Politik   2025/08/12 15:25 WIB

KNPI Lihat Historis dan Kilas Balik Riau untuk Daerah Istimewa, 'yang Tidak Lari dari NKRI'

KNPI Lihat Historis dan Kilas Balik Riau untuk Daerah Istimewa, 'yang Tidak Lari dari NKRI'
Larshen Yunus, Ketua DPD I Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau

PEKANBARU - Riau diusulkan jadi daerah istimewa. Bagaimana sejarah Yogyakarta, Aceh dan Jakarta jadi daerah istimewa maupun daerah khusus.

"Historis dan kilas balik Riau untuk Daerah Istimewa."

"Kita melihat dan merespons wacana Riau yang diusulkan menjadi salah satu daerah istimewa di Indonesia, tetapi bukan lantas jadi Merdeka (keluar dari NKRI) seperti terdengar informasi-informasi liar yang sudah mengemuka," kata Larshen Yunus, Ketua DPD I Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau ini menyampaikan, Selasa.

Larshen Yunus juga mengakui, tidak pernah ada pemberian status daerah istimewa bagi suatu wilayah di Indonesia yang levelnya di bawah tingkat provinsi.

“Tidak pernah ada pemberian istimewa itu di level di bawah provinsi, tetapi wacana Provinsi Riau untuk mendapatkan daerah istimewa sepertinya perlu dikaji ulang," sebutnya.

Jadi Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) ini memaparkan hanya ada beberapa daerah di Indonesia yang menyandang status kekhususan hingga keistimewaan. Misalnya, Daerah Khusus Ibu Kota atau DKI Jakarta yang kini telah berubah menjadi Daerah Khusus Jakarta atau DKJ.

DKI Jakarta jadi DKJ seiring pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota Nusantara atau IKN.

“Kekhususan (Jakarta) itu tetap dipakai karena dia punya sejarah pernah jadi ibu kota yang cukup lama. Itu kemarin kami sepakati kenapa tetap pakai kata khusus, tapi tidak pakai ibu kota karena ibu kotanya sudah dipakai Nusantara,” ujarnya.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini juga menyebut ada pula Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyandang status istimewa karena latar belakang sejarah, yakni pernah menjadi ibu kota negara pada 1946.

Bahkan, jauh sebelum reformasi, Aceh juga pernah menyandang status sebagai daerah istimewa karena faktor historis.

“Karena masyarakat Aceh waktu itu pernah kumpulkan uang untuk bantu pemerintah beli pesawat, namanya pesawat Seulawah,” tuturnya.

"Makanya waktu itu pertimbangan Aceh jadi daerah istimewa, walaupun sekarang (status) istimewanya sudah hilang ya, enggak ada lagi," tambahnya.

Sekarang, Jakarta tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara setelah DPR RI menyetujui Rancangan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ pada 28 Maret 2024 lalu. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari UU Nomor 21 Tahun 2023 yang mengubah UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Status Jakarta sebagai DKI disebut telah berakhir per 15 Februari 2024. Klaim ini disampaikan oleh Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Supratman Andi Agtas.

Menurut Supratman Andi Agtas, keputusan tersebut, buntut dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara atau UU IKN.

Ia mencontohkan, Yogyakarta ditetapkan Presiden Pertama RI Sukarno sebagai daerah istimewa karena peran Kesultanan Yogyakarta yang luar biasa besar dalam mendukung Republik.

Setidaknya ada 250 bukti sejarah bahwa Yogyakarta berjuang sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Kala itu, saat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, di Yogyakarta ada dua kesultanan, yakni Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Daerah Pakualam pimpinan Sri Paku Alam VIII.

Setelah proklamasi, kedua wilayah ini menyatakan menjadi bagian wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Pemerintah lalu mengeluarkan amanat yang menyatakan, bahwa wilayah Pakualam dan wilayah Kesultanan Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa.

Yogyakarta, sebagai daerah istimewa yang dipimpin secara turun-temurun, kemudian memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri.

Dalam format keistimewaan secara eksekutif, Gubernur DI Yogyakarta tidak dipilih lewat pemilihan umum, melainkan berasal dari Kesultanan Yogyakarta.

Sultan sebagai raja sekaligus gubernur. Lantaran melekat, jabatan gubernur tersebut langsung ditetapkan atau diangkat, bukan melalui pemilihan.

Aceh pernah menjadi daerah istimewa sebelum diubah menjadi daerah khusus. Dilansir dari Acehprov.go.id, daerah ini memperoleh daerah istimewa guna menjaga stabilitas nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI 1959.

Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan.

Status ini dikukuhkan dengan Undang-undang atau UU Nomor 18 Tahun 1965 dan diperbaharui melalui UU Nomor 44 Tahun 1999.

Namun, berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kondisi ini memunculkan pergolakan. Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kini, Aceh menyandang status menjadi daerah khusus. Adapun istilah daerah khusus lantaran mendapat perlakuan istimewa berdasarkan faktor situasional di daerah tersebut. Aceh menjadi daerah khusus karena faktor agama dengan penerapan hukum syariah Islam.

Untuk wacana Riau menjadi daerah istimewa, seperti diungkap oleh Prof (HC). Dr. Drs. Akmal Malik, M.Si., Dirjen Otda Kemendagri pada RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan Komisi II DPR RI tanggal 24 April 2025 lalu, Riau satu dari 6 daerah yang diusulkan menjadi Daerah Istimewa.

 “Hal ini harus disambut gembira oleh seluruh komponen masyarakat yang bermastautin di Riau dan perlu segera ditindaklanjuti dengan membuat usulan secara secara formal ke Pemerintah Pusat dan DPR RI”.

Pengakuan Riau sebagai Daerah Istimewa adalah sangat patut dan layak, tersebab setidak terdapat beberapa pertimbangan yang mendukung adanya pengakuan tersebut”. 

Pertama, Historikal Riau dan Ragam Masyarakat Adat. Daerah Riau merupakan penggabungan dari Kerajaan Melayu yang pernah berjaya di wilayah ini, yaitu Kerajaan Inderagiri (1298-1945), Kerajaan Pelalawan (1530-1945), Kerajaan Siak Sri Inderapura (1723-1945), Kerajaan Gunung Sahilan (Pertengahan 1600-an – 1946), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan beberapa kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis.

Daerah Riau juga terdapat Masyarakat Asli Hukum Adat yang bermukim serta menjalankan Tradisi dan Adat Istiadat setempat, antara lain : Suku Sakai, Bonai, Kubu, Talang Mamak, Akit, Suku Hutan, Suku Laut, Duano.

Sejarah keberadaan/eksistensi kerajaan Melayu Riau tersebut membuktikan adanya peradaban (tamaddun) dan kedaulatan Melayu di Nusantara yang memegang teguh kearifan lokal dan falsafah adat Melayu Riau “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah, Syara’ Mengata, Adat Memakai”.

Apakah Riau juga telah mentasbihkan diri sebagai “Tanah Tumpah Darah Melayu” (Riau The Homeland of Melayu) dan mencanangkan Visi menjadi “Pusat Kebudayaan Melayu di Rantau Asia”.

Kedua, Spirit Patriotisme para Sultan Melayu Riau bersama rakyat, secara patriotik gigih berjuang melawan dan mengusir penjajahan dari Bumi Nusantara.

Setidak nya tercatat dengan tinta emas antara lain perjuangan Tuanku Tambusai di Rokan pada tahun 1823-1838.

Perlawanan Tuanku Tambusai  kepada Belanda dengan membangun Benteng Tujuh Lapis, amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda sehingga ia dijuluki De Padrische Tijger van Rokan atau Harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda. 

Tercatat juga, perlawanan Kesultanan Siak Sri Inderapura pada Perang Guntung dengan menggunakan taktik yang dikenal sebagai "siasat hadiah sultan", dipimpin langsung oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1744) yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746-1760).

Pun demikian perlawanan secara fisik dan non-fisik yang dilakukan oleh Sultan Syarif Kasim II (1915-1945) bersama dengan kedua putranya, terutama saat Belanda ingin menjadikan Ratu Belanda Wilhelmina sebagai pemimpin tertinggi Kesultanan Siak.

Bahkan jauh sebelum itu, juga tercatat peperangan Kerajaan Inderagiri antara Raja Narasinga II dengan Portugis berlangsung selama 20 tahun antara tahun 1511 sampai 1532.

Pada perang yang dikenal dengan sebutan Perang Teluk Ketapang dimenangkan oleh Raja Narasinga II, sementara Panglima Perang Portugis, Jenderal Verdicho Marlos, menjadi tawanan perang raja Narasinga, hingga akhirnya karena Jenderal Verdicho memiliki kepintaran, dimanfaatkan oleh Raja menjadi Menteri di Kerajaan Inderagiri.

Ketiga, Sikap Nasionalisme Sultan Melayu Riau. Kesultanan Siak Sri Inderapura, Kesultanan Inderagiri,  Kesultanan Gunung Sahilan yang saat Republik Indonesia di Proklamirkan tahun 1945 secara sukarela menyatakan bergabung dan mendukung Negara Republik Indonesia. 

Pada bulan Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II memprakarsai dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik di Siak Sri Inderapura.

Pembentukan badan-badan perjuangan itu disertai dengan rapat umum yang digelar di lapangan istana dengan mengibarkan bendera Merah Putih.

Dalam rapat besar itu, Syarif Kasim II bersama segenap rakyat Siak Sri Inderapura dan tokoh-tokoh Riau mengucapkan ikrar setia untuk mempertahankan kemerdekaan RI sampai titik darah penghabisan.

Sebagaimana tercatat dalam dokumen sejarah resmi Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Suk, Sultan Syarif Kadsim II dari Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Raja Pontianak Sultan Hamid al-Gadrie II secara sukarela menyatakan daerahnya bergabung dengan Republik Indonesia.

Ketiganya datang kepada Indonesia dengan hati yang jantan, dengan buah tangan yang penuh.

Sultan Hamengkubuwono memberikan kekuasaan, harta, dan merendahkan kesombongan ke-raja-annya demi ke-Indonesia-an.

Sultan Syarif Kasim II, bergabung dengan Indonesia sembari menyumbangkan Mahkota bertahtakan Emas dan Berlian, 10 buah provinsi yang kaya dan eksotik, 2 daerah jajahan, sejumlah berlian, dan uang tunai sebesar 13 Juta Gulden.

Termasuk juga hasil migas Riau yang sudah diekploitasi oleh Belanda, melaui Perusahaan Caltex dan Stanvac sejak tahun 1940-an.

Sumbangan Sultan Siak tersebut sebagiannya diantaranya bersama sumbangan Rakyat Aceh digunakan untuk membeli Pesawat Dakota “Seulawah”.

Sultan Hamid Algadrie pula, demi Indonesia, melepaskan tahta dan memberikan wilayah yang kaya kepada Indonesia.

Ketiganya bergabung dengan hati yang jantan. Tapi kita kecewa, sejarah, kekuasaan dan politik di Indonesia, khususnya pusat kekuasaan di Jakarta, memperlakukan ketiganya dengan “keadilan” yang tak sama, berbeda seperti bumi dengan langit.

Pada tahun 1950, Jakarta dan Sukarno memberikan status keistimewaan kepada tanah Yogyakarta dengan mengizinkan eksistensi kesultanan dan menetapkan Sultan sebagai pemimpin politik di Yogya, tapi pada saat yang sama Jakarta hanya menjadikan Sultan Syarif Kasim II sebagai rakyat biasa dan menghina Riau dengan menjadikannya hanya sebagai satu diantara tiga keresidenan dalam provinsi Sumatera Bagian Tengah.

Nasib Sultan Hamid Algadrie II yang juga arsitek Lambang Negara Garuda, tak jauh berbeda.

Pada masa Indonesia menganut sistem Federal (Negara RIS) yang ikut ia arsiteki, Hamid Algadrie II hanya kebagian kursi menteri tanpa portofolio (tanpa kekuasaan) di bawah kabinet Hatta.

Keempat, Bahasa Melayu Riau yang telah digunakan sebagai Lingua Franca dalam aktivitas komunikasi dan perdagangan di Nusantara serta menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Persatuan sebagaimana tercantum dalam Naskah Sumpah Pemuda 1928 dan sebagai Bahasa Resmi Negara sebagaimana dinyatakan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kelima, Mandatory Konstitusi, pemberian dan pengakuan keistimewaan suatu daerah di Indonesia telah dijamin oleh Konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 B Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang."

Dengan demikian, Pasal 18 B UUD 1945 memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan terhadap keberagaman daerah dan masyarakat adat dalam bingkai NKRI.

Pasal ini menjadi dasar hukum bagi kebijakan pemerintah dalam mengakomodasi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. 

Ini berarti bahwa daerah-daerah itu mendapat hak yang datang dari atau diberikan oleh pemerintah pusat berdasarkan undang-undang atau konstitusi.

Tersebab itu, justru kekhasan dan keunikan Budaya Melayu Riau akan mempertegas kekayaan corak ragam dan kemajemukan Bhinneka Tunggal Ika dengan tetap menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keenam, Letak Geografis dan SDA. Selain pertimbangan tersebut, Riau juga memiliki kekhasan letak geografis dan kekayaan sumber daya alam.

Geografis Riau berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia serta berhadapan langsung dengan Selat Melaka yang merupakan perairan lalu lintas pusat perdagangan penting dan strategis di Asia Tenggara. 

Selain itu, Riau Bersama-sama Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand (khususnya Thailand Selatan) merupakan bagian dari Negeri Serumpun Melayu.

Negara patutnya, tak dapat menapikan kontribusi yang telah diberikan Riau hasil kekayaan sumber daya alamnya.

Riau sebagai daerah penghasil Migas terbesar negeri ini telah menyumbangkan lebih kurang 35% dari produksi migas nasional, pun demikian kontribusi non-migas antara lain dari HPH/HTI, Pertanian dan Kelautan, bahkan saat ini Riau merupakan daerah yang memiliki Perkebunan Kelapa Sawit terluas, yakni lebih kurang sebanyak 4,3 juta Ha Perkebunan Kelapa Sawit tersebar di wilayah Riau.

Negara telah memberikan Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Daerah Otonomi Khusus Papua dengan status istimewa atau khusus karena faktor sejarah, budaya, politik, dan kebutuhan untuk menjaga stabilitas nasional serta keistimewaan hak otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan pemerintahan dan sumber daya alam. 

Dalam konteks tersebut, demi keadilan serta dengan fakta-fakta kesejarahan, kekhasan dan keunikan Tamaddun Melayu Riau maupun kekinian Riau, “ketidak-inginan” Indonesia meletakkan Riau secara terhormat dalam sejarah ke-Indonesia-an agaknya merupakan penistaan terhadap sejarah itu sendiri.

Tersebab itu, pengakuan dan pemberian Keistimewaan Riau tentulah merupakan suatu keniscayaan dan patut digesakan. 

Tetapi kembali seperti disebutkan Larshen Yunus, perjuangan untuk  mewujudkan Daerah Istimewa Riau (DIR) oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) yang didukung berbagai elemen masyarakat itu, menurutnya tetap kurang pas untuk diperoleh.

"Pembentukan DIR informasinya sengaja di hembuskan oleh kelompok kelompok tertentu, bahkan isu-isu liar mengemuka ingin merdeka (lepas dari NKRI)," sebutnya.

Menurutnya, malah soal pembentukan DIR justru dijadikan konsumsi bersama, berbagai kalangan silih berganti menyatakan dukungannya, kendati urgensi dan esensinya tak mendasar, terutama soal kepentingan masyarakat banyak.

Larshen Yunus mengkritik pembentukan DIR dan tak setuju tentang wacana merdeka (keluar dari NKRI) ini.

Menurutnya, bahwa pemikiran keluar dari NKRI bila pemerintah pusat tidak mengikuti kemauan masyarakat untuk DIR terkait keistimewaan bukan pilihan tepat.

"Pemikiran itu justru pemikiran yang berbahaya, karena bisa memunculkan negara-negara federal di Indonesia," kata Larshen.

Menurut dia, pilihan yang justru tepat untuk dilakukan dalam menyikapi pemerintah pusat apabila tidak mengikuti kemauan masyarakat adalah meminta pemerintah pusat untuk turun.

"Ini saya heran saja. Kita mengkritik suatu daerah ingin menjadi istimewa. Siapa yang tidak ingin dan menghargai keistimewaan berarti tidak memahami sejarah, pihak tersebut juga tidak memahami budaya, tidak mengerti tentang NKRI," kata Larshen yang mengaku Riau juga memiliki sejarah dan budaya.

Menurutnya, yang jelas Daerah Istimewa bukan berarti bisa untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia dan menjadi negara berdaulat.

Dalam Undang-Undang Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa sudah dijelaskan seperti; pada (Bab I Pasal 1) Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian (Bab 8 Pasal 15) Gubernur dan Wakil Gubernur berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

"Dari kedua pasal itu saya menyimpulkan bahwa Daerah Istimewa tidak bisa memisahkan diri dari Republik Indonesia," sebutnya. 

Larshen berpendapat, masyarakat Riau juga perlu terus menggalang kesatuan dan persatuan sehingga tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu liar yang nantinya justru akan membuat perpecahan, karena sudah banyak intrik masuk yang berusaha memecah masyarakat Riau.

Ia juga mengingatkan bahwa mengusik-usik keistimewaan, sama halnya dengan bermain pisau bermata dua, yaitu mengubah demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal, sedang sisi lainnya adalah menjadikan negara-negara federal di Indonesia.

Di dalam demokrasi Pancasila, lanjut Larshen, sebuah keputusan tidak harus dilakukan berdasarkan pemilihan, namun semua keputusan dilakukan berdasar musyawarah mufakat dari seluruh masyarakat.

Menurutnya, keistimewaan juga tidak hanya sekadar sejarah tetapi juga mempertahankan ide, falsafah, kepribadian bangsa sebagai landasan NKRI.

Jadi Larshen menyimpulkan, tidak ada mekanisme hukum yang memungkinkan suatu Daerah Istimewa keluar dari NKRI. Daerah Istimewa, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Aceh, memiliki status istimewa yang diakui dalam konstitusi, namun status tersebut tidak mencakup hak untuk memisahkan diri dari NKRI. (*)

Tags : daerah-istimewa, yogyakarta, aceh, solo, jakarta, komite nasional pemuda indonesia, knpi, historis dan kilas balik riau, riau ingin daerah istimewa,