Sosial   2025/02/06 10:53 WIB

Larangan Penjualan Eceran Gas Elpiji 3kg Bisa 'Matikan Pengusaha Kecil dan Susahkan Konsumen'

Larangan Penjualan Eceran Gas Elpiji 3kg Bisa 'Matikan Pengusaha Kecil dan Susahkan Konsumen'
Warga mengantre untuk membeli gas elpiji tiga kilogram di salah satu pangkalan gas elpiji di Kampung Malang, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (04/02).

JAKARTA - Keputusan pemerintah melarang penjualan gas LPG tiga kilogram di tingkat pengecer atau warung sejak 1 Februari lalu disebut sebagai kebijakan yang "mematikan pengusaha kecil, menyusahkan konsumen, dan bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo yang berpihak pada rakyat kecil".

Daripada pelarangan, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai pemerintah seharusnya mengubah subsidi 'gas melon' itu dari sistem terbuka—produknya yang disubsidi—menjadi sistem tertutup yang fokus pada penerima bantuan.

"Kelompok miskin yang berhak sesuai dengan data Kemensos dikasih kartu yang ada barcode-nya," kata Fahmy.

"Setiap beli, baik di warung sekalipun tanpa harus di agen, kartu itu di-scan dengan HP. Kalau yang tidak punya kartu, maka membeli gas tiga kilogram dengan harga pasar atau harga normal," tuturnya.

Tiga hari berjalan, larangan penjualan gas melon di warung pengecer telah menuai keresahaan, di kalangan konsumen, penjual eceran, hingga pemilik pangkalan gas. 

Mereka mengeluhkan antrean yang lama, jarak agen gas yang jauh, hingga jumlah LPG yang langka. Bahkan, seorang warga di Tangerang Selatan dilaporkan meninggal dunia usai mengantre membeli gas melon.

Atas beragam keluhan itu, Presiden Prabowo Subianto disebut menginstruksikan agar pengecer boleh kembali berjualan gas LPG tiga kilogram per 4 Februari 2025.

"Presiden kemudian telah menginstruksikan kepada Kementerian ESDM untuk per hari ini mengaktifkan kembali pengecer-pengecer yang ada, untuk berjualan seperti biasa, sambil kemudian pengecer-pengecer itu akan dijadikan sub daripada pangkalan," kata Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad. 

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas (LPG) Tertentu Tepat Sasaran.

Regulasi itu mengatur, hanya subpangkalan resmi yang memiliki nomor induk berusaha (NIB) yang diizinkan menjual tabung LPG tiga kilogram.

Pemerintah mengeklaim keputusan ini diambil untuk memastikan pendistribusian subsidi energi, seperti gas melon, tepat sasaran dan harga jualnya sesuai aturan.

"Sekarang tata kelolanya lagi diatur, agar tidak boleh ada oknum yang menaikkan harga elpiji tiga kilogram," kata Bahlil, pada 1 Februari lalu.

Melalui aturan ini, pemerintah juga "membuka peluang" bagi pengecer untuk "naik kelas" menjadi pangkalan atau subpangkalan resmi gas melon dari Pertamina.

Baru tiga hari berjalan, larangan penjualan gas melon di pengecer menuai banyak keluhan.

DiSemarang, Jawa Tengah, Senin (03/02) terpantau banyak konsumen berlalu lalang mencari gas melon.

Antrean pembelian gas terjadi di beberapa pangkalan yang menjual LPG tiga kilogram. Di Jalan Ngaliyan Raya, sekumpulan pria paruh baya menunggu kedatangan gas ini.

Salah satu warga yang mengantre itu adalah Hendrarto. Dengan membawa dua tabung gas kosong, laki-laki berumur 65 tahun berharap mendapatkan gas melon yang akan dia gunakan untuk kebutuhan rumah tangga.

Hendrarto rela mengantre karena dia tak menemukan gas melon di permukimannya selama beberapa hari belakangan.

"Setiap hari susah, sudah berhari-hari mencari," ucap Hendrarto yang selalu membawa salinan kartu tanda penduduk untuk mendapatkan gas melon.

"Harganya Rp18.000 dari orang pertama [pangkalan]. Kalau dari orang kedua [pengecer] Rp20.000-Rp23.000," tuturnya.

Keluhan yang sama juga diungkapkan oleh warga Semarang lain, Bimun. Perempuan berumur 71 tahun ini menghabiskan waktu berjam-jam hingga seharian untuk mengantre gas melon di pangkalan.

"Antre seperti ini kadang dapat, kadang enggak. Kadang dikirim, kadang enggak. Mestinya setiap hari dikirim tapi kadang enggak," ujar Bimun yang menggunakan dua tabung gas melon untuk berdagang makanan.

Selain konsumen, kebijakan itu berdampak langsung ke para pengecer di Semarang, salah satunya adalah Ninik (45 tahun).

Beberapa orang tampak mendatangi warung Ninik guna menanyakan tabung tiga kilogram yang dijual dengan harga Rp23.000, namun dia selalu menjawab tidak ada.

"Kita rugi banyak, gas tiga kilogram perputarannya cepat, untuk saat ini enggak ada pemasukan," ujar Ninik.

"Kalau enggak ada gas kan enggak bisa jualan, sedih sekali enggak ada pemasukan," ujar Ninik. Sebelum larangan ini, dia biasanya menjual 25 tabung setiap hari.

Sementara itu, pemilik pangkalan di Semarang, Junaidi (51 tahun), kewalahan menghadapi permintaan gas tiga kilogram yang tinggi. Menurut data KTP yang ia terima, para pembeli tidak hanya datang dari Semarang, melainkan dari beberapa wilayah lain.

"Saya sehari menjual 50 tabung, jadi tidak lama diserbu lalu tutup," kata Junaidi.

"Yang antre pada mengeluh, kecewa karena enggak dapat gas, padahal mereka sudah sabar antre.

"Saya juga tidak bisa berkutik, ini aturan dari pemerintah, saya menjalankan saja," ucapnya.

Beberapa warga di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) juga mulai khawatir dengan tabung gas elpiji tiga kilogram yang langka.

Seorang ibu rumah tangga, Syamsia (51 tahun) harus memesan gas melon sehari sebelumnya, bahkan harus menitip uang di warung.

"Kadang pas saya datang, gasnya sudah dijejer, tapi orang lain sudah pesan, mereka ambil semua, dihabiskan," kata Syamsia.

"Jadi saya titip uang, itu pun saya takut kehabisan," ujar pedagang gorengan ini.

Syamsia berkata, para pengecer sebenarnya masih menjual gas melon. Namun harganya berselisih Rp2.000, lebih tinggi dari harga yang telah ditentukan pemerintah.

Salah satu penjaga pangkalan gas elpiji tiga kilogram di Desa Bajoe Bone, Andi Aso bilang bahwa stok elpiji yang masuk di pangkalannya tidak sebanding dengan permintaan.

"Sekarang stoknya kosong, kadang kami menunggu satu minggu," ujarnya.

"Setiap Rabu ada stok 100 tabung. Tapi permintaan konsumen lebih dari 100. Jadi kadang sudah habis tapi masih ada yang cari," katanya.

Namun seorang pedagang eceren di Bone, Rahmawati menilai belum terjadi kelangkaan gas melon di wilayahnya. Dia berkata masih memiliki stok gas untuk dijual ke pembeli dalam beberapa hari ke depan.

"Dulu kesulitan mendapat elpiji sekarang lancar. Ini masih ada stoknya," kata Rahmawati.

Meski begitu, Rahmawati menolak keputusan pemerintah melarang pengecer menjual gas melon.

"Susah sekali kebijakan baru ini, kalau mau memasak orang tidak ada tabung, bagaimana ceritanya? Kalau tidak ada gas eceran, kami mau bagaimana?" ucapnya.

Penolakan juga datang dari Kota Padang, Sumatra Barat. Seorang warga bernama Erma Yenti menyebut kebijakan pemerintah sangat memberatkan dirinya.

Erma harus menempuh jarak cukup jauh dengan membawa tabung gas di sepeda motornya guna mendapatkan gas melon.

"Saya kan selalu membeli di pengecer karena jarak ke pangkalan cukup jauh. Membawanya juga susah kalau pakai motor," kata Yenti.

"Kalau beli di pengecer, saya bisa minta mereka mengantar gas ke rumah dan tinggal menghubungi melalui telpon saja," ujarnya.

Namun, Yelfarina, seorang ibu rumah tangga lainnya di Padang, memiliki cerita berbeda. Dia lebih memilih membeli gas melon di pangkalan, ketimbang di pengecer.

"Karena di pengecer itu harganya sangat mahal. Di pangkalan kadang bisa dapat harga Rp17.000 dan kadang ada yang Rp18.000. Kalau di pengecer bahkan ada yang lebih dari Rp20.000," katanya.

Di Kota Padang terpantau masih banyak pengecer yang menjual LPG tiga kilogram. Ayu, salah seorang pengecer, mengungkapkan bahwa dirinya masih mendapatkan pasokan gas melon dari agen.

Dia menjelaskan, dirinya membeli gas dari agen dengan harga Rp17.000 sampai Rp18.000 per tabungnya dan menjual dengan harga Rp20 ribu per tabungnya. Dia pun menolak jika dilarang menjual gas tiga kilogram.

"Saya jualan gas ini belum setahun. Kalau aturan itu tentu saya sebagai pengecer tidak setuju. Bagaimana saya mau jualan lagi," katanya.

'Melintasi jarak 15 kilometer hingga ada yang meninggal dunia'

Keluhan yang hampir serupa juga terdengar di banyak wilayah lain.

Di Jakarta, Yonih (62 tahun), warga Pamulang, meninggal dunia setelah mengantre gas 3 kg pada Senin (03/02). Gas itu digunakan Yonih untuk keperluan berdagang di warungnya.

Di Pandeglang, Banten, Saepudin mengaku harus melintasi jarak sekitar 15 kilometer untuk membeli gas tiga kilogram di pangkalan.

"Apa pemerintah tidak memikirkan kami yang di pelosok? Untuk makan saja sulit, sekarang makin dipersulit dengan harus membeli gas ke tempat yang jauh," keluh Saepudin yang mengaku hampir 90% warga di wilayahnya menggunakan gas tiga kilogram. 

Apa tujuan pemerintah melarang penjualan LPG tiga kilogram di pengecer?

Pemerintah memutuskan penjualan LPG tiga kilogram melalui pengecer tidak diperbolehkan, terhitung 1 Februari 2025. Masyarakat yang ingin mendapatkan gas ini harus membeli dari pangkalan resmi Pertamina dengan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan.

Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas (LPG) Tertentu Tepat Sasaran.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menyebut kebijakan itu diambil agar subsidi pemerintah untuk LPG tiga kilogram tepat sasaran.

"Jadi bukan untuk mempersulit. Kami cuma mau merapikan semuanya supaya subsidi itu jauh lebih tepat sasaran," kata Prasetyo.

Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, mengatakan perubahan skema pendistribusian gas melon bertujuan untuk memutus mata rantai penyaluran yang sering kali tidak tepat sasaran.

"Justru kalau pengecer jadi pangkalan, itu kan justru mata rantainya akan lebih pendek," ujar Yuliot.

Namun Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti definisi "tidak tepat sasaran" yang diungkapkan oleh pemerintah.

Menurutnya pola pikir pemerintah itu perlu ditinjau ulang karena masyarakat yang kini mengalami tekanan ekonomi bukan hanya warga miskin, tapi juga kelas menengah.

"Dan kelas menengah ini lebar, ada yang mendekati rentan miskin, ada yang mendekati kelas atas. Jadi perlu didefinisikan kembali kelayakan masyarakat yang boleh mengakses LPG tiga kilogram," katanya.

Begitu juga dengan UMKM yang sebagian besar berasal dari kalangan miskin dan menengah yang menggunakan gas tiga kilogram.

Tujuan lain pemerintah adalah untuk menertibkan oknum-oknum yang mengambil keuntungan subsidi dari gas LPG tiga kilogram. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengeklaim ada sekelompok orang yang menaikkan dan memainkan harga gas melon.

"Harga elpiji itu kan Rp4.000 lebih, maksimal Rp5.000, Rp6.000. Tapi, kalau ada yang menaikannya berarti kan kita harus mengelolanya dong, memang sekarang di bagian pengecer itu lagi dikelola dengan baik. Agar apa? Jangan naikkan harga mau-maunya," kata Bahlil.

Bahlil pun mencurigai orang-orang yang mengeluhkan elpiji tiga kilogram langka adalah mereka yang membeli banyak sekaligus.

"Ini untuk apa? Harganya naik, sudah volumenya tidak wajar, harganya pun dimainkan. Nah dalam rangka menertibkan ini, maka kita buat regulasi sebenarnya. Bahwa beli di pangkalan, karena harga saya beli di pangkalan itu pemerintah bisa kontrol," kata Bahlil.

Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari mengatakan, dengan membeli LPG 3 kg di pangkalan resmi maka masyarakat akan mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan di pengecer "karena harga yang dijual sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah daerah masing-masing wilayah," ujar Heppy, Minggu (02/01).

Namun besarnya rangkaian penolakan dari masyarakat di beragam wilayah membuat pemerintah berubah pikiran.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan agar pengecer kembali boleh berjualan gas LPG tiga kilogram seperti sebelumnya.

"DPR sudah berkomunikasi dengan Presiden sejak semalam. Ada keinginan dari Kementerian ESDM untuk menertibkan harga di pengecer supaya tidak mahal di masyarakat," ujar Dasco di Jakarta, Selasa (04/02).

Menurut Dasco, pemerintah akan membuat regulasi untuk menertibkan harga elpiji subsidi.

"Tetapi sambil itu parsial dilakukan, Presiden menginstruksikan ESDM agar per hari ini pengecer itu bisa berjualan kembali, sambil kemudian secara parsial aturannya diselaraskan," kata Dasco.

Di sisi lain, secara regulasi, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai pemerintah perlu membenahi Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kilogram.

Pasalnya, kata Sofyano, definisi kelompok rumah tangga dan usaha mikro sebagai penerima LPG tiga kilogram dalam aturan itu terbaca "abu-abu".

Definisi itu, katanya, memberi ruang bagi keluarga miskin maupun kaya, serta usaha mikro kecil maupun menegah untuk menggunakan gas melon.

"Oleh karenanya, hal utama yang harusnya dibenahi pemerintah adalah justru merevisi Perpres 104 Tahun 2007 khususnya terkait siapa pengguna yang berhak dan juga pengawasannya di lapangan," kata Sofyano.

Bagaimana nasib pengecer gas melon?

Menteri ESDM Bahlil mengatakan aturan ini bertujuan untuk membuat para pengecer bisa naik kelas menjadi agen distribusi resmi.

Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebut kebijakan ini akan mendorong pengecer untuk mendaftar sebagai agen resmi agar tetap bisa berjualan. Hasilnya, posisi pengecer akan lebih formal, dampaknya distribusi elpiji bersubsidi bisa lebih terkontrol.

Bagaimana caranya? Wamen ESDM Yuliot Tanjung mengatakan para pengecer dapat mendaftar melalui sistem Online Single Submission (OSS) untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB).

Sistem OSS telah terintegrasi dengan data kependudukan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sehingga pendaftaran diklaim dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Berapa besar subsidi yang dikeluarkan pemerintah?

Bahlil mengatakan, Subsidi LPG tiga kilogram yang dikeluarkan pemerintah dalam setahun sebesar Rp 87 triliun.

Rinciannya, ujar bahlil, pemerintah memberikan subsidi Rp12.000 untuk setiap satu kilogram tabung gas melon. Jadi setiap tabung yang berisi tiga kilogram maka jumlah subsidi mencapai Rp36.000.

"Karena diingat bahwa per kilogram LPG itu subsidi kita kurang lebih sekitar Rp 12 ribu. Satu tabung kilogram LPG itu minimal subsidi kita Rp 36 ribu. Ini biar kita tahu betul. Dan harga yang ke masyarakat itu paling besar sekitar Rp 5 ribu," kata Bahlil, Senin (03/01).

Hitung-hitungan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, harga resmi LPG tiga kilogram seharusnya Rp12.750 per tabung. Hal ini karena adanya subsidi sebesar Rp30.000 per tabung.

Tanpa subsidi, harga asli elpiji tiga kilogram bisa mencapai Rp42.750 per tabung. Sepanjang 2024, anggaran subsidi energi mencapai Rp 386,9 triliun, ditambah Rp47,4 triliun untuk subsidi pupuk. (*)

Tags : Minyak gas, Ekonomi, Energi, Masyarakat, Indonesia, Kemiskinan,