JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum diminta menghentikan proses penghitungan suara elektronik Sirekap karena memicu spekulasi dugaan penggelembungan suara ke salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mengatakan "jika KPU serius mau menggunakan Sirekap, maka semestinya sistem penghitungan dari Sirekap selesai pada waktu yang sama saat tempat pemungutan suara ditutup".
Tapi yang terjadi, kata Kaka, hingga Jumat (16/02) pukul 17:30, progres penghitungan suara Sirekap untuk Pilpres masih 60, 49%.
Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, meminta maaf kepada publik atas kekurangan aplikasi Sirekap. Dia membuat klaim, kalaupun ada kekeliruan konversi, "itu terjadi tanpa unsur kesengajaan".
Adapun, pakar digital menilai KPU memaksakan penggunaan sistem Sirekap yang belum sempurna.
Lembaga analis media sosial Drone Emprit menyebut percakapan tentang Sirekap menjadi topik yang paling tinggi dibicarakan oleh warganet di media sosial X pada Jumat (16/02).
Percakapan yang mencuat terkait kelemahan Sirekap. Salah satunya adalah kekeliruan input data jumlah suara di sebuah TPS di Lampung yang menimbulkan kehebohan dan menurunkan kepercayaan pada Sirekap milik KPU.
"Sentimen percakapan terkait Sirekap di X terpantau sangat negatif, sebanyak 85% dan positif hanya 7%," kata pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi.
Narasi negatif itu, sambungnya, berkembang menjadi dugaan kecurangan.
"Warganet menduga adanya unsur kesengajaan dalam perubahan data di Sirekap untuk memenangkan paslon tertentu. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap legitimasi penyelenggara pemilu."
Ada juga narasi yang menyindir Sirekap tak sebaik aplikasi lain seperti pinjaman online atau pinjol. Warganet merasa Sirekap kalah bagus dalam hal fungsional dan keandalan.
"Netizen juga merasa KPU tidak kompeten dalam mengelola data pemilu, tidak transparan dalam menampilkan data pemilu dan merasa bahwa data yang ditampilkan tidak dapat dipercaya," kata Ismail.
Kekhawatiran soal keamanan aplikasi Sirekap juga disinggung warganet karena adanya potensi backdoor atau celah keamanan oleh peretas.
Apakah Sirekap menguntungkan salah satu paslon?
Pakar keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, menilai dugaan bahwa Sirekap menguntungkan salah satu paslon sebenarnya tidak berdasar.
Alfons bersama sebuah tim independen telah memeriksa 500 lebih kasus ketidaksesuaian suara antara yang tercatat di formulir C plano dengan yang terunggah di Sirekap.
Hasil penelusuran mereka, ketidaksesuaian atau penggelembungan suara terjadi pada tiga paslon.
"Jadi tidak hanya pada satu paslon saja. Kesimpulannya ini kesalahan sistem atau human error," ujar Alfons kepada BBC News Indonesia.
Menurutnya ada beberapa penyebab yang membuat sistem Sirekap salah merekam angka yang ada pada dokumen C plano berita acara pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Pertama, tidak adanya cross-checking data atau proses membandingkan atau memverifikasi data dengan sumber utama.
"Katanya [Sirekap] pakai AI tapi cross-checking data aja enggak dilakukan, itu patut dipertanyakan tim IT-nya."
"Mana ada total jumlah pemilih lebih kecil daripada perolehan suara paslon? Kan konyol."
"Kalau pakai AI lebih cerdas dari ini, bahkan bisa terkoneksi ke database KPU dan bisa tahu per-TPS berapa jumlah pemilihnya dan tidak boleh salah, kalau salah mental."
Di media sosial sejumlah akun mengadukan dugaan "penggelembungan suara" salah satu paslon.
Sebuah video yang viral terjadi di TPS 54, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Di formulir C hasil penghitungan suara yang asli perolehan suara Prabowo-Gibran tertulis 74. Tapi pada Kamis 15 Februari 2024 data yang tercantum di Sirekap adalah 748.
Tetapi data Sirekap pada Jumat 16 Februari 2024 perolehan suara ketiga paslon sudah diperbaiki sesuai formulir C hasil.
Penyebab kedua, menurut Alfons, kemungkinan disebabkan media foto yang diambil oleh petugas KPPS tidak jelas atau kualitasnya rendah sehingga ada ada kesalahan membaca angka pada sistem Sirekap.
Ketiga, kesalahan bisa terjadi karena para petugas KPPS mengunggah data ke sistem secara berbarengan dengan petugas lain. Akibatnya, kata Alfons, terjadi selip.
Jumlah TPS di seluruh Indonesia berjumlah lebih dari 800.000. Alfons berkata, setiap TPS harus mengunggah minimal lima dokumen surat suara yang jika dikalikan dengan jumlah tempat pemungutan suara maka setidaknya ada 4 juta dokumen yang diunggah dalam waktu bersamaan.
"Apa kuat servernya? Terlihat kan situs KPU tersendat dan sering down. Itu menunjukkan pengelolaan infrastruktur teknologi yang kurang."
Seperti apa pengalaman anggota KPPS yang mengunggah data ke Sirekap?
Ma'rifatus Solehah, salah satu petugas KPPS di TPS 09 Kelurahan Kolpajung, Kecamatan Kota Pamekasan, Madura, Jawa Timur menemukan banyak kendala ketika mengunggah hasil rekapitulasi suara Pemilu 2024 melalui aplikasi Sirekap.
Kendala yang dialami oleh Ifa, di antaranya tulisan dan gambar kerap tidak terdeteksi ketika diunggah. Bahkan, ada ketidaksesuaian antara data perolehan suara yang ada di model C1 plano dan aplikasi Sirekap.
"Misalnya di plano itu tulisannya 105, setelah difoto, diunggah muncul tulisan 905," kata Ifa ketika ditemui wartawan Mustopa di rumahnya pada Jumat (16/02).
Mau tidak mau, katanya, ketidaksesuaian data tersebut harus diganti secara manual dan disesuaikan dengan hasil rekapitulasi suara yang ada di model C1 plano.
Kendala lain yang paling sering ditemui adalah banyaknya gambar yang gagal terunggah. Padahal gambar tersebut harus diambil langsung dari model C1 plano, tidak bisa memakai yang ada di galeri ponsel.
Di sisi lain, model C1 plano harus segera dikirim ke kelurahan setelah proses pemungutan dan penghitungan suara rampung.
"Kalau sudah gagal ya sudah dibiarin, dapat dari mana planonya, enggak ada kan," kata perempuan yang sehari-hari menjadi guru di salah satu pesantren tersebut.
Untuk proses pengunggahan juga butuh waktu lama. Ifa mengaku mengunggah data ke Sirekap pada Rabu (14/02) sekitar pukul 23.00 WIB, namun baru selesai pada Kamis (15/02) dini hari WIB.
"Entah servernya kurang canggih, saya enggak ngerti server pusatnya," katanya menambahkan.
Ifa mengakui banyak hasil rekapitulasi yang gagal diunggah ke aplikasi Sirekap. Terutama untuk hasil pemilihan anggota DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR RI karena jumlahnya mencapai 20 lembar.
"Kalau cuma DPD dan [pemilihan] presiden kan sedikit lembaran yang di-upload," jelasnya.
Apa tanggapan KPU?
Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, mengakui terjadi sejumlah kekeliruan konversi hasil penghitungan suara di TPS ke dalam Sirekap.
Meskipun, kata dia, sejauh ini tingkat kesalahan konversi cuma 0,64%.
Hasyim mengatakan pihaknya belum memeriksa detail selisih suara yang diperoleh masing-masing capres-cawapres, antara yang terkonversi di Sirekap dengan suara aslinya di formulir C-Hasil plano di TPS.
Dari 2.325 TPS yang terjadi kesalahan, kekeliruan konversi suara tidak cuma terjadi untuk pilpres, melainkan juga pemilu legislatif .
Kesalahan-kesalahan itu diklaim akan dikoreksi oleh KPU.
Tapi terlepas dari kekeliruan konversi yang terjadi pada sejumlah TPS, publikasi data perolehan suara di Sirekap akan tetap dilanjutkan sebagai bentuk transparansi.
Apakah Sirekap perlu dilanjutkan?
Kendati terjadi kekeliruan input data pada Sirekap, Alfons menilai hal itu bukan sebuah kesengajaan. Pasalnya jika KPU ingin berbuat curang, maka hasil pindai formulir C hasil penghitungan suara asli tidak akan ditampilkan sebagai pembanding.
Menurut dia, Sirekap harus dilanjutkan sebagai bentuk transparansi kepada masyarakat dan kecepatan. Meskipun, katanya, KPU harus memperbaiki sistemnya agar tidak memicu sangkaan negatif.
Sebagai penyelenggara pemilu yang mendapat dana besar dari negara dan didukung oleh banyak lembaga pemerintah mestinya sistem Sirekap bisa meminimalisir kesalahan.
"Dibikin smart sistemnya. Jangan total dari pemilih lebih kecil dari suara paslon, kok bisa sistemnya kurang pintar," kata Alfons.
"Selevel KPU, dana besar, banyak stakeholder membantu... jangan bikin malu Indonesia karena semua mata tertuju pada pemilu."
Adapun Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mengatakan jika KPU serius mau menggunakan Sirekap maka semestinya begitu tempat pemungutan suara ditutup sistem penghitungan dari Sirekap juga tuntas pada waktu yang sama.
Tapi yang terjadi, katanya, hingga Jumat (16/02) pukul 17:30, progres penghitungan suara Sirekap untuk Pilpres masih 60, 49%.
Hal seperti ini, menurutnya, membuat masyarakat curiga.
"Lebih baik KPU fokus pada penghitungan manual saja, hentikan Sirekap daripada menimbulkan spekulasi," ujarnya. (*)
Tags : Media sosial, Teknologi, Aplikasi, Politik, Pilpres 2024, Kecerdasan buatan, Pemilu 2024,