KONSTELASI politik di pemilihan kepala daerah [pilkada] serentak tahun 2024 mulai ditakar. Jadwal pesta demokrasi ini kans memunculkan 272 pelaksana tugas [plt] kepala daerah.
Publik merespon. Isu soal ratusan petahana yang kans kehilangan panggung politik hingga potensi politisasi plt, diangkat.
Tarik ulur jadwal Pilkada 2024 memang masih menjadi perdebatan panas para elit partai politik di Senayan. Namun melihat arah politik saat ini, kubu pendukung pilkada serentak 2024 yang dimotori enam fraksi di atas kertas.
Di sisi lain, konstelasi ini dinilai akan memunculkan dampak kerugian bagi para petahana yang akan maju mencalonkan diri. Sebab jelang Pilkada 2024 akan ada 272 plt yang ditunjuk untuk menduduki posisi kepala daerah yang berakhir masa jabatnya pada 2022 dan ada yang 2023.
Sesuai data yang dihimpun, pada 2022 terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya.
Lalu ada 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada 2023. Mereka yang habis masa jabatannya ini adalah kepala daerah hasil Pilkada 2017 dan 2018.
Publik pun mulai menanggapi jadwal Pilkada 2024 ini.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai partai penguasa paling diuntungkan jika Pilkada diadakan pada 2024.
"Partai yang akan diuntungkan adalah partai penguasa. Kepala daerah plt [pelaksana tugas] sudah dikaveling, dibagi-bagi," kata Pangi Syarwi Chaniago pada media, Rabu (3/2).
Menurut dia, kepala daerah plt pasti akan bekerja tegak lurus pada sumber kekuasaan dan dapat berdampak pada politisasi PNS atau ASN.
Pangi juga meragukan kepala daerah plt bisa bersikap netral.
"Tentu tidak makan gratis dalam politik, harus saling menguntungkan. Maka bukan tidak mungkin kepala daerah plt akan bekerja untuk agenda kepentingan Pilpres 2024," ujarnya.
Pangi menuturkan banyak kepala daerah yang dizalimi karena masa jabatannya berkurang hanya demi ambisi Pilkada serentak 2024.
Publik, kata dia, layak curiga mengenai kepentingan apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan pemerintah dengan menolak revisi UU Pemilu.
Apalagi, kata Pangi, pemerintah pernah beralasan tidak mau ada pelaksana tugas yang menjabat bersamaan di 270 wilayah ketika menyelenggarakan Pilkada 2020.
"Argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek Pilkada serentak di tahun 2022 dan 2023?" tutur dia.
Hal yang sama dikatakan Ketua Konstitusi dan Demokrasi [Kode] Inisiatif Veri Junaidi.
Dia menyebutkan untung dan rugi bila Pilkada serentak digelar pada 2024 atau bersamaan dengan Pemilu.
Veri menilai, partai dengan suara terbanyak seperti PDIP akan diuntungkan jika pelaksanaan pilkada digelar pada 2024.
"Secara politik, partai perolehan suara terbanyak tentu akan diuntungkan. Misalnya seperti PDIP," kata Veri, Rabu (3/2).
Veri menjelaskan dengan model pemilihan serentak yang berbeda bulan [pemilihan legislatif dan presiden pada Juni, pilkada digelar November], PDIP akan diuntungkan. Sebab mereka dapat memanfaatkan efek pemilihan presiden dan legislatif bulan sebelumnya.
Adapun kerugian akan dialami pihak penyelenggara Pemilu atau Pilkada. Veri menilai beban Komisi Pemilihan Umum [KPU] maupun Bawaslu akan semakin berat karena penyelenggaraannya sangat rumit.
"Karena ada tahapan yang beririsan antara Pileg, Pilpres dengan Pilkada. Dengan serentak 2024 itu Juni Pileg-Pilpres, November Pilkada," ucap Veri.
Model pemilihan serentak 2024, kata Veri, juga menghilangkan Pilkada 2022 dan 2023.
Dampaknya, menurut dia, tokoh muda baru seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa akan kehilangan panggung politik menjelang pemilu nasional.
Polemik penyelenggaraan pilkada terus bergulir. Pelaksanaan Pilkada pada 2024 menarik perhatian banyak pihak yang setuju dengan normalisasi keserentakan pilkada, yakni menjadi 2022-2023.
Politikus Partai Demokrat, Andi Arief memiliki pandangan sendiri jika pilkada serentak digelar 2024.
Menurut dia, jika pilkada digelar 2021 akan ada 272 Plt kepala daerah untuk mengisi kepala daerah yang masa jabatannya habis 2022-2023.
Dia mengkhawatirkan 272 kepada daerah itu akan menimbulkan dampak, yakni ajang politisasi Plt kepala daerah.
"Pilkada dipertahankan 2024. Ada 272 Plt yang seharusnya terisi dengan Pilkada 2022 dan 2023. Paling dikhawatirkan adalah 272 kepala daerah tersebut jadi ajang politisasi ASN. Partai dapat jatah kepala daerah Plt. Mudah-mudahan ini tidak terjadi," kata Andi Arief melalui akun Twitternya, @Andiarief.
Senada Anggota Komisi II dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera.
Menurut dia, kehadiran plt di banyak daerah bisa membuat pemda sangat tidak efektif karena tidak dipimpin oleh kepala daerah definitif.
“Apalagi di masa pandemi, dengan refocusing anggaran, pengambilan keputusan yang sangat fundamental, diperlukan kepala daerah definitif yang memiliki mandatory politik yang kuat,” paparnya.
Perlu evaluasi
Peneliti senior politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Siti Zuhro, menilai, jarak ideal antara pemilu dan pilkada adalah 2,5 tahun atau setengah dari masa jabatan.
Jarak tersebut cukup ideal bagi publik untuk bisa mengevaluasi kinerja pemerintah, dalam hal ini parpol yang mengusung kandidat mengisi jabatan-jabatan politik.
Menurut dia, pemerintah dan DPR perlu belajar dari pelaksanaan Pemilu 2019 yang menimbulkan kegaduhan, kerusuhan, serta kematian petugas KPPS.
Asumsi pemilu serentak yang efektif dan efisien yang berdampak positif terhadap penyelenggaraan ternyata tidak terbukti.
Yang terjadi justru kekisruhan karena di tataran teknis jauh lebih rumit dan menguras tenaga penyelenggara pemilu.
”Lantas bagaimana jika pemilu nasional dan pilkada disatukan dalam tahun yang sama? Ini akan luar biasa rumit dan menguras tenaga karena dengan pemilu nasional saja sudah amat rumit, apalagi ditambah pilkada di 542 daerah,” tutur Siti.
Tak hanya regulasi tentang jadwal pelaksanaan Pilkada 2024 yang perlu diubah, regulasi tentang penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah di masa pandemi juga harus diperkuat.
Pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi yang menyisakan sejumlah persoalan menunjukkan regulasi yang ada belum sepenuhnya mampu menyelesaikan masalah di berbagai tahapan pemilu.
Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia [UI], Rahmad Arif, dalam risetnya menemukan, sejumlah regulasi yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pelaksanaan berbagai tahapan Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] 2020 belum efektif.
Bahkan regulasi berupa Peraturan KPU [PKPU] tersebut cenderung sulit diimplementasikan oleh KPU daerah.
”Ada jeda waktu yang tidak ideal dari penyusunan PKPU sampai terbitnya regulasi tersebut yang mendekati tahapan pemilu sehingga KPU di daerah merasa kewalahan mengimplementasikan regulasi tersebut,” kata Rahmad.
Polemik jadwal pilkada ditanggapi pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri [Kemendagri].
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar mengatakan, Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] di 34 Provinsi di Indonesia dilakukan secara serentak di tahun 2024 sesuai dengan amanat dan konsisten peraturan Undang-Undang yang ada.
Bahtiar menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota merupakan perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015.
Dalam perubahan, diantaranya mengamanatkan perubahan keserentakan nasional yang semula dilaksanakan pada 2020 menjadi 2024.
"Nah oleh itu, kami berpendapat bahwa UU ini mestinya dijalankan dulu, tentu ada alasan-alasan filosofis, ada alasan-alasan yuridis, ada alasan sosiologis, dan ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan di tahun 2024,” ungkap Bahtiar di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat.
Dia melanjutkan, Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 pasal 201 ayat 5 disebutkan bahwa “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2020.”
Kemudian, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dalam pasal 201 ayat 8 menjadi “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.”
"Mestinya pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetap sesuai dengan UU yang ada, yaitu dilaksanakan serentak di seluruh wilayah negara indonesia pada tahun 2024,” tegasnya. (*)
Tags : konstelasi politik, pilkada serentak 2024, pilkada rugikan petahana,