LARSHEN YUNUS, Ketua Dewan Pengurus Daerah I Komite Nasional Pemuda Indonesia [DPD I – KNPI] Provinsi Riau, mengajak perusahaan yang beroperasi di Riau untuk menjaga komitmen menjalankan program corporate social responsibility [CSR].
"CSR sebagai bentuk perhatian terhadap masyarakat dan daerah."
"Sudah banyak laporan dan informasi yang kita dapat dari beberapa daerah, bahwa sejumlah perusahaan besar kurang memperhatikan kemaslahatan masyarakat setempat kususnya pemuda, perhatian yang seharusnya diberikan adalah dalam bentuk realisasi program CSR atau CD secara berkesinambungan," kata Larshen Yunus yang juga Wakil Sekretaris Jenderal [Wasekjend] KNPI Pusat Jakarta ini, Kamis (20/7) tadi ini.
Dia mengaku masih menerima banyaknya laporan mengenai ketidakpedulian perusahaan-perusahaan besar terhadap masyarakat setempat, maupun terhadap pembangunan daerah.
Menurutnya, perusahaan harus memperhatikan kepentingan daerah, baik dari aspek pembangunan, ekonomi dan juga sosial kemasyarakatan.
"Hadirnya perusahaan di daerah yang jelas juga mendukung pembangunan daerah. Salah satunya keberpihakan terhadap pemuda merupakan hal yang substansif yang mesti dijalankan oleh pihak perusahaan," sebutnya.
Larshen juga mengingatkan kepada perusahaan besar yang ada di Riau untuk tidak sekedar berorientasi kepada profit atau keuntungan semata, akan tetapi kontribusi terhadap pembangunan daerah.
"Perusahaan jangan hanya berorientasi mengejar profit semata, dan mengabaikan kontribusi terhadap pembangunan di daerah. Kita minta perusahaan yang beroperasi di daerah agar bersama-sama membangun daerah yang kita cintai bersama, jadi harus ada sinergisitas yang kuat dan jelas," sebutnya.
Corporate Social Responsibility, merupakan tanggungjawab sosial perusahaan; tetapi ada yang mendefinisikan CSR merupakan konsep yang dilakukan oleh perusahaan [sesuai kemampuan perusahaan] sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap masyarakat/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada.
"CSR tidak ada kaitannya dengan amal atau kedermawanan. CSR bukan sebuah kemuliaan tetapi kewajiban bagi sebuah entitas bisnis untuk mengembalikan sebagian dari keuntungannya bagi masyarakat dimana mereka mengoperasikan bisnisnya," kata Larshen.
"Beberapa waktu yang lalu, banyak menggantungkan diri pada donor asing: PBB [Unicef, UNAIDS, UNFPA, UNDP dll], government donors [USAID, AusAID, CIDA, JICA], dan para donor filantropi [pebisnis dermawan kelas dunia] seperti Bill Gates, Hewlett-Packard, Bloomberg, Soros yang menyisihkan sebagian keuntungan usaha mereka untuk membantu negara-negara berkembang."
Menurut Larshen, dasar hukum CSR atau tanggungjawab sosial perusahaan adalah (1) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 ayat 1 yaitu perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial [CSR] dan lingkungannya, (2) UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal.
Pasal 15 (b) menyatakan bahwa: setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, (3) Peraturan Menteri Negara BUMN No.4/2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR.
"Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan [PKBL]."
"Program CSR, jika dilaksanakan secara serius dalam bentuk kemitraan swasta, pemerintah dan masyarakat dapat menjadi kekuatan yang ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan negeri: kesehatan, pendidikan dan ekonomi (yang kita kenal sebagai 3 pilar pembangunan), ketiganya menjadi ukuran Indeks Pembangunan Manusia [IPM/Human Development Index], dimana Indonesia saat ini melorot ke posisi 124 dari 187 negara di 2011, sebelumnya 108 dari 169 negara di 2010," terang Larshen.
"Pemerintah yang memegang peran sebagai eksekutif atau pelaksana pembangunan dapat melakukan koordinasi dengan swasta beserta program CSRnya dan masyarakat yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat/organisasi masyarakat sipil yang akuntabel dan berbadan hukum dalam melaksanakan agenda pembangunan sesuai dengan kesepakatan internasional dan rencana pembangunan nasional, melalui pembagian kerja dan wilayah kerja disertai evaluasi secara berkala."
Apa yang terjadi pada saat ini?
Jika saja pemerintah (lintas sektor), swasta dan masyarakat bersinergi di tingkat pusat dan daerah, sangat mungkin program CSR tersebut dapat diperluas dengan program Keluaga Berencana, peningkatan gizi ibu hamil dan pasca melahirkan, perawatan bayi baru lahir dll, sehingga program tersebut mempunyai gema yang lebih membahana di seluruh nusantara serta pencapaian yang membanggakan.
Pada Konferensi CSR internasional ke-4 yang baru-baru ini diadakan di Jakarta dan dibuka oleh Deputi 1 UKP4, bertajuk: Beyond CSR, A Way of Life, Implementing CSR Ethically; dan berbagai pertemuan CSR yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi atau perkumpulan CSR yang berfungsi mempertemukan perusahaan swasta yang mempunyai program CSR dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kekhususan dalam isu yang ditangani, umumnya secara bergiliran menceritakan keberhasilan atau keunggulan program CSR mereka, baik dilaksanakan sendiri maupun bermitra. Tetapi belum membuka peluang untuk membangun sinergi swasta, pemerintah dan masyarakat secara terkoordinasi, efektif, berkelanjutan dan sejalan dengan agenda pembangunan nasional.
Tetapi menurut Larshen lagi, alangkah baiknya jika pemerintah menciptakan sebuah mekanisme untuk menggalang kekuatan program CSR swasta, pemerintah dan masyarakat agar berdaya ungkit.
Dengan masuknya Indonesia sebagai negara G-20 sejak 2010, Indonesia tidak lagi tergolong negara miskin, donor asing mulai menarik diri dan memusatkan upayanya ke daerah tertinggal di timur Indonesia.
"Potensi dana CSR BUMN tahun lalu sebesar Rp. 2 Triliun [2% dari laba bersih], belum termasuk dana CSR perusahaan swasta asing dan nasional lainnya, yang secara keseluruhan dapat terhimpun jumlah dana yang luar biasa besar dan dapat menggantikan dana hibah donor asing, yang selama ini telah memberikan peluang kerja bagi para profesional di berbagai LSM seluruh Indonesia."
Menurutnya, perlu melakukan langkah-langkah strategis ke depan sesegera mungkin serta isu spesifik yang ditangani; mendata, memetakan dan mengelompokkan daerah-daerah yang perlu dibantu di dalam mengatasi isu-isu prioritas, menghitung potensi dana CSR yang dapat dihimpun setiap tahun, memperhitungkan gap pembiayaan untuk penanganan berbagai isu pembangunan yang tidak dapat dipenuhi oleh APBN.
Perlukah dituangkan dalam aturan industri apa saja yang boleh berCSR? Siapakah yang perlu berperan dalam hal ini? Apakah perlu tunggu pemerintah membuat aturan? Atau bersepakat untuk menolak bekerja sama dengan industri? Tetapi intinya, kata Larshen mereka tetap saja mempunyai alasan yang sangat masuk akal untuk berpartisipasi dalam berbagai program CSR yang berujung dipastikan untuk upaya membangun citra. (*)
Editor: Surya Dharma Panjaitan
Tags : komite nasional pemuda indonesia, larshen yunus ketua knpi riau, knpi ajak perusahaan jalankan program csr, masa depan kemiteraan swasta, pemerintah dan masyarakat, csr untuk masa depan lebih baik, news kota,