PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata meminta Pemprov Riau untuk menertibkan keberadaan kebun kelapa sawit ilegal diperkirakan seluas 1 juta hektare di Riau.
"Penertiban kebun sawit ilegal tidak diinginkan seperti hanya cerita lama."
Indonesian Corupttion Investigation (ICI) dalam pernilaiannya justru melihat pernyataan pimpinan KPK adalah wacana dan cerita lama.
"Mustahil, tanpa penindakan kondisi ini bisa ditertibkan. Justru, selama ini institusi yang memiliki kewenangan untuk menertibkan kebun sawit ilegal tersebut pasif, cuek dan tak melakukan apa-apa pada kebun sawit ilegal itu," kata Koordiantor ICI, H Darmawi Wardhana Zalik Aris, Minggu (20/5).
"Alih-alih melimpahkan tindakan penertiban kebun sawit ilegal ke Pemprov Riau, otoritas yang memiliki kewenangan powerfull tak melakukan apa-apa," kata Darmawi Wardhana lagi yang juga selaku Ketum LMR ini.
Alexander yang hadir dalam acara penandatanganan kesepakatan bersama Pemda se Riau dalam rangka peningkatan penerimaan daerah dan negara di Pekanbaru, Kamis 2 Mei 2023 menyebut, kebun sawit ilegal tersebut dikuasai oleh sejumlah korporasi, namun tidak pernah membayar pajak ke negara.
Pernyataan pimpinan KPK tersebut dinilai oleh ICI sebagai wacana dan cerita lama. Bahkan, 'perintah' untuk menertibkan kebun sawit ilegal khususnya yang berada di dalam kawasan hutan tersebut salah alamat.
Darmawi Wardhana kembali menyebutkan, Pemprov Riau tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menertibkan kebun sawit ilegal tersebut Terlebih kebun yang berada di dalam kawasan hutan.
"Kewenangan yang besar justru dimiliki oleh Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Kepolisian, Kejaksaan, Dirjen Pajak dan tentunya KPK sendiri."
"Hanya institusi hukum yang memiliki kewenangan besar yang mampu menertibkan sengkarut pengelolaan lahan dan hutan secara ilegal di Riau itu," sebutnya.
"Bukan bermaksud mengecilkan peran dan kemampuan aparatur Pemprov Riau, tapi tanpa ada penegakan aturan hukum, maka penguasaan hutan lahan secara ilegal hanya akan menjadi cerita usang tanpa penyelesaian dan cenderung berpotensi menjadi ladang permainan hukum dan kebijakan," kata Darmawi.
Darmawi mengaku heran mengapa KLHK yang memiliki otoritas pengawasan dan pengelolaan hutan tak kunjung menertibkan kebun sawit ilegal.
Apalagi, kebun sawit ilegal tersebut justru banyak yang berada di kawasan hutan lindung dan konservasi. Hal yang sama juga tidak dilakukan oleh institusi kepolisian dan kejaksaan.
"Aparat hukum juga terkesan pasif. Dirjen Pajak cuma lebih banyak menunggu. Sementara, jajaran pemda konsentrasinya tersita mengurusi hal-hal rutinitas. Saya kira KPK yang harus konkret menuntaskan penyelesaian masalah ini, gak cuma rekomendasi dan wacana doang," ujarnya.
Padahal, lanjut Darmawi pada dua tahun lalu, DPRD Riau pernah membentuk Panitia Khusus (pansus) monitoring perizinan lahan dan hutan di Riau.
Pansus dalam laporan kerjanya menyebut sebanyak 190 perusahaan kelapa sawit di Riau terbukti tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP.
Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas negara.
"Tapi, hasil kerja Pansus itu sekadar macan kertas saja. Padahal, Pansus telah menguak fakta soal hilangnya potensi penerimaan negara dari tata kelola lahan dan hutan tersebut. Tapi, siapa yang mau peduli?" jelasnya.
Darmawi juga menilai, kecilnya perhatian pemda untuk mengurusi masalah kebun sawit ilegal disebabkan minimnya insentif dan penerimaan daerah dari sektor perkebunan dan kehutanan.
Hal ini menyebabkan keengganan aparatur pemda untuk mengejar penyimpangan yang terjadi, karena daerah tak mendapat manfaat penerimaan secara langsung dalam jumlah optimal dari sektor perkebunan dan kehutanan.
"Bahkan, sektor perkebunan dan kehutanan justru memiliki imbas negatif bagi daerah di antaranya munculnya konflik agraria dengan masyarakat, kerusakan infrastruktur jalan untuk pengangkutan bahan baku dan CPO serta ekses lingkungan lainnya," pungkasnya.
Tetapi seperti disebutkan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, penegak hukum anti rasuah tetap melihat kepatuhan pajak sektor industri kelapa sawit ini.
KPK mengakui kepatuhan pajak sektor industri kelapa sawit menyusul rendahnya kontribusi bagi penerimaan negara.
"Luas areal perkebunan kelapa sawit yang semakin meningkat tidak diimbangi dengan pendapatan pajak dari sektor tersebut."
"Coba lihat tahun 2018 pembayar pajak terbesar siapa? Enggak ada itu dari [komoditas] sawit, yang ada banyak BUMN. Itu pembayar pajak terbesar. Salah satunya itu yang ingin kami dalami," kata Syarif dalam suatu diskusi, Selasa (16/7) kemarin.
Selain tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Dirjen Pajak, lembaga antirasuah juga menyoroti temuan kelemahan dalam tata kelola komoditas kelapa sawit.
Sebesar 40 persen di sektor industri kelapa sawit tidak patuh membayar pajak. Tapi, dari angka tersebut, Syarif tidak menyebut jumlah Wajib Pajak (WP) secara keseluruhan. Dalam kajian Litbang KPK, potensi pajak yang tidak terpungut pemerintah dalam industri kelapa sawit sekitar Rp18,13 triliun pada 2016.
Temuan itu di antaranya sistem pengendalian perizinan usaha perkebunan tidak akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha dan tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor komoditas kelapa sawit.
Syarif mengatakan KPK yang memiliki fungsi koordinasi, supervisi, dan trigger mechanism membantu pemerintah agar mendapatkan penghasilan yang maksimum melalui kajian tersebut.
Sejumlah temuan tersebut sudah dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Keuangan dan berharap agar segera ditindaklanjuti. Masalah lain, ditemukan masih adanya kebun kelapa sawit di kawasan hutan yang sebetulnya bisa menjadi potensi pajak.
Dalam catatan KPK, 2.535.495 hektare dikuasi oleh 10 perusahaan besar. "Bagaimana kalau kita terima pajaknya dari yang seperti ini, kan, katanya ilegal tapi pajaknya mau terima," kata Syarif. (*)
Tags : perusahaan kebun sawit, kpk soroti pajak sawit, kepatuhan pajak sektor industri kelapa sawit, penertiban sawit ilegal di riau,