News   2025/09/15 16:16 WIB

KPK Harus Berani Periksa 'Kantong' Para Anggota DPR RI Terkait Dana CSR BI, Praktisi Hukum: 'Itu Bukan Tupoksi mereka dan Tak Wajib Disalurkan'

KPK Harus Berani Periksa 'Kantong' Para Anggota DPR RI Terkait Dana CSR BI, Praktisi Hukum: 'Itu Bukan Tupoksi mereka dan Tak Wajib Disalurkan'

PEKANBARU – Dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi sorotan publik.

Kasus yang menjerat dua anggota lesislatif dari Komisi XI ini menambah deretan cerita buram tentang kejahatan korupsi di negeri ini.

Dana CSR semestinya dipakai untuk membantu masyarakat yang membutuhkan fasilitas umum hingga pemberdayaan ekonomi. Tapi yang terjadi kedua legislator itu malah memanfaatkan untuk keuntungan pribadi. 

Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana , Larshen Yunus mengkritik keras ulah anggota DPR tersebut yang tertulis bahwa nama Abdul Wahid, yang sekarang menjabat Gubernur Riau ikut terlibat.

Menurutnya, tindakan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip hukum dan ketentuan perundang-undangan.

Dijelaskan Larshen, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seorang anggota DPR RI tidak mencakup urusan pengelolaan maupun penyaluran dana CSR.

“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) adalah komitmen perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan ini awalnya hanya diwajibkan bagi perusahaan pengelola sumber daya alam,” ujarnya, Senin (15/9/2025).

Larshen juga menggarisbawahi, BI dan OJK secara hukum bukanlah institusi yang diwajibkan menyalurkan CSR, apalagi melibatkan pihak legislatif dalam mekanismenya.

“Keterlibatan anggota DPR dalam proses penyaluran CSR berpotensi melanggar etika jabatan dan dapat menimbulkan konflik kepentingan,” tambahnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sejumlah proposal yang diajukan dan disalurkan melalui jaringan H. Satori diduga tidak sesuai prosedur dan peruntukan.

Fakta inilah lanjut Larshen, yang menjadi salah satu dasar bagi Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menetapkan H. Satori sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) CSR BI dan OJK. 

"Kasus ini diperkirakan akan menjadi preseden penting dalam penegakan hukum terkait penyalahgunaan dana CSR oleh pejabat publik, proses hukum harus berjalan secara transparan untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah praktik serupa terulang di masa depan," pungkasnya.

Sebelumnya, KPK telah memeriksa sejumlah saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi (TPK) dan pencucian uang (TPPU) terkait penyaluran dana CSR dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis 11 September 2025.

Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi bahwa salah satu yang diperiksa adalah anggota DPR RI Komisi XI, Satori (ST), yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

“Benar, hari ini dilakukan pemeriksaan terhadap Saudara ST dalam perkara dugaan TPK penerimaan gratifikasi dan TPPU terkait pengelolaan dana bantuan sosial dari BI dan OJK,” kata Budi.

Selain ST, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi lainnya yang berasal dari unsur DPR RI, BI, OJK, serta pihak swasta.

Daftar Saksi yang Diperiksa (Kamis, 11 September 2025):

  • Tri Subandoro – Mantan Analis Implementasi PSBI Bank Indonesia
  • Mohammad Jufrin – Anggota Badan Supervisi OJK
  • Puji Widodo – Kepala Divisi Relasi Lembaga Publik 2 BI
  • Pribadi Santoso – Kepala Departemen Keuangan BI
  • Satori – Anggota DPR RI Komisi XI (Tersangka)
  • Rusmini – Kepala Desa/Kuwu Panongan
  • Fillianingsih Hendrata – Deputi Gubernur BI
  • Ecky Awal Mucharam – Anggota DPR RI Komisi XI
  • Dolfie Othniel Frederic Palit – Anggota DPR RI Komisi XI
  • Sahruldin – Wiraswasta
  • Haror Priyanto – Kasir Dolarasa Money Changer
  • Yustisiana Susila – Pegawai Legal BI

KPK sebelumnya telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yaitu Satori (ST) dan Heri Gunawan (HG).

Keduanya merupakan anggota Komisi XI DPR RI periode 2020–2022, saat dugaan korupsi ini terjadi.

Lembaga antirasuah mengungkap bahwa Komisi XI DPR RI memiliki kewenangan dalam proses penetapan anggaran untuk BI dan OJK.

Dana CSR dari dua lembaga tersebut disalurkan ke anggota Komisi XI untuk mendukung berbagai kegiatan sosial. Namun, dana tersebut diduga tidak digunakan sesuai peruntukan.

Menurut KPK, Satori diduga menerima dana sebesar Rp12,52 miliar, sedangkan Heri Gunawan menerima sekitar Rp15,86 miliar.

Keduanya juga diduga melakukan TPPU, seperti membangun showroom (ST) dan membeli rumah serta mobil (HG) dari dana CSR tersebut.

KPK menyebutkan bahwa sebanyak 44 anggota Komisi XI DPR RI diduga turut menerima dana CSR dari BI dan OJK. Di antara mereka terdapat tiga nama dari daerah pemilihan (Dapil) Riau:

  • Abdul Wahid (PKB), kini Gubernur Riau – Dapil Riau 2
  • Marsiaman Saragih (PDIP) – Dapil Riau 2
  • Jon Erizal (PAN) – Dapil Riau 1

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, hingga berita ini diturunkan, baik Satori maupun Heri Gunawan belum ditahan oleh KPK.

Tetapi Larshen Yunus yang juga Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pust Jakarta itu minta KPK harus berani memeriksa seluruh kantong anggota Komisi XI DPRI yang diduga melakukan penyelewengan dana program sosial Bank Indonesia (PSBI) dan juga memeriksa Gubernur BI Perry Warjiyo dan Gubernur Riau Abdul Wahid.

Menurutnya, KPK jangan mau diintervensi pihak manapun dan mengungkap ke mana saja aliran dana bantuan sosial dari BI itu mengalir. 

“Semua harus diperiksa dan dipanggil ke KPK. Dan KPK jangan terhipnotis dengan mantra BI seperti rahasia perbankan. Itu dana sosial itu bukan milik anggota dewan atau Gubernur BI yaa,” kata Larshen.

Menurutnya, semua harus ada pertanggungjawaban baik dari sisi DPR maupun BI tentang aliran dana sosial tersebut. “Semua harus diminta pertanggungjawabannya,” tegasnya. 

Larshen menganalogikan orang yang menelan dana sosial BI itu seolah seperti mendapatkan warisan dari nenek moyang yang tidak perlu meminta pertangggungjawaban.

“Mereka sangka dana sosial seperti CSR ini tidak akan muncul ke publik atau di kamar pemeriksaan KPK, makanya mereka menikmati sekali tuh dana sosial tersebut seperti milik nenek moyang mereka saja?” tutupnya. 

Sekarang, KPK tengah mengusut dugaan penyelewengan dana program sosial BI yang diduga mengalir ke kantong-kantong anggota Komisi XI DPR RI. (*) 

Tags : korupsi dana CSR BI-OJK, kasus CSR BI-OJ, kasus CSR BI-OJK, Komisi XI DPR, larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana, Larshen Yunus Direktur HMPP Satya Wicaksana, News ,