DALAM bayangan banyak orang, universitas mungkin cocok jika dipenuhi oleh anak-anak muda berusia dua puluhan tahun, yang hilir mudik di kampus menuju kelas atau bersantai bersama.
Orang-orang yang telah berusia lanjut, bila ada di sebuah kampus, lebih cocok menjadi dosen atau staf pengajar - bukan mahasiswa.
Namun seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup di seluruh dunia, beberapa orang lanjut usia memilih untuk menggunakan masa pensiunnya untuk kembali ke sekolah.
Hari ini, 24 Januari, adalah Hari Pendidikan Internasional, menurut PBB. Guna memperingatinya, ada beberapa lansia yang berhasil lulus pendidikan tinggi di Indonesia, Kanada, Brasil dan Australia. Inilah kisah mereka.
'Selama masih bisa belajar, jangan berhenti'
Bagi La Ode Muhammad Sidik, 87 tahun, umur tidak menghalanginya melanjutkan pendidikan ke jenjang atas. Dua tahun lalu, bersama dengan ratusan mahasiswa yang rata-rata berumur dua puluhan tahun, La Ode dikukuhkan menjadi sarjana Bahasa Indonesia dari Universitas Muhammadiyah Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara.
Ini adalah mimpi yang tertunda bagi La Ode. Di masa mudanya, pada tahun 50-an, La Ode mengajar di Sekolah Rakyat. Dia lalu diangkat menjadi guru Sekolah Menengah Pertama pada tahun 70-an.
Masa pengabdiannya berakhir saat La Ode pensiun pada awal 2000-an. Namun sebelum pensiun, La Ode menyelesaikan studi D3 jurusan Pendidikan di Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari pada 1992.
Sebelum pensiun pula, niatnya untuk menempuh pendidikan S1 sudah sangat besar. Namun dengan sembilan anak yang harus dibiayai pendidikannya, ia harus menyingkirkan dulu cita-citanya.
Semangatnya tumbuh lagi di tahun 2012. "Anak saya yang pertama [almarhum] yang mengatakan jangan hanya sampai diploma tiga.
Dia memilih jurusan Bahasa dan Sastra, sesuai dengan kegemarannya. Saat mendaftar menjadi mahasiswa baru itu, La Ode sudah berumur 78 tahun.
Dua tahun menjalani kuliah, setelah menuntaskan Kuliah Kerja Nyata (KKN), La Ode jatuh sakit.
"Saat hendak ujian proposal, saya mulai sakit sehingga ujian itu harus ditunda. Saya sakit selama satu setengah tahun dan harus operasi prostat," kenang La Ode seperti dirilis BBC.
Tergeletak lemah selama 1,5 tahun juga tidak membuat La Ode menyerah. "Saya kembali menghubungi kampus untuk masuk kembali. Mereka katakan, boleh asalkan semua tunggakan [biaya] semester dilunasi. Saya bilang, tidak apa-apa asalkan saya diterima kembali," lanjut La Ode.
Tekadnya yang bulat untuk terus menuntut ilmu ini juga didukung oleh keluarga. Lala, salah satu cucu La Ode yang menemani sang kakek diwisuda, saat diwawancarai oleh media mengatakan sang kakek tak pernah mengeluh.
"Dia usahakan masuk, meskipun kadang sakit dan sudah tua begitu, tapi dia usahakan terus masuk kampus," kata Lala.
Setelah tujuh tahun, La Ode akhirnya berhasil lulus dengan gelar sarjana. Wa Ode Nurmala, cucunya yang lain, mengaku bangga akan prestasi kakeknya.
"Kakek jadi inspirasi buat kami untuk terus menuntut ilmu. Pendidikan itu tidak mengenal usia, pendidikan itu sampai akhir hayat," ujar Nurmala.
Kisah La Ode semakin istimewa karena saat menyusun skripsi, salah satu dosen pembimbingnya adalah mantan muridnya di SMP Kota Baubau.
La Ode mengaku bangga, karena mantan muridnya itu kini telah menjadi "orang-orang besar".
"Sebenarnya saya yang lebih berterima kasih. Saya didik jadi orang besar, kemudian pengalaman mereka dituangkan lagi ke saya," lanjut La Ode.
Nadir La Djamudi, pembimbing La Ode, mengatakan saat melihat sosok La Ode di kampus, "Saya kira dia sedang legalisir ijazah."
Pada 1986, Nadir adalah murid SMP La Ode di sebuah kecamatan di Pulau Wakatobi. Menurutnya, sejak dulu La Ode adalah guru yang inspiratif.
"Dia hafal sejarah sastra, unsur-unsur analisis karya sastra. Dia juga hafal sastra Indonesia di setiap angkatan, dari angkatan '20-an, '30-an, sampai angkatan '45," kata Nadir.
La Ode menegaskan, usia tidak bisa membatasi niatnya untuk terus belajar.
"Selama kita mampu belajar, ya belajar saja," kata dia. "Kalau masih ada umur dan memiliki dana, saya masih ingin kembali selesaikan [kuliah] S2," kata La Ode.
'Kita masih bisa membantu membuat masyarakat yang lebih baik'
Antonia Landgraf berusia 70 tahun dan kini masih berstatus mahasiswa. Pensiunan dari Nova Xavantina di Brasil tengah ini, saat ini menempuh kuliah di Universitas Negeri Mato Grasso.
"Setelah pensiun dari pekerjaan saya di Bank Brasil sepuluh tahun lalu, saya tidak bisa diam saja di rumah," katanya.
"Suami saya beternak di ladang dan saya ingin membantunya. Tapi belajar hal-hal baru membuat otak saya sibuk. Jadi, pada awalnya, saya belajar Geografi dan Akuntansi," kisah Antonia.
Itu sepuluh tahun yang lalu. Sejak itu, dia telah beralih mempelajari Agronomi. Saat Antonia mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia berpikir untuk kuliah lagi, mereka semua berpikir Antonia sudah gila.
"Beberapa bilang saya hanya buang-buang waktu, tapi saya merasa, generasi saya masih punya banyak hal untuk dibagikan dan kami dapat membantu membuat hal-hal baik untuk masyarakat."
"Saya juga berpikir, membuka pikiran adalah hal yang sehat. Tidak pernah terlambat untuk mempelajari hal-hal baru."
Namun kembali ke bangku sekolah di usia yang tak lagi muda memiliki tantangan tersendiri, dan tak mengejutkan, dia adalah yang tertua di kelasnya.
"Saya bahkan lebih tua dari guru saya. Lalu, ada pula kesulitan dalam hal teknologi. Saat pandemi datang, saya kesulitan dengan kelas online," jelasnya.
Namun ia segera terbiasa dengan semua itu, bahkan di kalangan teman-temannya, dia menjadi pencetus tren.
"Saya bangga dengan apa yang saya lakukan dan teman-teman saya sekarang juga memutuskan kembali kuliah."
'Pendidikan membuat awet muda'
Ruth Wilson, 88 tahun, menyelesaikan gelar PhD atau doktoral untuk novel-novel penulis Inggris Jane Austen pada Fenruari tahun lalu di Universitas Sydney.
Baginya, "itu adalah pengalaman luar biasa", dan memiliki keuntungan tersendiri.
"Pendidikan membuat Anda awet muda," kata Dr Ruth.
"Anda belajar banyak hal baru yang membuat Anda bersemangat dan memicu pemikiran, dan Anda menyadari bahwa banyak hal dari pengalaman Anda sangat berhubungan dengan dunia kontemporer. Bagi saya, rasanya saya 20 tahun lebih muda."
Mantan guru Bahasa Inggris ini bekerja dengan anak-anak dan ia memperhatikan, jika anak-anak terlibat dalam wawancara dan berbincang dengan orang-orang yang mereka ingin mempelajari sesuatu, hal luar biasa akan terjadi.
Di berkata, "murid-murid dan orang yang mereka wawancarai mengembangkan hubungan saling empati, mereka terkoneksi dan mulai melihat kehidupan dari perspektif satu sama lain."
Pengalaman itulah, kata dia, yang membuatnya berpikir untuk melanjutkan kuliah lagi.
Ibu dari empat anak ini telah memiliki cucu yang berusia paruh baya dan delapan cicit, yang berusia enam hingga 12 tahun.
"Anak-anak saya sangat mendukung - mereka merasa saya kembali sekolah adalah hal yang luar biasa. Salah satu putri saya sudah memiliki gelar PhD, jadi dia sangat membantu saya mengurus urusan kampus.
"Dan saya juga punya cucu yang juga PhD - dia membantu saya dengan metodologi riset dan mengakses materi dari internet.
"Semua ini sangat baru bagi saya, terakhir saya sekolah adalah pada 1979, itu pertama kali saya lulus kuliah."
'Dulu terlalu miskin'
Lois Kamenitz, 70 tahun, bertanya-tanya mengapa orang-orang yang berusia lanjut usia kembali ke bangku sekolah, maka dia memutuskan untuk melakukannya sendiri.
Tahun lalu, Lois menamatkan gelar doktor dari Universitas York di Kanada, di mana dia meneliti tentang pendidikan untuk siswa-siswa berusia lanjut usia.
Dia mempelajari perempuan berusia antara 50-60 tahun, dan menemukan banyak dari mereka memutuskan kembali kuliah sebagian karena universitas di Kanada memberikan potongan biaya kuliah untuk lansia.
Tapi bagi Lois, ada faktor lain yang memotivasinya. "Saya orang pertama di keluarga saya yang bisa kuliah. Gagasan bahwa Anda bisa sukses menavigasi sistem pendidikan adalah hal baru untuk keluarga saya," ujarnya.
Sebagai putri imigran yang bekerja di pabrik, orang tua Lois tidak dalam posisi untuk mendukung ambisinya sekolah tinggi, namun kesempatan ini kemudian terbuka saat dia telah beranjak tua.
Lois mengingat kutipan kalimat psikiater dan psikoalalis Swis terkenal, Carl Jung, tentang pertanyaan yang harus dijawab oleh seseorang sepanjang hidupnya.
Di paruh pertama kehidupannya adalah "apa yang diinginkan dunia dari saya?" dan di paruh kedua, "apa yang ingin kita lakukan di separuh kedua kehidupan?"
"Perempuan-perempuan yang saya wawancara menjawabnya dengan sangat indah. Salah seorang berkata ini adalah saatnya dan ada banyak kewajiban yang sekarang sudah bisa disingkirkannya untuk bisa menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri."
Lois merasa, menjadi perempuan membuat kembali sekolah lebih berat baginya juga.
"Kehidupan dan lintasan karier seorang perempuan tidak linear karena hamil, mengurus anak, dan kewajiban keluarga. Saya berpikir, mungkin jika saya meriset perempuan-perempuan yang mengambil PhD di masa tua, saya akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya sendiri."
Tujuan risetnya adalah, kata dia, mendobrak tabu yang mengatakan orang-orang tua tidak bisa dan seharusnya tidak kembali sekolah.
"Saya rasa ini mengalihkan pembicaraan dari konsep kemunduran di usia tua, menjadi kisah yang terus berlanjut di masa lansia," ujarnya. (*)
Tags : Gaya hidup, Kuliah di Usia Senja, Lansia tak Ragu Kembali ke Bangku Sekolah,