PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Koalisi Eyes on the Forest (EoF) mengatakan penyelesaian kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan melalui Undang-Undang Cipta Kerja harus mengusung asas berkeadilan dan transparan.
"Korporasi pelanggar sawit ilegal perlu dihukum mengganti kerugian negara dalam bentuk denda."
“Tidak selamanya hukuman pidana dianggap solusi, terutama jika kekayaan negara dan ekosistem hutan tidak bisa dikembalikan dari praktik bisnis ilegal yang sebagian besar sudah berjalan belasan hingga puluhan tahun,” kata Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali, yang juga bagian dari koalisi EoF melalui keterangan persnya.
Menurutnya, sanksi untuk menghindari klaim pengampunan bagi korporasi sawit. Dengan kata lain, korporasi tetap harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan.
Perusahaan perkebunan yang melanggar tidak harus dikenakan hukuman pidana. Menurutnya, sebaliknya korporasi dapat mengganti kerugian negara dalam bentuk denda.
"Seperti pada hitungannya berdasarkan saat durasi pembukaan lahan, luas, dan tarif denda tutupan hutan saat kebun sawit ilegal digunakan korporasi," sebutnya mencotohkan yang sebelumnya telah dikemukakan Jikalahari ini pada, Kamis 1 September 2022 lalu.
"Jumlah kebun sawit ilegal oleh perusahaan di Indonesia cukup masif."
"Tetapi kembali menyikapi data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), perkebunan sawit haram tersebut mencapai 3,3 juta hektare," kata Made Ali.
"Untuk provinsi seperti Riau, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Jambi, dan Sumatra Selatan juga memiliki luas kebun ilegal paling besar," sebutnya.
Laporan investigasi spasial dan verifikasi lapangan yang dipublikasikan EoF pada 2021 menguak adanya 43 kebun sawit di dalam kawasan hutan di Riau. Jumlah ini ditengarai sebagai sampel dari indikasi jumlah lebih besar.
Menurut EoF, selama beroperasi, korporasi menikmati keuntungan tanpa membayar pajak belasan tahun lamanya atau lebih.
Sedangkan temuan Pansus Monitoring Perizinan Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan DPRD Riau pada 2016 menemukan 378 perusahaan sawit beroperasi di dalam kawasan hutan, seluas 1,8 juta hektare.
Dari potensi pajak yang tidak dibayarkan mencapai Rp 19,6 triliun per tahun. Di antaranya pajak perkebunan Rp 9,4 triliun dan pabrik kelapa sawit mencapai lebih dari Rp 10,2 triliun.
Selain itu, investigasi lapangan EoF pada 2019 menemukan lebih dari 5% kebun sawit ilegal di Riau tanpa izin Hak Guna Usaha di kawasan hutan dan area penggunaan lain (APL) seluas 129.948 hektare. Area ini dikelola oleh satu koperasi unit desa, tiga perseorangan (cukong), dan 39 perusahaan.
“Dalam pemantauan EoF, mayoritas perkebunan sawit ilegal melakukan konversi hutan alam untuk sawit sejak 10 hingga 25 tahun silam. Ini menunjukkan kronisnya masalah ini dengan kerugian negara yang masif. Sebab pelanggaran ini tak tertangani selama belasan tahun,” ujar Koordinator EoF Nursamsu.
EoF menilai banyak perkebunan sawit ilegal yang tidak layak mendapat “kartu bebas dari penjara”. Perusahaan pelanggar justru harus dipersulit dan diwajibkan membayar biaya mahal atas pelanggaran yang mereka lakukan di masa silam.
“Pengampunan bagi kebun sawit ilegal ibarat fatamorgana dan cenderung menyesatkan,” ujar Made Ali lagi.
“Koalisi EoF sudah memperingatkan tahun silam, berdasarkan kajian implikasi hukum dari UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah secara detail. Para pebisnis sawit tidak seharusnya berharap UU Cipta Kerja akan secara otomatis melegalkan semua kebun sawit yang bermasalah,” tambahnya.
Agustus lalu, KLHK kembali dikritik usai memberi ampunan pada 73 perusahaan sawit dan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan. Dalam pandangan Walhi, pengampunan tersebut tidak sah lantaran menggunakan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam kajian terkait sawit ilegal dalam kawasan hutan, EoF menyimpulkan tidak semua kebun sawit ilegal yang eksisting sebelum berlakunya UU Cipta Kerja akan dilegalkan oleh UU Cipta Kerja. Selain itu, hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi harus dikembalikan kepada negara melalui sanksi administratif.
Menurut Nursamsu, pihaknya mendukung KLHK mengembalikan kawasan hutan lindung dan konservasi yang dijadikan kebun sawit untuk direstorasi ke ekosistem semula.
Nursamsu mengatakan, penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan harus mempertimbangkan petani sawit swadaya dengan maksimal luas kelola 5 hektare dan berusia lima tahun. Menurutnya, petani dalam kategori ini harus dikecualikan dari sanksi administratif karena rentan gejolak sosial.
Pemerintah juga harus melindungi kepentingan masyarakat agar tidak dimanfaatkan oleh korporasi. Nursamsu mengatakan hal ini terjadi di berbagai provinsi sentra sawit.
“Betapapun, para pemain besar sawit termasuk cukong, jangan sampai memanfaatkan peluang ini dengan berkedok sebagai koperasi ataupun berlindung atas nama masyarakat lokal,” terang Nursamsu.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi IV DPR-RI Juni lalu, anggota koalisi menampilkan analisis dan rekomendasi terkait laporan sawit ilegal di 43 kebun di Riau.
“Adanya perusahaan bermodal yang berkamuflase sebagai koperasi tani untuk mengelak dari proses hukum, tentu menggelikan dan perlu tindakan tegas dari penegak hukum,” ujar Nursamsu.
Koalisi mendukung KLHK untuk tidak terpengaruh dengan manuver pemain sawit yang menginginkan pengampunan dalam penyelesaian sawit ilegal dalam kawasan hutan.
Pemerintah diharapkan dapat melibatkan masyarakat sipil dalam membantu pendataan dan pemantauan proses penyelesaian sawit dalam kawasan, termasuk pengembalian hutan lindung dan area konservasi.
“Yang penting partisipasi bermakna benar-benar dimaknai oleh pemerintah bahwa pendapat publik didengarkan, dipertimbangkan, dan pemerintah memberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan,” pungkas Made.
378 perusahaan sawit tak memiliki izin
Wakil Koordinator Jikalahari, Made Ali juga mengatakan, sebanyak 378 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau tidak memiliki izin pelepasan kawasan.
“Dari 513 perusahaan, 378 tidak punya izin,” kata Made dalam konferensi pers di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW).
Perusahaan yang tak memiliki izin tersebut mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan, atau berstatus ilegal. Luas perkebunan sawit yang berstatus ilegal mencapai 2.494.484 hektar.
Made menyoroti salah satu perusahaan dari 378 perusahaan yang bermasalah dalam perizinan, yaitu PT. Setia Agrindo Lestari (SAL). Dari PT. SAL saja, kerugian negara akibat penerbitan izin yang bermasalah berjumlah besar. “Mencapai 71 Milyar lebih,” jelasnya.
Jumlah tersebut didapat dari penerbitan dan pemanfaatan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP). Sedangkan dari dana reboisasi (DR) kerugian mencapai 1.075,8 dollar.
Jikalahari, ICW, dan beberapa lembaga di Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah telah melaporkan beberapa temuan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Agustus 2016 lalu. Temuan didapat dari investigasi yang telah dilakukan.
Lais Abid, anggota Divisi Investigasi ICW mengatakan, pelaporan dilakukan jika melihat bukti yang telah cukup. “Dari 378, salah satu yang kita lihat dan buktinya kuat ya PT. SAL ini’,” katanya.
Ia lalu meminta KPK untuk segera mengusut kasus dugaan korupsi yang telah dilaporkan tadi. “KPK harus lebih intensif, kami sangat mendorong penegak hukum memproses kasus-kasus di sektor sumber daya alam,” ujarnya. (*)
Tags : Korporasi, Perusahaan Sawit Pelanggar Aturan, Perusahaan Sawit di Riau, Perusahaan Sawit Ilegal perlu Dihukum, Perusahaan Sawit Melanggar Aturan Bukan untuk Diampuni, News,