OLAHRAGA - Karier pencari bakat perempuan dalam olah raga bola basket, Sarah Chan, telah membawanya keliling dunia dari Sudan hingga Kenya, Eropa hingga AS. Namun dia masih harus berhadapan dengan perang, rasisme, dan kekerasan berbasis gender.
"Wajah saya pernah diludahi karena warna kulit saya," kata mantan pemain basket profesional itu.
"Saya telah mengalami rasisme lebih dari yang saya bayangkan."
Sebagai perempuan pertama yang mengelola pencarian bakat di Afrika untuk tim di NBA -liga bola basket profesional top dunia- Chan kini menginspirasi generasi muda untuk mencari peluang dalam olahraga.
"Bola basket menerangi jalan saya ke tempat saya berada saat ini. Basket berarti segalanya," kata Chan dirilis BBC yang masuk dalam daftar perempuan inspiratif dan berpengaruh di 100 Women tahun ini.
Dia dan keluarganya tinggal di Khartoum selama Perang Saudara kedua di Sudan.
Ada sejumlah upaya untuk menangkap ayahnya, dan Chan masih ingat bahwa dia sering terbangun pada malam hari akibat suara-suara di luar rumah mereka.
Keluarga Chan akhirnya melarikan diri, berharap menemukan kehidupan yang lebih aman dan pendidikan yang lebih baik di Kenya.
"Itu [Kenya] adalah tempat di mana kami untuk pertama kalinya benar-benar dapat menikmati hak untuk berolahraga karena di Sudan [bermain] olahraga dan melihat seorang gadis atau perempuan bercelana pendek adalah hal yang tabu," kata Chan.
Di sinilah kecintaannya pada bola basket muncul. Dia masih ingat percakapan yang membuat dirinya dan saudara perempuannya berolahraga untuk pertama kalinya.
"Saya ingat menjadi salah satu anak tertinggi di sekolah di Kenya dan kepala sekolah kami mendekati kami dengan bertanya apakah kami bisa bermain.
"Saat itu, sejujurnya, saya tidak berpikir ke sana. Jadi saya bilang, dengan segala hormat, saya tidak ingin bergabung, dan karena itu kepala sekolah kemudian mewajibkan olahraga."
Setelah bertahun-tahun latihan, Chan mendapatkan beasiswa sarjana basket selama empat tahun di Universitas Union, Tennessee, AS.
Selama 14 tahun berkarir, dia berkompetisi secara profesional di Eropa dan di seluruh Afrika.
"Melalui basket, Anda menyentuh banyak orang. Bola basket mengubah hidup," kata dia.
Namun Chan juga menghadapi rasisme dalam olahraga, salah satunya ketika dia pergi ke Aljir, Aljazair bersama rekan-rekan setimnya, dan diludahi oleh seorang pria.
"Tanpa pendirian yang ditanamkan keluarga saya ke dalam diri saya, saya tidka akan mampu menghadapi itu semua," kata dia.
"Tepat sebelum saya meninggalkan rumah, ayah dan ibu saya berkata, 'Kamu cantik apa adanya.'"
Ketika dia untuk pertama kalinya kembali ke Sudan Selatan pada 2012, Chan menyaksikan ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk pernikahan dini dan pernikahan paksa.
"Pada usia 18 tahun, perempuan diharapkan mulai mencari jodoh," kata dia.
Anak-anak perempuan dipaksa untuk memilih apakah akan tetap bersekolah "atau mendapat bantuan keuangan dari pria yang mungkin dipilihkan keluarga untuk Anda," jelas dia.
"Saya menangis lama sekali."
"Sampai pada titik di mana saya lelah menangis dan merasa perlu mencari tahu apa yang bisa saya lakukan untuk berkontribusi memperbaiki keadaan."
Dari titik itulah Chan membentuk lembaga amal dan pendampingan Home at Home/Apediet Foundation untuk memerangi pernikahan anak serta mengadvokasi pendidikan dan olahraga.
Dia masih ingat ketika suatu hari dia menonton pertandingan basket, seorang gadis datang dan duduk di sebelahnya di bangku cadangan.
"Dia bahkan bukan pemain basket, dia hanya seorang anak yang datang ke lapangan dan mencurahkan isi hatinya kepada saya, menceritakan kisah pilu soal bagaimana dia diperkosa malam sebelumnya," kata Chan.
"Itu membuat saya hancur karena saya juga memiliki pengalaman traumatis dengan pemerkosaan. Butuh waktu lama untuk sembuh."
"Awalnya saya menyangkal, [saya pikir] trauma dan pemerkosaan seperti itu tidak akan terjadi pada gadis berbadan tinggi. Kemudian muncul kemarahan, kesedihan, dan itu semua membuat Anda merasa tidak berharga, tidak berdaya, dan getir."
Dia pulih dari kondisi itu dengan melakukan "salah satu hal tersulit" untuk memaafkan pelaku, juga berkat pekerjaannya dengan yayasan.
"Saya berasal dari kemiskinan dan kami menemukan jalan keluarnya," katanya.
"Anak-anak ini hanya membutuhkan kesempatan karena mereka sangat berbakat, cerdas, dan cakap.
"Seseorang membantu saya untuk menemukan peluang di olahraga, dan tanpa mereka melakukan itu, saya tidak akan berada di titik ini."
Meskipun bakset merupakan olahraga yang didominasi pria, Chan meyakini bahwa bola basket perempuan memiliki potensi masa depan yang cerah.
"Olahraga adalah masa depan Afrika. Itu adalah senjata Afrika, khususnya bagi para gadis," katanya.
Dia menganggap serius pekerjaannya sebagai pencari bakat dan pendamping, "karena orang melihat hal-hal di dalam diri saya yang bahkan saya sendiri belum pernah lihat".
Melalui pembinaan, dia mendapat peluang di Toronto Raptors setelah seorang eksekutif NBA melihatnya bekerja di sebuah kamp bola basket di Kenya.
Sekarang dia dipekerjakan oleh tim, yang didirikan pada 1995 sebagi bagian dari ekspansi NBA ke Kanada, untuk menemukan bakat-bakat baru, entah itu laki-laki atau perempuan.
Penemuan bakat-bakat baru itu bertujuan mendukung pengembangan pemain dan membuka peluang mereka masuk ke dunia basket di Amerika Utara.
Baru-baru ini, Chan bepergian ke Uganda dan Tanzania untuk memilih pemain untuk turnamen besar di Rwanda tahun depan.
"Harapan saya basket bisa mencapai titik di mana ada WBAL, Liga Bola Basket Wanita Afrika," katanya.
"Itulah impian saya untuk gadis-gadis ini, bahwa mereka tidak dibatasi oleh budaya, mereka tidak dibatasi oleh pemikiran apa pun.
"Mereka benar-benar bebas dan terbebaskan dalam pikiran mereka, dan dapat mengejar impian mereka sebagai manusia, tidak dikekang atau dibatasi oleh jenis kelamin."
Tags : Olahraga, Hak perempuan, 100 Perempuan, Perempuan, Afrika,