah, mengatakan caleg yang memiliki keterbatasan finansial memiliki potensi yang kecil untuk menembus parlemen.
“Kalau hitung-hitungan matematiknya menurut saya relatif berat [terpilih],” kata Huriyah, yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) tersebut.
Mengapa demikian? Hurriyah menjelaskan terdapat tiga modal utama yang harus dimiliki caleg untuk dapat terpilih, yaitu modal finansial, politik, dan sosial.
Modal finansial, menurutnya, berfungsi penting untuk membiayai kerja-kerja kampanye yang kian hari semakin mahal, mulai dari persiapan alat peraga kampanye (APK), upah tim sukses dan sosialisasi, hingga digunakan oleh sekelompok caleg untuk politik uang.
Kemudian modal politik, tambahnya, adalah untuk menempatkan caleg berada di nomor urut yang strategis.
Berdasarkan kajian Puskapol UI tentang pemilu 2014 dan 2019, nomor urut menjadi salah satu faktor penting yang menentukan preferensi para pemilih dalam mencoblos.
“Lebih dari 60% pemilih cenderung memilih nomor urut tiga besar karena menganggap mereka adalah orang-orang penting dan kompeten,” katanya.
Selanjutnya adalah modal sosial, seperti popularitas atau ketokohan dari seorang calon yang dikenal luas oleh masyarakat.
“Makanya ada parpol yang cenderung memilih caleg dari latar belakang selebritas karena mereka dianggap punya modal sosial yang besar, mereka popular,” ujar Hurriyah.
Untuk itu, kata Hurriyah, ketika salah satu modal itu lemah maka akan menurunkan kesempatan mereka mendapatkan kemenangan.
Mengapa biaya politik begitu mahal?
Menurut riset dari lembaga Prajna Research Indonesia pada pemilu-pemilu sebelumnya, biaya minimal yang harus disiapkan seorang caleg adalah Rp1-2 miliar untuk caleg di tingkat DPR pusat, Rp500-Rp1 miliar untuk tingkat DPRD provinsi dan Rp250-300 juta untuk tingkat DPRD kabupaten/kota.
Hurriyah menambahkan mahalnya biaya politik yang ditanggung para politisi yang berkontestasi dalam pemilu disebabkan oleh model pencalonan dan kampanye yang kandidat sentris (candidate-centered campaigns).
Artinya, jelas Hurriyah, partai politik hanya berperan sebagai penjual tiket pencalonan, sedangkan beban kampanye, logistik hingga tim sukses dilimpahkan seluruhnya kepada masing-masing kandidat.
Faktor kedua, menurut Hurriyah adalah masifnya praktik politik uang yang kemudian menjadi "kelaziman untuk dilakukan", dan menciptakan pandangan di masyarakat bahwa para caleg adalah "sinterklas yang bagi-bagi hadiah".
“Politik uang merupakan cara instan caleg yang baru turun jelang pemilu ke dapil. Ini adalah konsekuensi dari absennya politik programatik partai dan caleg,” katanya.
Terakhir adalah sistem pemilu proporsional terbuka, yang mana seorang caleg dipilih secara langsung berdasarkan suara mayoritas.
“Kontestasi akhirnya menjadi begitu ketat. Satu partai mencalonkan tujuh sampai bahkan sepuluh caleg di satu dapil, belum lagi mereka harus bertarung dengan calon dari partai lain untuk memperebutkan kursi yang sama. Cara-cara instan seperti politik uang menjadi jalan pintas yang diambil,” katanya.
Terdapat 9.917 caleg yang bertarung memperebutkan 580 kursi DPR pusat di 84 daerah pemilihan (dapil), di mana masing-masing memiliki rata-rata peluang hanya sebesar 5,8%.
Persaingan pun tak kalah ketat di level bawahnya. Misalnya di DKI Jakarta, terdapat 1.818 caleg yang memperebutkan 106 kursi (5,8% peluang) DPRD DKI Jakarta.
Kemudian, 732 caleg akan memperebutkan 50 kursi (6,8% peluang) DPRD Purwakarta.
Secara nasional, terdapat 2.372 kursi DPRD provinsi yang diperebutkan di 301 dapil, dan 17.510 kursi DPRD kabupaten/kota di 2.325 dapil.
Lalu apa dampak dari biaya politik yang mahal?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai mahalnya biaya politik mempengaruhi terjadinya praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik.
Berdasarkan survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar Rp20-30 miliar.
Namun, kata Marwata, jumlah biaya politik itu belum tentu membuat kandidat para calon kepala daerah memenangkan kontestasi politik, sebab para calon pemimpin itu harus merogoh kocek sekitar Rp50-Rp70 miliar.
"Memang dari survei kami, tidak semua biaya itu dari kantong calon, tapi ada sponsor yang rata-rata adalah para vendor atau pengusaha setempat biasanya pengusaha konstruksi," kata Marwata, seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Sayangnya, biaya yang dikucurkan pengusaha setempat tidak diberikan secara cuma-cuma.
Antropolog komparatif dari Universitas Amsterdam, Belanda, Ward Berenschot menilai hal itu akan mereduksi calon-calon yang berkompeten untuk menjadi pejabat publik dan sulit mewujudkan demokrasi berkualitas.
Untuk itu, peneliti senior Lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) Leiden tersebut mengatakan sudah saatnya pemerintah Indonesia mengubah sistem pemilu sehingga bisa mengakomodasi seluruh sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten, tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak.
Salah satu opsi yang Ward usulkan adalah subsidi untuk parpol. (*)
Tags : calon legislatif, caleg miskin, kisah orang kecil terjun jadi caleg, caleg tanpa popularitas dan brankas, hak minoritas, kemiskinan, pemilu 2024, Artikel,