
LINGKUNGAN - Hutan-hutan tropis di seluruh dunia merupakan penyangga penting dalam mengadang perubahan iklim.
Laporan teranyar menunjukkan hutan tropis makin berkurang pada taraf yang mengkhawatirkan, menurut sejumlah ilmuwan.
Hasil analisis satelit terbaru menunjukkan deforestasi hutan tropis terjadi lebih cepat dari yang pernah tercatat.
Para peneliti memperkirakan 67.000 kilometer persegi dari hutan primer berusia tua lenyap pada 2024.
Area itu hampir seluas negara Georgia atau Provinsi Kalimantan Utara di Indonesia, alias setara dengan 18 lapangan sepak bola per menit.
Kebakaran menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Untuk pertama kalinya, faktor kebakaran melampaui pembukaan lahan untuk pertanian sebagai pemicu musnahnya hutan.
Hutan Amazon mengalami dampak terburuk di tengah kekeringan yang melanda wilayah itu.
Adapun kabar yang lebih menggembirakan datang dari Asia Tenggara, dengan adanya kebijakan pemerintah yang membantu mengurangi hilangnya hutan.
Sebagai penyerap karbon alami, hutan hujan tropis menyimpan ratusan miliar ton karbon di dalam tanah dan batang kayunya.
Akan tetapi, rekor global baru ini memunculkan pertanyaan tentang keberlangsungannya di tengah Bumi yang menghangat.
Sebagian besar ilmuwan khawatir beberapa hutan, seperti sebagian Amazon, sudah mencapai "titik kritis" dan kemungkinan tidak dapat dipulihkan.
"Gagasan tentang titik kritis, menurut saya, makin tepat," kata Profesor Matthew Hansen, salah satu direktur laboratorium GLAD di Universitas Maryland yang mengolah data tadi.
Hansen menyebut laporan ini "mengerikan". Ia memperingatkan bukan tidak mungkin hutan hujan tropis akan mati secara permanen dan berubah menjadi padang rumput.
"Ini memang masih sebuah teori, tetapi saya rasa ini masuk akal kalau kita melihat datanya," ujarnya.
Studi terpisah yang diterbitkan minggu lalu memberikan peringatan serupa. Penelitian ini menunjukkan kemungkinan kemunduran signifikan di Amazon jika pemanasan global melebihi target internasional sebesar 1,5 derajat Celsius.
Selain mengancam keanekaragaman hayati yang kaya di habitat-habitatnya, hal ini juga bisa berdampak serius pada iklim global.
Hingga baru-baru ini, Hutan Amazon telah memberikan "bantuan" kepada umat manusia. Rimbunan hutan hijau di sana menyerap lebih banyak karbon dioksida (CO2) daripada yang dilepaskannya.
Namun, pembakaran hutan justru melepaskan sejumlah besar CO2 yang mendorong pemanasan global alih-alih membatasinya.
Pada 2023-2024, Amazon mengalami kekeringan terburuk dalam catatan sejarah. Hal ini diperparah oleh perubahan iklim dan pola cuaca El Niño yang secara alami menghangatkan.
Banyak kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dimulai untuk membuka lahan pertanian. Sulit untuk memisahkan mana kebakaran yang terjadi akibat kekeringan ataupun pembukaan lahan.
Di sisi lain, kebakaran menyebar di luar kendali akibat kekeringan ini dimana Brasil dan Bolivia terkena dampak yang paling parah.
Meskipun hanya terjadi dalam satu tahun, ini sesuai dengan pola yang diperkirakan: kebakaran hutan tropis lebih intens di dunia yang semakin menghangat.
"Saya rasa kita berada dalam fase baru dimana pembukaan lahan untuk pertanian bukan satu-satunya pendorong utama," ujar Rod Taylor dari World Resources Institute (WRI) yang turut berkontribusi pada laporan terbaru ini.
"Efek amplifikasi baru ini merupakan umpan balik perubahan iklim yang nyata. Kebakaran jauh lebih intens dan lebih dahsyat dari sebelumnya."
Para peneliti memperkirakan rekor hilangnya hutan tropis primer (kuno) dunia itu melepaskan 3,1 miliar ton gas penyebab pemanasan global.
Jumlah itu kira-kira sama dengan emisi Uni Eropa.
Di sisi lain, para ilmuwan mencatat negara-negara di Asia Tenggara melawan tren global ini.
Mereka mencontohkan luas hutan primer yang hilang di Indonesia turun sebesar 11% dibandingkan tahun 2023, meskipun kondisi kekeringan melanda.
Elizabeth Goldman, salah satu direktur proyek Global Forest Watch di WRI, mengatakan ini adalah hasil dari upaya bersama pemerintah dan masyarakat yang bekerja sama untuk menegakkan undang-undang "anti-pembakaran".
"Indonesia menjadi titik terang dalam data tahun 2024," katanya.
"Tidak dipungkiri lagi bahwa kemauan politik adalah faktor kunci keberhasilan," timpal Gabriel Labbate, kepala mitigasi perubahan iklim di program hutan PBB UNREDD, yang tidak terlibat dalam laporan kali ini.
Pada masa silam, negara-negara lain, termasuk Brasil, berhasilan menghalau dampak kebakaran hutan dengan pendekatan serupa,
Akan tetapi, perubahan kebijakan pemerintah pada tahun 2014 mendorong terjadinya lagi peningkatan deforestasi.
Meskipun ada kemajuan positif di Asia Tenggara, Profesor Hansen menilai fluktuasi hilangnya hutan di Brasil menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan haruslah konsisten.
"Kita belum melihat adanya keberhasilan yang berkelanjutan dalam mengurangi dan mempertahankan tingkat konversi ekosistem yang rendah. Dalam pelestarian lingkungan, kita harus selamanya berada di posisi unggul," katanya.
Para peneliti sepakat bahwa KTT iklim PBB tahun ini, COP30 (yang akan diselenggarakan di Amazon) akan menjadi wadah krusial untuk saling berbagi dan mempromosikan skema perlindungan hutan.
Salah satu proposal adalah memberikan penghargaan kepada negara-negara yang mempertahankan hutan tropis melalui pembayaran.
Meski rinciannya masih perlu diolah, Rod Taylor menilai usulan ini menjanjikan.
"Ini adalah contoh inovasi demi mengatasi salah satu isu mendasar saat ini: menebang hutan lebih menghasilkan uang daripada mempertahankannya," pungkasnya. (*)
Tags : kerusakan hutan, hutan tropis, kerusakan hutan tropis capai rekor tertinggi, menghadang perubahan iklim, deforestasi, perubahan iklim, lingkungan, alam,