Artikel   2022/06/17 12:26 WIB

Kisah Para Pengasuh Anak dari Indonesia dan India yang Terlupakan di London

 Kisah Para Pengasuh Anak dari Indonesia dan India yang Terlupakan di London
Seorang ayah dengan bayi Eropa di India, pada sekitar tahun 1858.

SELAMA masa kejayaan Kerajaan Inggris, ribuan perempuan dari negara-negara Asia, termasuk India dan Hindia Belanda (kini Indonesia), dibawa ke London untuk menjadi pelayan dan pengasuh anak.

Banyak yang kemudian ditelantarkan begitu saja. Kini, rumah yang menampung mereka diberikan plakat biru sebagai tanda bahwa lokasi tersebut bersejarah.

Perempuan-perempuan dari Asia itu dipanggil dengan sebutan 'ayah' dan 'amah'. Ayah, adalah panggilan untuk para pengasuh dari India, sedangkan amah untuk yang berasal dari Indo-China. 

Rumah yang menampung mereka akan diberikan plakat biru. Ini adalah sebuah pengakuan terhadap tempat yang dinilai memiliki sejarah penting. Plakat tersebut diberikan oleh badan amal Inggris, English Heritage.

Plakat biru untuk Rumah Ayah, yang beralamat di Jalan King Edward 26, Hackney, London Timur, adalah hasil kampanye yang dimulai oleh Farhanah Mamoojee.

Mamoojee, 31 tahun, adalah perempuan keturunan India dan mengaku pertama kali mendengar tentang Rumah Ayah dari film dokumenter BBC.

Bersama para sejarawan yang telah melakukan riset panjang soal peranan dan kontribusi para pelayan dari Asia tersebut, Mamoojee berharap pemberian plakat dapat sedikit memberi pengakuan dan sorotan untuk para perempuan yang terlupakan ini.

Siapa ayah dan amah?

Kebanyakan perempuan ini berasal dari negara-negara seperti India, China, Hong Kong, Ceylon Inggris (kini Sri Lanka), Burma (kini Myanmar), Malaysia, dan Jawa.

"Ayah dan amah pada dasarnya adalah pekerja rumah tangga dan tulang punggung bagi keluarga-keluarga Inggris di negara koloninya, India.

"Mereka mengasuh anak-anak, menghibur mereka, menceritakan dongeng untuk mereka, dan meninabobokan mereka," kata Rozina Visram, sejarawan dan penulis buku Asians in Britain: 400 Years of History.

Ketika keluarga-keluarga ini kembali ke Inggris, mereka kerap kali membawa serta para pelayan ini. Sebagian ayah hanya diminta menemani selama perjalanan panjang dengan kapal, kata Visram, sementara sebagian lainnya kemudian dipekerjakan di Inggris selama beberapa tahun.

"Para pengasuh ini biasanya diberikan tiket pulang kembali ke negaranya, yang dibayarkan oleh keluarga yang mempekerjakan mereka," kata dia.

Tapi tidak semua perempuan ini seberuntung itu. Banyak yang kemudian ditelantarkan begitu saja oleh para majikannya tanpa bayaran atau tiket pulang. Beberapa terpaksa tetap tinggal di Inggris karena tidak ada keluarga yang hendak berlayar ke Asia yang bisa mereka ikuti.

"Para ayah ini kemudian mau tidak mau harus mengupayakan kehidupan sendiri di sini," ujar Florian Stadler, pengajar literatur dan migrasi di University of Bristol yang berkerja bersama Vikram untuk tema ini. 

Stadler berkata, para perempuan ini biasanya mengandalkan iklan di koran lokal, meminta bantuan supaya mereka bisa pulang ke negaranya. Sambil menunggu, kebanyakan tinggal di rumah sewa kumuh yang dipatok dengan harga terlalu tinggi.

"Dan ketika uang mereka sudah habis, mereka diusir dari sana. Banyak yang kemudian harus menjadi pengemis di jalanan supaya bisa pulang kembali ke India."
Rumah Ayah

Menurut Proyek Making Britain dari Open University, Rumah Ayah "diperkirakan berdiri pada 1825 di Aldgate" oleh seorang perempuan bernama Elizabeth Rogers.

Setelah kematiannya (tidak jelas pada tahun berapa), rumah ini dikelola oleh pasangan suami-istri yang mengiklankan bangunan ini sebagai rumah singgah untuk para ayah dalam perjalanan.

Mereka mengelola rumah ini seperti agen karyawan, dan keluarga-keluarga dapat menghubungi mereka untuk mendapatkan pengasuh.

Pada paruh kedua abad ke-19, saat Kerajaan Inggris semakin kuat, perjalanan antara Inggris ke India menjadi semakin umum - dan jumlah pengasuh yang datang ke Inggris juga semakin meningkat.

"Setiap tahun, hingga 200 ayah tinggal di Rumah Ayah. Beberapa menginap selama beberapa hari, sementara beberapa lainnya tinggal sampai beberapa bulan," ujar Visram.

Para ayah ini tidak harus membayar sepeserpun untuk biaya akomodasi. Rumah ini, ujar Vikram, menerima donasi dari gereja-gereja lokal.

Ada pula yang sudah punya tiket pulang namun tidak bisa kembali ke negaranya karena kekurangan dana atau pendamping - dalam kasus ini, pengelola Rumah Ayah menjual tiket tersebut kepada keluarga lain yang membutuhkan pelayan untuk menemani perjalanan ke India. Ini juga cara lain untuk mencari dana.

Namun Rumah Ayah juga bukan sekadar hostel atau tempat persinggahan.

Dr Stadler berkata, salah satu tujuan utama mereka adalah untuk mengajak para ayah memeluk agama Kristen.

"Tapi kami tidak tahu seberapa banyak dari para pengasuh ini yang kemudian masuk Kristen, karena tidak ada catatannya. Pun tidak ada catatan bahwa para ayah ini dipaksa untuk memeluk agama Kristen di Inggris," tambahnya.

Pada 1900, rumah ini diambil alih oleh London City Mission, sebuah kelompok Kristen. Mereka memindahkan rumah singgah ini ke alamat lain, masih di Hackney.

Pemasangan plakat biru

Seiring runtuhnya Kerajaan Inggris di pertengahan abad ke-20, kebutuhan keluarga-keluarga Inggris akan ayah dan amah berkurang drastis. Rumah Ayah kemudian diubah menjadi rumah pribadi.

Mamoojee pertama kali mendengar tentang Rumah Ayah pada 2018 saat menonton sebuah film dokumenter BBC berjudul A Passage to Britain. Film itu sekilas menyebutkan rumah singgah di Hackney itu - yang kebetulan dekat dari tempat tinggalnya. 

"Sebagai perempuan dari Asia Selatan yang tinggal di London, saya merasa terhubung dengan para ayah dan kisah mereka yang tak diketahui orang," ujar dia, menambahkan bahwa ketika itu, ia memutuskan untuk mengunjungi bangunan tersebut.

"Fakta bahwa tidak ada sesuatu pun di sana yang menggambarkan bahwa rumah ini adalah tempat yang sangat penting bagi banyak perempuan Asia dari seluruh dunia, membuat saya sangat marah dan merasa bahwa saya harus melakukan sesuatu."

Maka dia pun membuat Proyek Rumah Ayah, yang mendokumentasikan sejarah para pengasuh ini. Dia juga yang mendaftarkan permohonan plakat biru untuk rumah tersebut.

Pada Maret 2020 - sembari masih menunggu kabar dari English Heritage tentang status aplikasinya - Mamoojee mengadakan sebuah acara di Museum Hackney yang mengeksplorasi peranan para ayah selama masa kerajaan Inggris.

Terinspirasi oleh antusiasmenya, para staf museum kemudian mulai melakukan riset untuk topik tersebut.

Niti Acharya, manajer museum tersebut, berkata dia mencoba mengidentifikasi orang-orang yang pernah tinggal di rumah tersebut dengan melihat "banyak sumber, termasuk daftar penumpang dan orang-orang yang tiba dan meninggalkan Inggris dari 1878 hingga 1960, data sensus, dan sumber-sumber arsip lainnya."

"Semua sumber berbeda ini membantu menyatukan bagian-bagian kecil cerita, yang pada akhirnya memberikan gambaran lebih besar," kata dia.

Tetap saja, tugas ini sangat sulit karena hanya ada sedikit sekali informasi yang tersedia tentang para pengasuh ini.

"Material arsip yang tersedia kebanyakan tentang keluarga-keluarga yang memiliki ayah dan amah, ketimbang para perempuan itu sendiri. Sering kali identitas mereka sama sekali dihapus, karena nama mereka telah berganti menjadi nama Kristen bagi yang pindah agama, atau ditulis dengan nama keluarga majikannya seperti 'Ayah Bird'," terangnya.

Plakat biru ini, diharapkan oleh Mamoojee dan yang lain, dapat membantu membuat para perempuan yang dilupakan ini lebih diakui.

"Para perempuan ini sungguh layak mendapatkan penghormatan ini," tukas Mamoojee. (*)

Tags : Hak asasi, Inggris raya, Sejarah, Indonesia, Anak-anak, Perempuan,