PEKANBARU - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) mengeluarkan rekomendasi untuk mendesak negara untuk meninjau ulang imbauan relokasi mandiri warga di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TN Tesso Nilo), Riau, pada 22 Agustus 2025 untuk menghindari terjadinya konflik.
"Komnas HAM kritik soal simbol militer dan relokasi dalam penertiban TN Tesso Nilo."
"Kita sudah rekomendasi masalah TN Tesso Nilo yang pertama adalah meninjau ulang batas waktu relokasi mandiri pada 22 Agustus 2025 sebelum adanya langkah-langkah perlindungan prosedural yang konkrit terhadap masyarakat terdampak untuk mencegah terjadinya konflik," kata Wakil Ketua Internal Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo, Kamis (21/8).
"Kedua, mendorong perumusan kebijakan penertiban kawasan hutan pada kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang didasarkan pada kajian yang komprehensif, termasuk hasil kajian Tim Revitalisasi Ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo 2018 serta hasil Konsultasi Nasional Krisis Tenurial Taman Nasional Tesso Nilo yang pernah diselenggarakan Komnas HAM pada tahun 2016," tegas Prabianto.
Kemudian, lanjutnya, ketiga, memberikan perlindungan prosedural terhadap masyarakat yang terdampak kebijakan penggusuran paksa, utamanya konsultasi yang tulus (genuine consultation), pemulihan hukum (legal remedies), dan alternatif tempat tinggal dan penghidupan yang layak.
"Keempat, menghindari penggunaan kekuatan yang berlebih (excessive use of force) dan simbol-simbol militer pada ranah sipil, serta mengedepankan pendekatan kemanusiaan oleh aparat sipil," tukasnya.
Ia menjelaskan, pihaknya mendapatkan informasi mengenai penyitaan lahan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang diklaim masuk ke Kawasan TN Tesso Nilo di Desa Lubuk Kembang Bunga pada 10 Juni 2025, yang ditandai dengan perobohan tanaman sawit dan penanaman pohon di sebuah lokasi.
Warga yang berjumlah sekitar 30.000 jiwa di 6 desa diminta untuk melakukan relokasi mandiri dengan tenggat waktu sampai dengan 22 Agustus 2025.
"Komnas HAM melakukan pemantauan atas peristiwa tersebut di wilayah sekitar Taman Nasional Tesso Nilo, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau pada 6-9 Agustus 2025," sebutnya.
"Dari hasil pemantauan, Komnas HAM menyimpulkan bahwa: pertama, sebagian besar lahan sawit di Tesso Nilo sebelumnya adalah bekas izin pemanfaatan hutan (IUHHK-HA) yang sudah menjadi semak belukar. Akses jalan HTI yang dibangun sejak awal 2000, dan praktik hibah lahan oleh ninik mamak mendorong masuknya pendatang membuka kebun sawit sejak awal 2000-an," sambungnya.
Kemudian, sambungnya, kedua, selama puluhan tahun, masyarakat lokal dan pendatang melakukan berbagai macam aktivitas di Tesso Nilo, selain bertanam sawit, juga membangun sekolah, rumah ibadah, pemakaman, dan hidup layaknya desa pada umumnya.
Ketiga, kata Prabianto, kehadiran Satgas PKH disertai dengan pembangunan posko Satgas PKH dengan petugas yang terpantau menggunakan seragam dan truk berlogo TNI.
Satgas PKH memasang papan pengumuman soal relokasi mandiri, namun tanpa surat resmi kepada masing-masing warga.
Himbaun untuk tidak menerima murid baru pernah dikeluarkan kepada sekolah-sekolah di Tesso Nilo, namun dibatalkan setelah protes masyarakat.
"Pengumuman relokasi tidak diikuti tawaran solusi alternatif maupun tujuan baru warga yang pindah," ungkapnya.
Selanjutnya keempat, warga yang ditemui Komnas HAM menolak relokasi karena sudah menetap lebih dari belasan tahun dan memiliki kebun sawit yang produktif, sementara itu, warga tidak mendapat tawaran tentang kompensasi dan/atau lokasi tujuan.
Menurut Prabianto, imbauan relokasi tanpa lokasi tujuan dapat menyebabkan orang kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah, dan merupakan pelanggaran hak atas bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak sebagaimana dilindungi dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 11 Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial Budaya.
Dalam kasus ini, sambungnya, masyarakat yang hidup di kawasan TN Tesso Nilo telah bertempat tinggal dan berkehidupan selama setidaknya belasan tahun di wilayah tersebut.
Mereka telah menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan sawit, menjalani kegiatan sosialnya, serta tinggal di kawasan tersebut.
Meskipun masyarakat tidak memiliki kepastian hukum tenurial untuk tinggal dan hidup pada kawasan tersebut, pembiaran yang dilakukan negara secara terus-menerus menjadi faktor yang mendorong adanya warga yang telah bertempat tinggal dan berkehidupan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.
"Oleh karena itu, negara tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan mencabut hak bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak bagi masyarakat tanpa memikirkan solusi lokasi baru dan penghidupan yang layak yang menyertainya," tegasnya.
Sementara Yogi Ramadhan Dwiputra, SH., MH, praktisi hukum yang pernah menerima penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2015 mendukung langkah dilakukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam menertibkan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Ia menyebut apa yang kini dilakukan Satgas bukan sekadar penegakan hukum, melainkan upaya penyelamatan aset negara yang selama ini ditelantarkan oleh banyak pihak.
“Sudah terlalu lama negara seolah tutup mata terhadap perambahan di Tesso Nilo. Maka ketika ada keberanian seperti ini, harus didukung penuh,” ujarnya, Rabu (18/6) lalu.
Tesso Nilo, kawasan konservasi penting di jantung Sumatera, kini tak lebih dari bentangan kebun sawit yang terus melebar.
Di atas kertas, kawasan ini dilindungi oleh SK Menteri Kehutanan No. 255/Menhut/2004 dan perluasan melalui SK No. 663/Menhut-II/2009 dengan total luas 83.068 hektare.
Namun, di lapangan, batas konservasi itu telah dilubangi oleh kepentingan ekonomi dan ketidakpedulian birokrasi.
Yogi menyebut, pemerintah pusat sejak 2005 telah berkali-kali mengingatkan pemerintah daerah untuk bertindak tegas terhadap pemukiman dan aktivitas ilegal di TNTN.
“Ada surat Gubernur, Menteri Kehutanan, hingga Dirjen Gakkum, semuanya mengarah pada satu hal: larangan aktivitas dalam kawasan,” katanya.
Namun, surat-surat itu hanya menjadi dokumen tanpa tindak lanjut nyata.
Salah satu sorotan Yogi tertuju pada pembentukan Desa Bagan Limau, yang didirikan di dalam kawasan TNTN.
Perda pembentukannya, menurut Yogi, bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan dan Konservasi.
“Anehnya, meski Kementerian Dalam Negeri dan KLHK sudah berkali-kali meminta agar perda itu ditinjau ulang, tidak ada langkah nyata dari pemerintah daerah,” ujarnya.
Di antaranya adalah surat Menteri Kehutanan S.133/Menhut-II/2013, surat Dirjen PMD Kemendagri tahun 2009, dan surat Kepala Balai TNTN S.383/IV-T45/2008.
Semua mengarah pada satu kesimpulan: desa tersebut tidak boleh ada. Namun, aktivitas tetap berlangsung. Sawit tetap tumbuh.
Bahkan, sebagian kawasan TNTN kini dikuasai oleh kelompok masyarakat yang menyatakan sebagai “penduduk lama”.
“Ini bukan soal tidak tahu. Ini soal pembiaran,” kata Yogi.
Ia mendesak agar Jaksa Agung turun tangan, menelisik dugaan unsur pidana dalam pembiaran itu.
Ia mengacu pada Pasal 28 dan Pasal 105 UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang memungkinkan pejabat publik turut dimintai pertanggungjawaban.
Yogi juga mempertanyakan sikap Pemerintah Kabupaten Pelalawan pada masa lalu.
“Kenapa surat dari pusat tidak digubris? Apakah ada kepentingan ekonomi di balik pembiaran ini?” ujarnya.
Terkait aksi unjuk rasa sebagian warga terhadap penertiban Satgas PKH, Yogi menilai itu sebagai ironi.
“Seolah-olah tidak pernah ada peringatan. Padahal peringatan sudah berulang kali. Sosialisasi pun dilakukan. Tapi dibiarkan berkembang menjadi seolah legal.”
Kini, dengan pemasangan plang dan penyitaan kebun sawit, negara mencoba mengambil kembali haknya.
Tapi persoalan di Tesso Nilo bukan hanya soal pohon yang ditebang dan lahan yang ditanami sawit.
Ini juga tentang kegagalan tata kelola, ketidakpatuhan terhadap hukum, dan abainya negara di masa lalu.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” ujarnya. (*)
Tags : Komnas HAM, Kritik, Simbol Militer, Penertiban TNTN, Relokasi,