Sorotan   2024/07/10 12:37 WIB

Kisah 7 Panglima Galang Bermarkas di Pecong Kecil, 'Lanun Paling Ditakuti Belanda dan Inggris, Tetapi Hanya Jadi Pahlawan Kemanusiaan'

Kisah 7 Panglima Galang Bermarkas di Pecong Kecil, 'Lanun Paling Ditakuti Belanda dan Inggris, Tetapi Hanya Jadi Pahlawan Kemanusiaan'
Ilustrasi Raja Alang Dilaut

"Rempang dan Galang tidak sebatas hanya kawasan yang berada di bawah administrasi Kota Batam Kepulauan Riau tetapi juga tempat bersejarah"

enyebut Rempang dan Galang tidak sebatas hanya kawasan yang berada di bawah administrasi Kota Batam Kepulauan Riau, tetapi adalah tempat bersejarah yang masyarakatnya memainkan peranan besar pada jatuh bangunnya imperium Melayu di kawasan itu.

Tercatat pada perjalanan sejarah orang Rempang dan Galang sebagai pasukan laut utama Kerajaan Melaka pada abad ke 15.

Mereka menjaga, memelihara bahkan “menggarau” laut selat Melaka sebagai pasukan laut yang tangguh.

Kemahiran mereka tentang laut dan pulau, beting dan karang, angin dan ombak tak perlu disangsikan lagi.

Perkataan “Galang” melekat pada mereka ketika tugas untuk melabuhkan kapal-kapal besar ke laut untuk siap berlayar melintas lautan.

Kemahiran orang Rempang dan Galang sebagai pasukan laut dibuktikan ketika mereka ikut berperang di pihak Raja Kecik yang waktu itu mengaku sebagai waris Sultan Mahmud lll [Mangkat dijulang] ketika mengalahkan Sultan Abdul Jalil IV.

Merekalah yang disebut “pasukan orang laut” yang sangat digeruni oleh lawan dari manapun.

Sejarah rempang-galang

Fase kepahlawanan orang Rempang dan Galang seterusnya ketika masa Kerajaan Riau Lingga.

Seorang Panglima Galang yang paling ditakuti oleh penjajah Belanda dan Inggris bernama ” Raja Alang Dilaut”.

Dialah Raja Dilaut yang sekian kalinya “kengeruhkan” laut selat Melaka sebagai bangsa Terbilang.

Belanda dan Inggris menyebut Dia sebagai ketua angin Lanun yang mengganggu dan memporak-perandakan kepentingan orang Eropah di laut.

Tetapi bagi orang Melayu Dia adalah wira dambaan disetiap hati sanubari.

Panglima Galang yang bernama Raja Alang Dilaut gugur sebagai Wira pada perang yang dikobarkan pihak Belanda dan Inggris pada satu ekspedisi ke Pulau Galang pada 1836.

YTM [Yang Dipertuan Muda] Raja Laut ibni Almarhum Sultan Muhammad Shah lahir pada tahun 1850.

Baginda mangkat pada tahun 1913 semasa menjadi Raja Muda Selangor.

Raja Muda Laut telah dilantik sebagai Raja Muda Selangor pada tahun 1898 oleh Paduka Sri Sultan Selangor ke-5 yiaitu Sultan Ala’uddin Suleiman Shah.

Apabila Sultan Selangor mengurniakan gelaran Tunku Mahkota kepada putera Baginada, Tengku Musa Uddin sebagai pewaris takhta, Raja Muda Laut tetap mengekalkan gelaran Raja Muda sehingga kemangkatan Baginda pada 9 Jun 1913.

Gelaran Raja Muda Selangor sebagai pewaris takhta kembali digunakan sekitar tahun 1920 apabila Tengku Musa Uddin kemudiannya dilantik sebagai Raja Muda Selangor.

Raja Muda Laut telah bersurikan Raja Daing Chahaya dan dikurniakan seorang putera, yaitu Raja Alang.

Keluarga di Raja ini tinggal di sebuah rumah di kawasan “Batu Road” pada ketika itu. Baginda dikebumikan di tanah perkuburan Kampong Gonggang yaitu nama asal Jalan Ampang.

Kini nama Raja Laut diabadikan sebagai nama sebuah jalan yang bersambung dengan Jalan Tuanku Abdul Rahman di Kuala Lumpur. [Sumber: Wangsa Mahkota Selangor].

Keturunan Panglima Raja Alang Dilaut selanjutnya berpindah ke Singapura dan sebagian ke Pulau Karas yang tidak jauh dari Rempang dan Galang.

Estafet kepahlawanan orang Rempang dan Galang berlanjut ketika Pemakzukan Sultan Abdul Rahman Mu’adzam Syah Sultan Kerajaan Riau-Lingga oleh pemerintah Belanda.

Batin Limat bin Limbang mengumpulkan semua pengikutnya dan menyembahkan maksud kepada Sultan Abdul Rahman untuk berperang saja dengan Belanda.

Biar putih tulang dari pada berputih mata sembahnya.

Pada masa pendudukan Jepang di Riau/Kepulauan Riau para pemuda Rempang dan Galang ikut menjadi bagian dari tentara Gyu Tai [penjaga pulau] Yang direkrut tentara Jepang.

Setelah kekalahan Jepang pada perang dunia ke ll, eks Tentara Gyu Tai berubah dan membentuk Batalyon Kepulauan Riau yang merupakan cikal bakal perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Riau/Kepulauan Riau.

Kapal ‘Stanvac Pendopo’ yang mengangkut minyak saat merapat di pelabuhan Tanjung Uban pada bulan Februari 1948. © Photo Copyright Harold Corsini – aukevisser.nl

Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang Anastasia Wiwik Swastiwi mengungkapkan asal-usul Pulau Galang berdasarkan cerita rakyat.

Cerita itu Anastasia dapatkan dari penuturan warga tempatan, Salim, usia 60 tahun.

Hasil studi Anastasia juga muat di platform Indonesiana milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang Bertajuk: Pulau Galang dari Masa ke Masa.

Seperti dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata Galang berarti landasan.

Dahulu kala di pulau ini terdapat banyak kayu seraya, yang diyakini berkualitas unggul sebagai bahan perahu.

Pulau ini lalu jadi tempat pembuatan “lancang” atau bahtera raja, yang diyakini masyarakat setempat sebagai kapal Sultan Malaka.

Dari kisah terciptanya kapal itu lahirlah toponimi Galang.

“Pulau Galang adalah pulau kecil yang letaknya persis di depan Tanjung Pengapit,” kata Salim.

Pecong Kecil, Bajak Laut dan Kisah 7 Panglima Galang 

Pada abad ke-16, Sultan Malaka membuat perintah untuk membuat lancang. Sampailah pasukan pembuat perahu ke sebuah pulau di mana banyak kayu seraya itu.

Saat membuat kapal, datang seorang penduduk setempat bernama “Canang”.

Para pembuat kapal mengusir Canang agar jangan mengganggu. Tak terima, Canang bersumpah kapal yang mereka buat tidak dapat diturunkan ke laut.

Ternyata kapal tersebut benar-benar tidak bisa diturunkan ke laut.

Alkisah, agar dapat turun ke laut, perlu landasan tujuh wanita yang sedang hamil anak pertama.

Ternyata benar, setelah menggunakan tujuh wanita yang sedang hamil anak pertama sebagai landasan, kapal tersebut dapat diturunkan ke laut. Karena peristiwa ini, selanjutnya pulau itu disebut dengan Galangan.

“Galangan dalam arti landasan yaitu manusia dijadikan galang. Dalam perkembangannya penyebutan pulau itu menjadi Pulau Galang saja,” tutur Salim.

Kisah belum usai, setelah kejadian itu, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, Pulau Galang kemudian menjadi sarang para lanun atau bajak laut yang memiliki kekuatan luar biasa.

Mereka hanya bisa dikalahkan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung.

Para lanun itu diketuai oleh tujuh orang panglima yang terlahir dari tujuh wanita hamil anak pertama yang menjadi landasan kapal Raja Malaka.

“Rupanya, tujuh putra itu memiliki rasa dendam karena ibunya menjadi landasan kapal. Mereka kemudian menjadi lanun, apa pun kapalnya selalu dibajak,” cerita Salim.

Pemimpinnya bernama Canang, penduduk setempat yang dulu diusir pasukan pembuat kapal. Dikisahkan Canang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Namun dia kalah dan tewas ditangan Raja Kecil. Canang akhirnya dimakamkan di Pulau Karas. Ketujuh panglima itu masing-masing menguasai pulau-pulau di sekitar Pulau Galang, yakni Pulau abang, Pulau Sembur, Pulau Cate, Pulau Tokok, Pulau Selat Nenek, Pulau Pecung, dan Pulau Panjang.

Tetapi nama Hulubalang Laut, cerita-cerita masyarakat kepulauan pada anak-anak kecil pun begitu membekas diingatannya.

Salah satu panglima juga pernah bermastautin di pulau Pecong.

Alhasil kisah orang-orang terdahulu, ada 7 orang yang disebut panglima Galang dan menguasai perairan strategis di sekitar wilayah perairan Kepulauan Riau [Kepri].

Mereka terlahir dari 7 wanita asal pulau yang sekarang disebut pulau Galang.

7 Panglima Galang terkenal sebagai lanun atau bajak laut yang sering mengganggu aktifitas kapal-kapal dagang yang melintas.

Wilayah mereka meliputi perairan di sekitar Pulau abang, Pulau Sembur, Pulau Cate, Pulau Tokok, Pulau Selat Nenek, Pulau Pecung dan Pulau Panjang.

Kisah 7 Panglima Galang ini bermula dari perintah seorang Sultan Malaka di abad ke-16 untuk membuat sebuah Lancang atau Kapal.

Pasukan Kerajaan kemudian tiba di pulau kecil yang kelak dikenal dengan nama pulau Galang.

Pasukan Kerajaan kemudian membuat lancang di sana. Seorang warga pulau yang dikenal sebagai orang Selat [yang mendiami wilayah Kepulauan] bernama Canang, coba mendekati pasukan Kerajaan yang sedang membangun lancang.

Namun ia diusir untuk menjauh. Sang pria tersinggung dan akhirnya keluar sumpah darinya; “lancang yang dibangun tidak akan pernah bisa mencapai laut saat selesai dibangun.”

Keanehan terjadi saat lancang selesai dibangun. Kapal atau lancang itu tidak bisa dibawa ke laut, seperti sumpah pria bernama Canang.

Agar bisa turun ke laut, pasukan Kerajaan mendapat masukan untuk menggunakan 7 wanita yang sedang hamil anak pertama di pulau itu sebagai pemutus sumpah, sekaligus landasan menggulirkan kapal ke laut.

Kapal akhirnya bisa melaut dan berlayar menuju Malaka, sesuai keinginan Sultan. 7 wanita hamil yang menjadi landas kapal meninggal, namun anak-anak mereka selamat. Mereka dipelihara oleh pria bernama Canang yang mengeluarkan sumpah awalnya tersebut.

Eks Kamp Vietnam di Pulau Galang, Kota Batam. Di lokasi ini rencananya dibangun rumah sakit (RS) pasien corona

Setelah dewasa, ketujuhnya kemudian memiliki dendam besar karena ibu-ibu mereka dijadikan tumbal.

Ketujuhnya kemudian menjelma menjadi sosok lanun yang sangat berani dan menguasai perairan sekitar Batam hingga Karimun dan dikenal dengan sebutan 7 Panglima Galang.

Pulau Pecong seperti yang banyak diceritakan dalam hikayat tersebut, merupakan tempat tinggal salah satu panglima Galang, bersama hulubalangnya pada masa silam.

Cikal bakal keturunan orang Pecong yang mendiami pulau Pecong besar sekarang, dipercaya dari keturunan para hulubalang laut yang ikut bersama salah satu panglima Galang bermastautin di pulau Pecong kecil.

Lanun, bajak laut memiliki sasaran bukan nelayan, tapi para saudagar asal China yang kapalnya membawa barang.

Barang mereka dirampas, orangnya dibunuh dan kapalnya ditenggelamkan. Itu di perairan sekitar pulau Pecong Kecil, ada cekungan seperti Palung, isinya banyak bangkai-bangkai kapal China zaman dulu.

Seiring waktu, aktifitas perompakan di sekitar perairan tempat kelahirannya, menurun jauh. Namun, kiprah para lanun atau bajak Laut di perairan sekitar Belakang Padang termasuk pulau Pecong, masih terjadi.

Paling tidak hingga beberapa dasawarsa ke belakang. Seperti pada masa dulu, keberadaan mereka jadi ancaman yang menakutkan bagi kapal-kapal yang melintas di sekitar selat Philip Singapura dan perairan perbatasan di sekitar wilayah itu setiap hari.

Sepanjang tahun 1991, misalnya. Berbagai kasus perompakan masih kerap terjadi di wilayah ini.

Diperkirakan ada sekitar 185 kali aksi perompakan laut yang tercatat di Polda Riau [dulu Kepri berada dalam pengelolaan Polda Riau secara hukum].

Kemudian pada tahun 1992 sampai bulan Mei, tercatat ada 63 kasus. Beberapa media massa asing juga pernah memuat berita-berita tentang kasus perompakan di wilayah itu.

Menurut catatan sejarah, sejak dulu selat Malaka hingga alur perairan selat Philips yang sekarang jadi batas perairan dua negara, Indonesia dan Singapura, telah jadi jalur perdagangan yang ramai.

Ramainya selat ini sebagai jalur perdagangan membuatnya menjadi rawan aksi perompakan. Kebanyakan kapal yang berlayar melewati selat Malaka membawa barang dagang yang nilainya tidak sedikit.

Catatan sejarah dari China pada abad ke 14, seorang pengelana yang bernama Wang Dayuan dalam bukunya Daoyi Zhilue mendeskrpisikan keberadaan bajak laut dari Long Ya Men [Tumasek/Singapura] dan Lambri [Daerah di bagian Sumatera Utara] menyerang kapal dagang China dengan armadanya yang mencapai tiga ratus buah kapal kecil [sumber : abesegara.com].

Puncak dari pembajakan kapal adalah pada abad ke 18 sampai 19 seperti yang ditulis pada buku The Scents of Eden: A Narrative of The Spice Trade.

Pada abad itu rempah-rempah menjadi komoditas yang paling mahal selain minyak paus.

Selat Malaka menjadi jalur rempah yang sangat ramai dan membuatnya rawan perompakan.

Kisah tentang para lanun atau bajak laut di wilayah perairan ini yang marak hingga tiga dasawarsa lalu , juga sempat dikupas beberapa media.

Contohnya kisah Hendrik, seorang mantan lanun atau bajak laut yang kini memilih tinggal di pulau Belakangpadang.

Hendrik pernah terlibat dalam banyak aksi perompakan laut di dekade 90-an. Bersama rekan-rekannya, ia menguasai wilayah perairan di sekitar Selat Philip yang ramai dilalui kapal-kapal.

Hingga dekade 90-an, aksi perompakan laut masih jadi momok yang menakutkan bagi para ABK kapal-kapal yang melintas di perairan yang merupakan pintu gerbang ke kawasan Asia, menghubungkan Lautan Hindia dengan Laut Cina Selatan.

Para bajak laut atau lanun ini, lihai memanfaatkan alur yang sempit di antara banyak pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Usai beraksi, mereka biasanya mengarahkan kapal ke perairan dangkal di sekitar di sekitar perairan ini yang tidak bisa dilalui oleh kapal-kapal patroli ukuran besar.

Catatan aksi para perompak juga sempat jadi sorotan para kepala kepolisian se-Asia Tenggara yang bertemu dalam konferensi ASEANAPOL di Brunei Darussalam, Agustus 1992 silam.

Takdir pulau galang jadi daerah pahlawan kemanusiaan

Kembali tentang kisah pulau Galang, Kota Batam kembali isu terakhir di Kamp Eks Pengungsi Vietnam yang ada di pulau ini akan disulap menjadi lokasi pembangunan rumah sakit [RS] khusus pasien yang positif penyakit Corona alias terjangkit virus COVID 19.

Pulau Galang kembali penyelamat dan mengulang kembali kenangan 41 tahun yang lalu.

Galang menjadi lokasi pengungsi Vietnam dan mengangkat pamor Indonesia dibidang kemanusiaan.

Salah satu sudut kota tua Tanjung Uban

Sejarawan Asvi Warman Adam di dalam buku Pulau Galang, Wajah Humanisme Indonesia [2012] karya Peneliti Madya BPNB Kepri, Dr Anastasia Wiwik Swastiwi membagi tiga periode sejarah pengungsian di Indonesia.

Pertama, periode 1975-1978, ditandai dengan berdirinya kamp-kamp pengungsian di beberapa pulau di Indonesia.

Kedua, periode 1979-1989, ketika berdiri kamp pengungsian yang terkonsentrasi di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Ketiga, periode 1989 hingga kini.

Sebelum ditampung di Galang, para pengungsi masuk ke wilayah Kepulauan Riau disejumlah daerah.

Pengungsi Vietnam atau yang dikenal sebagai Manusia perahu yang pertama kali dan ingin menetap di Indonesia, yaitu manusia perahu yang mendarat di Pulau Laut, Kepulauan Natuna pada 25 Mei 1975.

Pada saat yang sama, pengugungsi Vietnam juga sudah masuk Tarempa, yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Anambas.

Ribuan orang pengungsi juga tiba di Bintan, dan pulau-pulau sekitarnya.

Penggalangan di Pulau Galang disebutkan, hingga 9 Mei 1979 berdasarkan keterangan mantan Bupati Kepulauan Riau Firman Eddy, ada 13.939 pengungsi yang tersebar di 14 tempat penampungan di Kepulauan Riau.

Pada Mei 1979, sebanyak 18 negara membicarakan nasib pengungsi Vietnam di Jakarta.

Disebutkan, berbagai ekses negatif yang terjadi antara pengungsi, penduduk, dan pemerintah daerah, mendorong 11 kedutaan besar meninjau kamp penampungan di Pulau Galang.

Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja mengatakan masih ada lampu hijau dari Kepala Perwakilan UNHCR Erick Morris untuk mengajukan uang membangun Pulau Galang.

Usaha patungan itu datang dari Amerika Serikat sebanyak US$120 juta, pada 1980 ditingkatkan menjadi US$140 juta, lainnya sumbangan dari Jepang, Jerman Barat, dan Kanada.

Penetapan Pulau Galang menjadi kamp pengungsian Vietnam diputuskan pada 21 Februari 1979, saat ASEAN bersama UNHCR mengadakan rapat di Bangkok, Thailand.

Pulau Galang direncanakan menampung 10.000 pengungsi yang ada di Asia Tenggara dan Indonesia.

Pulau Galang dipilih karena lokasinya yang strategis, relatif mudah diakses, dan untuk memisahkan para pengungsi dari populasi lokal, serta meminimalisir pembauran aktif.

Luas pulau itu 80 hektare. Hanya ada 200 orang Indonesia yang menetap di sana pada 1979.

UNHCR menyebut, Pulau Galang mengakomodir lebih dari 170.000 pengungsi hingga kamp ditutup secara resmi pada 1996.

Peneliti BPNB Kepri, Dr Anastasia Wiwik Swastiwi menulis berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat sekitar, Galang memiliki arti yang bermakna landasan.

Pulau tersebut dikenal sebagai sebuah pulau yang memiliki potensi kayu seraya. Kayu seraya diyakini sebagai bahan dasar untuk membuat perahu atau kapal yang memiliki kualitas baik.

Dari pulau inilah kemudian terlahir sebuah “lancang” (bahtera raja) yang diyakini masyarakat setempat sebagai kapal milik Sultan Malaka.

Dari kisah terciptanya kapal tersebut lahirlah toponimi Galang.

Pulau Galang dan sekitarnya berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat setempat, kemudian menjadi pusat konsentrasi para lanun atau bajak laut yang memiliki kekuatan “luar biasa”.

Cerita rakyat yang berkembang seperti dalam uraian di atas, ternyata juga tertulis dalam beberapa sumber sejarah tertulis bahwa di perairan Pulau Galang pernah terjadi penyerangan lanun.

Penaklukan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1784 menimbulkan rasa tidak puas dan rasa dendam yang mendalam pada beberapa pemimpin Kerajaan Melayu Riau.

Walaupun perlawanan secara terang-terangan tidak dapat dilakukan lagi, secara diam-diam telah diorganisir suatu gerakan yang dikenal dengan gerakan Lanun [gerilya di laut].

Gerakan ini bertujuan merebut kembali kedaulatan Kerajaan Melayu Riau. Gerakan-gerakan lanun cukup membuat resah pemerintah Belanda dan Inggris.

Gerakan lanun melakukan aksinya dengan merampok setiap kapal asing yang memasuki perairan Riau. Akan tetapi, kapal-kapal anak negeri tidak diganggu sama sekali.

Pusat-pusat kegiatan lanun ini tersebar di seluruh perairan Riau. Kapal-kapal lanun tidak memiliki tanda pengenal tertentu.

Penyerangan lanun selalu dilakukan secara tiba-tiba di tempat-tempat yang strategis.

Pada tanggal 28 Juni 1837 terjadi pertempuran yang sengit di Pulau Galang.

Pertempuran tersebut pecah ketika sepasukan lanun membajak sebuah kapal perang Inggris yang bernama Andromache yang dipimpin oleh Kapten H.D. Chods.

Dalam pertempuran tersebut, pihak Inggris dengan bersusah payah akhirnya dapat menghancurkan armada lanun.

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap isi seluruh kapal lanun yang berhasil ditawan, ditemukan beberapa dokumen berisi instruksi-instruksi dengan tanda penyerangan yang diatur dan ditandatangani oleh seorang pangeran bernama Haji Abdurrachman putra almarhum Raja Idris saudara almarhum Raja Jaafar.

Semenjak itu, Belanda dan Inggris mengetahui dengan jelas bahwa gerakan-gerakan lanun tersebut mempunyai tendensi potitik dan berasal dari Pulau Galang dan Lingga.

Untuk memberantas kegiatan lanun sampai ke akarnya, Belanda memerintahkan agar Sultan Riau dengan segenap rakyatnya turut aktif dengan cara menempatkan orang–orang kepercayaannya di tempat-tempat yang diduga menjadi sarang lanun.

Tindakan Inggris menghancurkan armada lanun di Pulau Galang mendapat protes dari Belanda karena bertentangan dengan Traktat London 1824 yang isinya antara lain menyebutkan: “Tindakan Inggris untuk memberantas lanun harus dilakukan bersama-sama dengan Belanda”.

Sultan Riau menganggap tindakan Inggris di Pulau Galang tersebut sebagai suatu pelanggaran yang dilakukan oleh Inggris terhadap Traktat London tersebut di atas.

Oleh sebab itu Sultan terpaksa meminta perlindungan Belanda dengan jalan menyerahkan seluruh kerajaan kepada Belanda. Sebagai ganti rugi, Sultan meminta ganti rugi sebesar f 40.000,- sebulan. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Belanda.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi yang terdiri atas Residen Riau dan Mayor D.H. Kolff untuk berunding dengan Sultan.

Dari hasil perundingan tersebut diperoleh kata sepakat bahwa dalam memberantas lanun di perairan Riau, pemerintah Belanda dan Inggris jika perlu dapat bertindak sendiri secara langsung tanpa memberitahukan kepada Sultan terlebih dahulu.

Sultan harus menghukum rakyat yang melakukan pembajakan tanpa pandang bulu dan hukum harus dikenakan kepada negeri dan tempat-tempat terjadinya pembajakan.

Selain itu, pemerintah Belanda akan menempatkan satu pasukan kecil di Lingga atau di salah satu pulau-¬pulaunya untuk memberi dan mengawasi rute-rute jalan laut.

Belanda memberikan bantuan kepada Sultan dalam upaya pemberantasan lanun-lanun.

Dengan demikian, pemerintah Belanda mengharapkan lanun-lanun tersebut dapat diberantas, sedangkan hubungan baik dengan Sultan tetap dapat dijalin.

Inggris bertindak sendiri memberantas lanun-lanun hanya di lautan terbuka atau di pelabuhan dan tempat-tempat yang sering menjadi sarang lanun tanpa meneruskan operasi-operasi minter di daratan.

Jika perlu, tindakan tersebut tanpa seizin pemerintah Belanda. Meskipun demikian, perlawanan-perlawan dari para lanun terus terjadi di perairan Riau dengan motif utama mengusir dan mengganggu orang Belanda dari perairan Riau. (*)

Tags : Panglima Galang, Pulau Rempang dan Galang, Kepri, Camp Vietnam Pulau Galang, Pulau Rempang, Pengosongan Pulau Rempang, Kota Batam, Rempang Eco City, panglima galang Jadi hanya Pahlawan Kemanusiaan, Sorotan, riaupagi.com,