Headline Traveling   2024/03/11 19:27 WIB

Rahmi Syofia, Perempuan Menjelajahi Indonesia Hingga Ditengah Ramadhan dengan Mobil Minivan

Rahmi Syofia, Perempuan Menjelajahi Indonesia Hingga Ditengah Ramadhan dengan Mobil Minivan
Mimi dikelilingi peralatannya untuk berpergian di depan campervan-nya yang putih.

RAHMI SYOFIA, akrab disapa Mimi, sudah melintasi enam pulau dengan mobil campervan yang dia kendarai.

Pengalaman Mimi melintasi daerah-daerah Indonesia dan membantu masyarakat sekitar terdokumentasi lewat akun media sosialnya yang memiliki lebih dari 260 ribu pengikut.

Warga Jakarta ini memulai perjalanannya dengan pergi ke Jawa Timur pada Januari 2023. Ia membeli mobil bekas di Malang dan memodifikasinya dengan desain yang ia rancang sendiri dan bantuan dari seorang teknisi.

“Modifnya sesuai dengan fungsional [kebutuhan] saja. Tidak perlu yang mewah-mewah seperti campervan yang tren sekarang, tapi cukup ada listrik, ada air, ada tempat tidur, dan bisa masak,” ujar Mimi lewat saluran telepon WhatsApp yang dirilis BBC News Indonesia.

Saat itu dia berada di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dari sambungan telepon, bisa terdengar suara kicauan burung dan angin berhembus di alam liar. 

Mimi mengaku Sumba merupakan salah satu tempat terindah yang pernah ia kunjungi.

“Dari segi kulturnya, alamnya itu sangat cocok dibandingkan kota-kita lain, paling berkesan. Makanya ini besok mau keluar rasanya sedih banget rasanya,” kata Mimi sambil menghela napas.

Tak hanya sekadar jalan-jalan, Mimi juga melakukan bakti sosial di beberapa daerah yang ia kunjungi.

Di Sumba, misalnya, ia membagikan 50 paket pembalut cuci-ulang di dua desa dan membantu dalam pembangunan rumah untuk seorang nenek yang rumahnya tak layak huni.

Biasanya, para pengikutnya di media sosial berinisiatif menggalang dana untuk memulai aksi sosial yang dapat membantu warga setempat. Mimi kemudian menyalurkannya.

Namun, tidak semua pengikutnya mendukung Mimi dalam perjalanan solo itu. Ada pula beberapa yang mengkritiknya karena ia adalah perempuan yang berpergian seorang diri.

“Jadi ada beberapa sudut pandang. Kalau pada umumnya, mereka melihat perempuan berisiko [travelling] sendiri, tapi itu bisa dikasih tahu. Perempuan bisa juga dong,” tutur Mimi. 

Rahmi Syofia mengaku keinginannya untuk keliling Indonesia timbul ketika mobilisasinya terbatas akibat pandemi. Selama pandemi, ia mulai memikirkan kembali tujuan hidupnya.

“Hidup terlalu singkat kalau hanya hidup di Jakarta dan kerja setiap harinya. Saya ingin membuat [hidup] lebih berarti, baik untuk diri sendiri maupun orang sekitar. Makanya saya melakukan perjalanan ini,” jelas perempuan berusia 37 tahun itu.

Pada awalnya, ia sempat ingin “motoran” keliling Indonesia. Sebab, ia sempat keliling Bali dengan motor. Namun, teman-temannya menyarankan agar dia menggunakan mobil sebagai mode transportasi.

“Jadi kalaupun ingin berhenti, bisa parkir dan bisa tidur. Bisa mengunci diri sendiri di dalam mobil kalau pakai tenda agak takut, karena bisa saja orang masuk atau binatang, sehingga cukup berisiko. Makanya saya memilih mobil dan memodif sendiri,” ungkap Mimi.

Setelah membulatkan tekadnya untuk keliling Indonesia menggunakan mobil mini bus atau yang ia sebut sebagai campervan, Mimi memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan menggunakan tabungannya untuk membeli sebuah mobil bekas di Malang.

“Dulu mulai menabung buat masa depan, tapi jadi berpikir, ya udah kapan lagi bisa keliling Indonesia? Jadi benar-benar, sejak bekerja nabung-nabung terus,” katanya.

Saat ditanya apakah keluarganya mendukung pilihan Mimi untuk menjadi pelancong campervan, ia mengatakan bahwa kedua orang tuanya telah tiada dan saudara-saudaranya semua sibuk mengurusi keluarga masing-masing. Sehingga, ia bebas mengejar mimpinya.

“Karena mereka sudah lihat dari media sosial jadi pantaunya dari situ. Karena aku sering update, dan teman-temanku juga ingin tahu kondisi saya bagaimana,” ujar Mimi.

Ia mengatakan bahwa tujuan awal perjalanannya adalah mencari makna hidup. Maka dari itu, ia mencoba jalan-jalan sambil menikmati keindahan Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, ada keinginan yang bertumbuh untuk membantu warga di tempat-tempat yang ia kunjungi.

“Di awal-awal, cuma mengunjungi tempat-tempat yang bagus-bagus, cantik-cantik. Tapi tetap kosong rasanya."

“Kebetulan karena perjalanan saya posting, jadinya beberapa followers ngikutin. Jadi mereka yang nyaranin 'oke kenapa kita enggak bantu'. Jadi kebanyakan bantuan seperti membangun musholla, bikin toilet, air bersih, itu dari followers,” ujar Mimi.

Sebelumnya, target Mimi adalah berhasil keliling Indonesia dalam waktu satu tahun. Namun, dengan adanya tujuan baru untuk membantu orang-orang yang ia temui dalam perjalanan, ia menghabiskan lebih banyak waktu di beberapa lokasi.

Bahkan, para warganet pun rajin memantau keberadaannya dan menanyakan kabarnya jika sudah lama tidak mengunggah foto atau video di media sosial. Ada pula yang menawarkannya tempat singgah jika Mimi pergi ke daerah mereka.

“Karena kadang orang Indonesia itu baik banget, mereka bahkan aku numpang parkir, ‘eh jangan di mobil, di rumah saya saja’. Bahkan diundang bertemu di media sosial, belum datang ke kotanya pun malahan mereka mengajak,” ucap Mimi.

Beberapa unggahannya mencakup konten yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para pengikutnya tentang cara membangun “rumah berjalan”, memasak di dalam campervan, cara tidur dalam campervan dan berbagai pemandangan alam yang ia temui dalam perjalanan.

Ke depan, Mimi berencana pergi ke lebih banyak daerah di wilayah Indonesia Timur, sambil mendokumentasikan perjalanannya lewat akun Instagram dan TikTok miliknya.

“Pokoknya setiap provinsi itu saya singgah di semua kota-kotanya. Sekarang baru sampai enam pulau, termasuk Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Flores, dan Sumba,” katanya.

Mimi mengatakan bahwa dia menikmati perjalanannya menggunakan campervan dan dukungan yang ia terima dari para pengikutnya. Namun, beberapa kali ia mendapatkan komentar-komentar dari warganet yang kurang setuju dengan pilihan hidupnya.

“Iya biasanya ada yang menyinggung seperti 'perempuan belum menikah, umur sekian tidak menikah, harusnya bersama suami'. Tapi kita juga tidak bisa memaksakan untuk mendapatkan suami ya,” kata Mimi.

Biasanya jika ia berhadapan dengan orang-orang yang berpikir seperti itu, Mimi memilih untuk mengabaikannya dan fokus pada perjalanan di depan mata dan keinginannya untuk membantu orang-orang yang ia temui.

“Saya jawab mereka dengan menunjukkan bahwa perjalanan ini bukan hanya perjalanan yang untuk [kepentingan] personal saja tapi supaya berdampak bagi orang-orang di sekitar yang saya datangi,” tegas Mimi.

Aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, mengaku kagum dengan keberanian dan motivasi yang dimiliki Mimi untuk menjadi solo traveller.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada beberapa stigma yang melekat dengan perempuan yang memilih untuk berpergian sendiri.

“Kalau laki-laki jalan-jalan sendirian disebut berpetualang. Tapi kalau perempuan jalan sendirian bermasalah,” kata Tunggal sambal tertawa.

“Saya pikir itu masih ada label-label semacam itu. Maka kemudian ada komentar-komentar miring, itu masih muncul dari netizen.”

Meski begitu, Tunggal merasa bahwa kini stigma-stigma tersebut sudah semakin berkurang. Hal tersebut tercermin dengan semakin banyaknya pelancong-pelancong perempuan yang berani mengambil langkah untuk melakukan apa yang mereka inginkan.

“Jadi semakin banyaknya perempuan-perempuan traveller sendiri, itu menjadi suatu bukti bahwa perempuan itu bisa lho untuk melakukan apa pun yang dia mau kalau memang dia sudah punya kehendak,” katanya.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan ada sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya aktivitas perempuan sebagai solo traveller di era digital.

Antara lain, pemberdayaan perempuan yang semaking berkembang – baik di sektor politik, pekerjaan dan berbagai bidang lainnya – yang turut berpengaruh terhadap independensi dan keberanian perempuan untuk mengejar mimpi.

Tak hanya itu, semakin banyak perusahaan yang menawarkan produk seperti tas dan peralatan travel yang dapat mempermudah perempuan saat berpergian.

“Perempuan-perempuan sekarang dengan kemandiriannya, berkat aktivitas, berkat program pemberdayaan, mereka sudah bisa mandiri secara ekonomi dalam konteks pendapatan. Ini yang kemudian memampukan perempuan untuk bisa melakukan perjalanan,” ujar Devie.

Kemudian, faktor lain yang tak kalah penting adalah tersedianya berbagai platform digital yang dapat membantu perempuan menemukan informasi yang dibutuhkan sebelum memulai perjalanan, mengatur akomodasi dan sebagainya.

“Karena ada platform maka ada panduan. Karena bisa lihat rating, review dan recommendation. Rumus panduan 3 R ini membantu perempuan.

“Belum lagi ditambah para pemengaruh (influencer), para vloggers yang juga memberikan petunjuk,” ujar Devie, seraya menambahkan bahwa pelancong perempuan justru mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan pria karena posisi mereka yang unik.

Sebab, sambung Devie, dalam masyarakat masih banyak yang memandang perempuan sebagai sosok yang “murni” dan perlu dilindungi.

“Karena dari rahim perempuan hadir peradaban. Maka seyogyanya perempuan itu harus dilindungi, ditemani dan dijaga. Sehingga ketika ada yang sendirian, ada muncul kekhawatiran,” ucap Devie.

Walaupun Tunggal Pawestri menilai bertambahnya pelancong solo perempuan sebagai hal positif, ia mengatakan realitanya perempuan masih rentan terhadap kekerasan ketika berpergian sendiri.

“[Mereka] rentan terhadap segala jenis kriminalisasi yang mungkin menimpa perempuan. Karena ada anggapan ketika perempuan jalan sendirian, mandiri, maka bisa diapa-apain,” ujar Tunggal.

Oleh karena itu, ia menyebut pelancong perempuan terkadang harus membuat persiapan dan perhitungan lebih banyak dibandingkan pelancong laki-laki.

Misalnya, bagi perempuan, sanitasi menjadi faktor penting, serta mempertimbangkan apakah masyarakat yang dikunjungi memiliki kultur yang “ramah perempuan”.

“Jadi benar-benar berkaitan dengan keamanan dan kultural. Kami tidak mau pergi ke tempat yang secara kultur tidak diterima sebagai perempuan jalan sendirian, dan ada halangan.

“Jadi memang benar-benar memutuskan secara hati-hati wilayah-wilayah mana yang mau saya kunjungi,“ kata Tunggal.

Saat ditanya bagaimana Mimi mengatasi rasa takut saat melakukan perjalanan, ia mengatakan bahwa ia selalu membawa semprotan merica dan senjata tajam dalam mobilnya jika ia membutuhkan.

“Sejauh ini, menurutku batinnya yang dikuatkan dan memang mindset-nya kalau apa-apa memang tetap berdoa, memang lebih ke spiritualnya. Kalau bekal diri, kalau kayak bela diri, dulu waktu kecil sempat silat dan aikido,“ ungkap Mimi.

Ia juga menggunakan fitur lokasi alias live location pada ponselnya kepada teman-temannya yang benar-benar ia percayai agar mereka dapat mengetahui keberadaannya. Mimi juga memiliki beberapa kontak darurat yang bisa ia hubungi jika terjadi bahaya.

Selain itu, ia juga tidak pernah langsung mengunggah videonya di sebuah lokasi tempat ia berada. Hal ini ia lakukan agar mencegah orang lain menguntitnya.

“Biasanya [diunggah] telat dua sampai tiga hari, untuk mengatasi ini. Karena enggak mau diikutin juga, takut. Jadi saya tidak begitu update. Jadi story itu biasanya telat,“ kata Mimi.

Ia mengaku pernah ditodong dan dimintai duit, serta ponselnya pernah dicuri saat sedang singgah di rumah warga. Meski begitu, ia berhasil melindungi diri dan mendapatkan kembali barang miliknya.

“Jadi benar-benar memang [kuatkan] mental, fisik juga jaga kesehatan dan disiplin juga sebenarnya. Karena ini sebenarnya bukan sesuatu yang hanya enjoy jalan saja, tapi memang benar butuh kedisiplinan juga,“ tutup Mimi. (*)

Tags : Media sosial, Pariwisata, Kaum muda, Perjalanan, Gaya hidup, Viral, Perempuan, Gender,