DEDI BAROTO TURNOYUDHO pagi itu tampak sibuk menghitung jumlah kardus berisi pisang sumbangan dari salah satu distributor pisang di Surabaya.
Pendiri Garda Pangan ini, secara rutin menerima sumbangan makanan berlebih dari distributor pisang, toko roti, dan katering untuk dimanfaatkan dan disalurkan kepada warga miskin.
"Kalau pisang yang masih bagus biasanya kami langsung distribusikan, yang sudah agak lembek biasanya kami olah lagi menjadi penganan seperti nugget pisang," jelas Dedi.
Hari itu, Garda Pangan mendapatkan sumbangan sekitar 20 kardus pisang.
"Kebanyakan barang kita itu cuma cacat visual bukan rusak bukan busuk, masih sangat layak di makan. Hanya saja biasanya toko-toko sudah tidak mau karena tampilannya berbintik," kata Yonatan Alexander Wijaya, distributor produsen pisang di Surabaya.
Selama enam bulan terakhir, Yonathan bekerja sama dengan Garda Pangan untuk mendistribusikan pisang yang tak lagi dianggap 'menarik secara visual' oleh pasar.
"Sebelumnya kita berupaya nyumbang sendiri ke panti asuhan, rumah jompo tapi repot, dengan Garda Pangan mereka yang jemput dan bantu kita sortir," kata Yonathan.
Sebelum kerja sama dengan Garda Pangan, menurut dia, biasanya menghasilkan sampah per harinya mencapai 10-20 kardus pisang yang secara visual tak menarik pembeli.
"Kalau ada bruises (memar)nya orang nggak mau ambil, nggak mau jualan. Setelah kerja sama ini nggak ada waste (sampah) sama sekali," jelas Yonathan.
Setelah mengambil pisang, Dedi memacu kendaraannya ke dapur catering miliknya.
Dia menaruh kardus-kardus tersebut dan memilahnya dibantu sejumlah relawan.
Pisang yang masih segar langsung distribusikan sore itu juga ke beberapa perkampungan di Surabaya.
Sementara sisanya diolah menjadi nugget pisang sebelum bagikan ke warga miskin.
Sebelum menuju perkampungan kumuh di bawah jalan layang, sejumlah relawan Garda Pangan mampir ke sebuah toko roti.
Di sana pengawai toko telah menyiapkan beberapa rak berisi kue dan roti yang berlebih dan masih layak dikonsumsi untuk disumbangkan.
"Ini roti produksi pagi tadi atau semalam, jadi kami harus segera membagikannya sore ini," kata Dedi.
Mobil dan motor para relawan yang menembus kemacetan Kota Surabaya di saat akhir pekan, menuju ke perkampungan kumuh, dan membagi-bagikan makanan tersebut.
"Senang karena dibantu dikasih, jarang-jarang makan kue, ya makan kue tapi nggak selezat itu," kata Surati salah satu warga yang menerima sumbangan kue.
Distribusi makanan berlebih kepada warga miskin kota ini dilakukan relawan Garda Pangan secara rutin sejak April 2017 lalu.
Dedi tergerak untuk mendirikan komunitas Food Bank atau Bank Makanan ini karena sering kali membuang makanan berlebih dari usaha kateringnya.
"Jadi makanan seperti sup, nasi putih yang tidak terlalu disukai klien diserahkan sama kita, nah kita sulit untuk menghandle itu akhirnya terbuang, akhirnya kepikiran kenapa ga didonasikan saja," ujar Dedi.
Dia pun kemudian mulai mencari tahu bagaimana mendonasikan makanan berlebih ini, dan mengenal program Food Bank dari internet.
Selain usaha kateringnya sendiri, Garda Pangan juga mendapatkan donator dari pemilih restoran masakan Melayu.
Melalui jalur pertemanan dan media sosial, jumlah donatur pun meningkat, penerima manfaat juga semakin banyak dari panti asuhan dan kampung pra sejahtera.
Sampai Maret lalu, Garda Pangan telah menyalurkan hampir 20.000 porsi makanan dengan mitra toko roti, restoran dan melalui kegiatan lainnya.
"Kami menyusun daftar 50 penerima manfaat yang diberi donasi secara bergantian, inti masalah makanan berlebih bisa terdonasikan, tapi tidak memunculkan ketergantungan, " jelas Dedi.
Tempat Pembuagan Sampah Akhir TPA Sarimukti di Jawa Barat yang merupakan bagian dari sebuah acara konferensi internasional, mengubah pandangan Falencia C Naoenz dan Imam Assovie terhadap sampah.
Ketika itu Falencia melihat gunungan sampah berhektar-hektar, dan hanya sedikit sekali yang diolah kembali.
"Dari percakapan dengan warga sekitar, mereka mengatakan bahwa sampah makanan jumlahnya sangat tinggi, dan menjadi mubazir karena tidak bisa diolah menjadi apapun, cepat busuk," kata Falencia.
Kunjungan tersebut membekas dalam hati Falencia dan Imam, terlebih mengingat jutaan orang Indonesia masih sulit mencari makan, sementara setiap orang Indonesia menghasilkan sampah makanan per 315 kilogram per tahun.
"Dari situlah, kami sepakat untuk membuat organisasi yang menyalurkan kelebihan makanan ke orang-orang yang berkekurangan, tujuannya untuk mengurangi jumlah sampah makanan dan membantu mengentaskan kelaparan di Indonesia," jelas Falencia.
Pada Maret 2016, The Hunger Bank pun didirikan dan mulai berkampanye untuk mengajak masyarakat tidak membuang-buang makanan.
"Jika mereka ada makanan berlebih, alangkah baiknya apabila disumbangkan ke orang-orang yang masih membutuhkan," kata Falencia.
The Hunger Bank mendapatkan donasi dari restoran, acara pernikahan atau kampus.
"Tidak ada kerja sama yang formal semacam perjanjian gitu sih, hanya mereka sudah tahu bahwa Hunger Bank bisa menerima makanan berlebih, jadi jika ada makanan berlebih mereka langsung menghubungi kami," jelas Falencia.
Dia mengatakan sejumlah restoran yang sebelumnya bekerja sama dengan The Hunger Bank pun sudah mulai mendistribusikan makanan berlebih secara mandiri.
"Mereka kini sudah tahu kemana harus membagi-bagikan makanannya, sehingga mereka melakukan pembagian sendiri," kata Falencia.
The Hunger Bank memiliki kriteria penerima bantuan, antara lain pemulung, tuna wisma, tukang becak dan warga miskin lainnya.
"Target kami yaitu memberikan pada orang-orang yang sudah bekerja namun masih belum mendapatkan penghidupan yang layak," kata Falencia.
Setelah dua tahun, gerakan The Hunger Bank mulai merambah ke luar Bandung, dan saat ini ada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Jambi, dan Manado. (*)
Tags : garda pangan, pendiri garda pangan dedi baroto turnoyudho, garda pangan punya slogan kurangi sampah makanan, garda pangan berbagi dengan warga miskin,