PEKANBARU - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara mengenai operasi tangkap tangan (OTT) yang turut menjerat Gubernur Riau, Abdul Wahid. Kasus tersebut diduga berkaitan dengan penambahan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Riau.
"Kecenderungan kuat bahwa mereka (10 orang) yang di bawa ke Jakarta akan ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani proses hukum hingga vonis bersalah, yang berarti mereka tidak kembali ke jabatannya di daerah."
"Khusus untuk kepala daerah yang dibawa KPK ke Jakarta biasanya tak kembali, ini kecenderungan kuat bahwa mereka akan ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani proses hukum hingga vonis bersalah, yang berarti mereka tidak kembali ke jabatannya di daerah," kata Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana, Selasa.
Menurutnya, yang dipangil atau dibawa ke Jakarta mayoritas menjadi terpidana: Berdasarkan data dan berbagai laporan, sebagian besar kepala daerah yang ditangani oleh KPK akhirnya menjadi terpidana korupsi.
Sementara KPK saat ini masih mendalami dugaan adanya praktik jatah preman (Japrem) terkait kasus Abdul Wahid.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara mengenai operasi tangkap tangan (OTT) yang turut menjerat Gubernur Riau, Abdul Wahid. Kasus tersebut diduga berkaitan dengan penambahan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Riau.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penyidik menemukan adanya praktik “jatah preman” yang melibatkan kepala daerah dalam proses penambahan anggaran.
“Terkait penambahan anggaran di Dinas PUPR, kemudian ada semacam ‘japrem’ atau jatah preman sekian persen untuk kepala daerah, itu modus-modusnya,” ujar Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/11).
Menurut Budi, Dinas PUPR Riau membawahi sejumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang juga akan didalami keterlibatannya dalam kasus tersebut.
Sebelumnya, KPK menyita uang senilai Rp1,6 miliar dalam rangkaian OTT terhadap Abdul Wahid. Uang itu ditemukan dalam berbagai bentuk mata uang, mulai dari rupiah hingga valuta asing.
“Tim juga mengamankan barang bukti berupa uang dalam bentuk rupiah, dolar Amerika, dan poundsterling. Jika dirupiahkan, totalnya sekitar Rp1,6 miliar,” kata Budi.
Dalam operasi tersebut, 10 orang diamankan, termasuk Gubernur Riau. Namun, KPK belum mengumumkan secara resmi siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Pengumuman akan dilakukan pada Rabu 5 November 2025 ini.
KPK juga turut menangkap Tata Maulana, orang kepercayaan Gubernur Riau Abdul Wahid, dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin 3 November 2025.
Tata sempat melarikan diri bersama Abdul Wahid saat tim KPK hendak melakukan penangkapan. Namun, keduanya akhirnya berhasil diamankan di sebuah kafe di Riau.
Setelah ditangkap, Tata Maulana diterbangkan ke Jakarta dan tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa (4/11/2025) sekitar pukul 18.56 WIB.
Ia tampak mengenakan kaus oranye dibalut rompi coklat, celana panjang hitam, sepatu hitam, serta menggendong tas ransel.
Tata memilih bungkam saat dicecar pertanyaan oleh awak media dan langsung diarahkan masuk ke lobi gedung KPK. Saat ini, ia bersama sembilan orang lainnya masih menjalani pemeriksaan intensif di Gedung Merah Putih KPK.
Daftar 10 Orang yang Diamankan KPK
Dalam operasi tersebut, KPK mengamankan 10 orang, sembilan ditangkap langsung saat OTT dan satu menyerahkan diri. Mereka adalah:
Sementara informasi yang diperoleh suudah ada 3 orang yang dibebaskan, yakni:
Penangkapan Abdul Wahid dan para pejabat Pemprov Riau ini diduga berkaitan dengan kasus pemerasan dalam penambahan anggaran di Dinas PUPR.
“Perkara ini terkait penganggaran, yaitu adanya penambahan anggaran di Dinas PUPR yang kemudian masuk modus dugaan tindak pemerasan,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (4/11).
Budi mengungkap, sebagian dana penambahan anggaran tersebut mengalir ke Gubernur Riau dalam bentuk “jatah preman” atau japrem.
“Terkait penambahan anggaran di Dinas PUPR, ada semacam japrem sekian persen untuk kepala daerah. Itu modus-modusnya,” jelas Budi.
Dalam OTT ini, KPK menyita uang tunai senilai Rp1,6 miliar dalam berbagai mata uang rupiah, dolar AS, dan poundsterling.
Uang rupiah ditemukan di Riau, sementara mata uang asing disita dari rumah saudara Abdul Wahid di Cilandak, Jakarta Selatan.
Menurut KPK, uang tersebut diduga merupakan bagian dari penerimaan sebelumnya yang telah diterima Abdul Wahid sebelum OTT dilakukan.
Tetapi kembali disebutkan Larshen Yunus yang menurutnya, KPK memiliki tingkat keberhasilan dalam penuntutan yang sangat tinggi, dengan persentase vonis bersalah mencapai hampir 100% untuk kasus-kasus yang mereka bawa ke pengadilan.
Jumlah kasus: Sejak 2004 hingga Mei 2025, KPK telah menjerat lebih dari 200 kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Wali Kota) dalam kasus korupsi.
Proses hukum di Jakarta: Penahanan dan proses penyidikan dilakukan di Jakarta (atau di fasilitas KPK di daerah, namun di bawah koordinasi KPK Pusat) untuk memudahkan proses hukum dan menghindari intervensi lokal.
Setelah melalui proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di Pengadilan Tipikor, yang umumnya juga berada di Jakarta, sebutnya, para kepala daerah yang terbukti bersalah akan menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Larshen mengaku pernah mencatat rata-rata vonis hakim terhadap kepala daerah yang ditangani KPK adalah sekitar 6 tahun penjara (data 2018), menunjukkan keseriusan tindak pidana yang dilakukan.
Jadi menurutnya, istilah "tak kembali" dalam konteks ini berarti bahwa karier politik kepala daerah tersebut berakhir dan mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. (*)
Tags : komisi pemberantasan korupsi, kpk, kpk tangkap gubernur riau, gubernur abdul wahid, kasus gubernur abdul wahid, News,