Agama   2025/01/06 18:23 WIB

Kolom Agama di KTP Bakal Dihapus, Bagaimana Rasanya Hidup Sebagai Agnostik dan Ateis?

Kolom Agama di KTP Bakal Dihapus, Bagaimana Rasanya Hidup Sebagai Agnostik dan Ateis?

AGAMA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak menghapus kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan dalam pertimbangannya hakim konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara "harus beragama atau percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa". Pakar kebebasan beragama menilai putusan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengatakan putusan terbaru MK itu akhirnya melanggengkan pemaksaan agar setiap warga negara wajib menganut salah satu di antara tujuh agama dan kepercayaan yang diakui negara.

Ketujuh agama dan kepercayaan itu adalah Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan penghayat kepercayaan.

Pemaksaan itu disebut melanggar pemenuhan hak dasar warga yang bukan bagian dari tujuh keyakinan tersebut.

"Kalau tidak memilih, dia tidak akan punya KTP, tidak diakui hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Padahal itu substantif. Itu pelanggaran serius terhadap konstitusi," kata Halili ketika dihubungi, Minggu (05/01).

Sebelumnya, dua warga negara menggugat dua pasal di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Admnistrasi Kependudukan yang mengatur soal pemuatan kolom agama di kartu keluarga dan KTP.

Kedua pasal itu dianggap mendiskriminasi orang-orang yang tidak menganut agama atau kepercayaan tertentu.

Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Mohammad Iqbal Ahnaf mengatakan tak ada aturan perundang-undangan yang eksplisit melarang orang untuk tidak beragama.

Namun, ada banyak aturan administrasi yang memaksa orang untuk beragama. Mulai dari saat lahir, menempuh pendidikan, menikah, sampai jadi presiden pun harus disumpah "berdasarkan agama dan keyakinannya".

"Kalau tidak beragama, itu dianggap bertentangan dengan ketentuan. Itu menjadi salah satu nalar hakim ketika mengambil keputusan itu," kata Iqbal menyayangkan putusan tersebut.

Dua orang yang menyatakan dirinya agnostik dan ateis soal bagaimana pengadministrasian agama berdampak terhadap hidup mereka.

Aika, 39, terlahir di keluarga yang menganut Kristen. Ayahnya adalah seorang pendeta. Menurut Aika, keluarganya cukup konservatif.

Sejak 2013, Aika menyatakan dirinya sebagai seorang agnostik. Tetapi dia terpaksa masih mencantumkan Kristen dalam kolom agama di KTP-nya sampai saat ini.

"Karena negara maunya begitu, jadi ya sudah deh, aku taruh saja sesuai dengan agama yang pernah aku anut," kata Aika.

Namun situasinya tidak sesederhana itu. Kolom agama di kartu identitas punya pengaruh terhadap hidup Aika. Salah satunya, dalam urusan pernikahan.

Aika tengah menjalin hubungan dengan seorang warga negara asing (WNA) yang juga menyatakan diri tidak beragama. Mereka berencana menikah di Indonesia, tapi hukum yang berlaku tidak memungkinkan.

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

"Kami sedang mencari jalan untuk menikah di luar negeri karena kalau di sini, aku harus ke mana? Karena aku tidak bertempat di mana-mana," tutur Aika.

Dia juga tak mau berkompromi dengan menikah secara Kristen, misalnya.

"Itu menutup peluang bagi kami untuk mengesahkan perkawinan itu di Indonesia. Di sini kan enggak bisa nikah secara sipil saja. Mau nikah saja diribetkan dengan urusan agama," kata dia.

Aika merasa negara telah bertindak diskriminatif terhadapnya. Dia menyayangkan putusan MK yang melanggengkan intervensi negara terhadap keyakinan warganya.

"Agnostik itu juga identitasku sebagai warga negara," tegasnya.

"Kami dilarang mempermainkan agama, tapi ini yang dilakukan negara terhadap warga negaranya. Menurutku jangan salahkan kami karena negara yang memaksaku memeluk agama tertentu," tutur Aika.

Guruh Riyanto mengaku menikahi mantan istrinya—yang beragama Islam—dengan prosesi Katolik. Padahal, Guruh adalah seorang ateis.

"Mau enggak mau [seperti itu] karena itu pengaruhnya ke hak asuh anak. Kalau pernikahan enggak dicatatkan, anak itu menjadi milik ibu saja. Ayahnya enggak diakui, enggak dapat hak asuh," kata Guruh.

Katolik masih tercantum di kolom agama KTP Guruh sampai sekarang.

"Ribetnya gini, anak saja di kartu keluarga harus beragama juga. Akhirnya saya masukkan Buddha," tuturnya.

"Nanti kalau dia sudah umur 17 tahun, dia boleh memilih agamanya sendiri. Cuma kan enggak adil buat anaknya sekarang dipaksa beragama tanpa mengakui hak dan kebebasan dia," ujar Guruh.

Menurutnya, pertimbangan hakim konstitusi soal konsep kebebasan beragama dalam konstitusi itu "tidak masuk akal".

Bagi Guruh, kebebasan semestinya tak memaksa seorang warga negara untuk memilih di antara opsi yang diakui oleh pemerintah.

Persoalan-persoalan itu pula yang dijabarkan oleh Raymond Kamil dan Indra Syahputra ketika memohon agar MK menghapuskan kolom agama.

Hal lainnya, orang yang tidak beragama terpaksa mengikuti pendidikan keagamaan saat bersekolah atau kuliah.

Kedua penggugat juga berargumen bahwa tidak memeluk agama dan kepercayaan bukan pelanggaran hukum atau pidana. Sebabnya, tidak ada aturan perundang-undangan yang secara tegas melarang orang tidak memeluk agama atau kepercayaan.

Walaupun masih ada pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru yang mengatur bahwa menyebarkan ateisme adalah tindak pidana.

Apa pertimbangan MK menolaknya?

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim konstitusi mengatakan bahwa setiap warga negara "harus" menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itu disebut sebagai "keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh konstitusi".

"Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dilansir Kompas.com.

Arief kemudian mengatakan bahwa setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa ada kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara.

Perihal UU Perkawinan yang tidak mengakomodasi hak warga yang tidak beragama, MK berpandangan bahwa perkawinan tidak lepas dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan YME, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut norma agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan diskriminatif," kata Arief.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengatakan kolom agama pada akhirnya justru menjadi alat diskriminasi dan alat persekusi terhadap warga negara. Jadi, urusan sipil dan agama semestinya dipisahkan.

Sulitnya mengesahkan perkawinan hanyalah satu contoh. Kalau ditelusuri lebih lanjut, Halili mengatakan implikasinya menjadi sangat panjang mengingat ada banyak urusan yang berkaitan dengan catatan sipil.

"Layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, asuransi, perbankan, bahkan kredit permodalan untuk usaha itu kan menggunakan catatan sipil," kata Halili.

"Jadi ketika kolom agama menjadi keharusan, kalau dia tidak memilih satu di antara tujuh itu, dia tidak akan punya KTP. Dia tidak akan diakui sebagai warga negara yang berhak mendapatkan layanan dasar. Itu pelanggaran serius," kata Halili.

Absennya keberpihakan negara dalam hal ini, sambung Halili, pada akhirnya membuat orang-orang bersiasat atau berkompromi demi menyelamatkan dirinya sendiri.

Imbasnya, kolom agama menjadi sesuatu yang "dangkal" karena dimaknai sebatas urusan administratif, bukan cerminan spiritualitas seseorang.

"Dalam iklim negara yang demokratis, kolom agama itu tidak relevan. Beragama itu harus lebih substantif. Itu lebih mudah dicapai kalau negara tidak memaksa warganya memilih satu di antara tujuh keyakinan," kata Halili.

Bagaimana asal-usul kolom agama tercantum di KTP?

Akademisi dari Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Samsul Maarif pernah mengatakan bahwa kolom agama baru tercantum di KTP dan kartu keluarga pada 1978.

Saat itu, TAP MPR Nomor 4 Tahun 1978 mewajibkan adanya kolom agama yang harus diisi oleh salah satu dari lima agama yang saat itu diakui oleh pemerintah.

Halili dari Setara Institute menduga kehadiran kolom agama ada kaitannya dengan propaganda anti-komunis rezim Orde Baru usai peristiwa 1965. Jadi menurut Halili, ada unsur politis di baliknya.

"Pada masa itu, yang dianggap secara keberagamaan itu tidak jelas, itu mudah dimasuki oleh ideologi komunis. Itu narasi itu berkembang saat itu sehingga [kolom agama] dianggap sebagai upaya mencegah ekspansi kelompok yang di mata rezim adalah pemicu terjadinya G30S," kata Halili.

Timo Duile dalam penelitiannya berjudul Atheism in Indonesia: State discourses of the past and social practices of the present juga menjelaskan bagaimana rezim Orde Baru mengidentikkan komunisme dan ateisme.

Pelabelan ateis terhadap PKI kemudian menjadi alat propaganda untuk menangkap warga. Kolom agama mempermudah identifikasi.

Pelabelan itu juga berdampak kepada para penganut kepercayaan, yang oleh rezim Orde Baru pernah dianggap sebagai "kebudayaan", bukan agama.

Situasinya membaik bagi para penghayat setelah MK mengabulkan gugatan agar keyakinan mereka diakui oleh negara pada 2017. Penghayat kepercayaan akhirnya bisa menuliskan keyakinan mereka di KTP.

Iqbal Ahnaf dari CRCS mengatakan di satu sisi itu adalah kemajuan bagi para penghayat kepercayaan. Namun di sisi lain, itu juga merupakan bentuk penegasan negara bahwa warga lagi-lagi "harus" beragama.

Akhirnya, mereka yang tidak berafiliasi dengan agama tertentu—seperti agnostik dan ateis—masih tak punya pilihan itu. (*)

Tags : kolom agama, agama di ktp di hapus, hidup sebagai agnostik dan ateis, pernikahan, hak asasi, agama,