LINGKUNGAN - Rachel Nuwer melihat langsung metode fermentasi unik yang diujicobakan di Jepang. Metode ini mampu mendaur ulang sisa makanan menjadi pakan ternak yang berkelanjutan sekaligus menghemat uang, mengurangi limbah, serta mengurangi emisi.
Sejak anak-anak Koichi Takahashi sudah berkeinginan menyelamatkan bumi. Dia memimpikan masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam secara berkelanjutan pada masa depan, melalui siklus daur ulang dan regenerasi.
Namun Takahashi tahu dia tidak bisa mengubah dunia sendirian. Seiring bertambahnya usia, dia menyadari bahwa dia harus memfokuskan energinya untuk mengubah satu sudut kecil di dunia.
Peternakan babi bukanlah tempat kerja yang Takahashi cita-citakan. Namun dia kini mendirikan sebuah perusahaan bernama Japan Food Ecology Center, yang menawarkan solusi positif untuk berbagai kalangan, dengan mengubah sisa makanan manusia menjadi pakan babi berkualitas tinggi.
“Saya ingin membangun proyek percontohan untuk ekonomi sirkular. Daripada mengandalkan pakan impor, kami bisa memanfaatkan limbah makanan lokal secara efektif,” ujarnya.
Wilayah yang berukuran kecil dan lanskap pegunungan menghadirkan tantangan bagi Jepang jika ingin mencapai swasembada pangan. Negara ini mengimpor hampir dua pertiga sumber pangannya dan juga tiga perempat pakan ternaknya.
Setiap tahun pula, Jepang membuang 28,4 juta ton makanan–sebagian besar merupakan makanan yang dapat dimakan.
Situasi ini menimbulkan dampak lingkungan dan ekonomi yang besar. Dibandingkan dengan banyak negara lainnya, konsumen di Jepang membayar harga makanan yang lebih tinggi karena sebagian besar makanan tersebut diimpor.
Para konsumen itu juga membayar pajak untuk menutup sebagian biaya pembakaran sampah, yang setiap tahun bernilai sebesar 800 miliar yen (sekitar Rp86,5 triliun).
Sekitar 40% sampah yang dibakar itu merupakan makanan. Pembakarannya menghasilkan polusi udara dan emisi gas rumah kaca yang signifikan.
Sebagai negara penghasil gas rumah kaca terbesar kelima di dunia, Jepang telah menetapkan tujuan untuk mengurangi emisi sebesar 46% pada tahun 2030. Mereka juga bertekad mencapai netral karbon sepenuhnya pada tahun 2050.
Takahashi berkata, mengatasi limbah makanan harus menjadi bagian dari upaya mencapai target tersebut.
Visi Takahashi untuk menciptakan lingkaran pangan berkelanjutan dimulai pada 1998. Ketika itu pemerintah Jepang meluncurkan proyek yang mempromosikan strategi mengubah sumber daya yang terbuang menjadi pakan ternak.
Harga gandum impor sedang naik pada saat itu. Takahashi berkata, saat itu muncul kecemasan tentang terjadinya krisis di Jepang.
Jika pemerintah tidak segera menemukan solusi atas persoalan pangan tersebut, tidak sedikit warga Jepang yang yakin industri peternakan di negara mereka akan runtuh.
Takahashi, yang saat itu berpraktik sebagai dokter hewan, menangkap peluang untuk memanfaatkan keahliannya untuk mengatasi persoalan pangan itu, sekaligus memenuhi keinginannya berkontribusi untuk bumi.
Namun dia kemudian menyadari bahwa perubahan sistem tidak mungkin berlangsung cepat. Salah satu alasannya, pengiriman limbah makanan mentah ke peternakan tidak mudah dilakukan.
Permasalahan besar memperumit masalah ini, termasuk kandungan limbah makanan yang sangat bervariasi.
Takahasi menemukan fakta bahwa kandungan air yang tinggi pada makanan menyebabkan pembusukan. Selain itu, upaya mengeringkan makanan untuk mengatasi masalah air itu juga memerlukan energi yang hampir sama besarnya dengan proses membakar sampah.
Untuk menemukan solusinya, Takahashi beralih ke seni alami yang telah disempurnakan Jepang selama ribuan tahun: fermentasi.
“Saya menyadari bahwa kami sudah memiliki teknologi untuk menciptakan produk yang bisa bertahan lama,” ujarnya.
Fermentasi telah menjadi subjek studi ilmiah di Jepang sejak abad ke-19. Saat itu Jepang mulai berinvestasi besar-besaran dalam membangun industri baru berdasarkan praktik kuno, seperti pembuatan sake dan pembuatan kecap.
Pada abad ke-20, fokus Jepang pada fermentasi mengarah pada pendekatan khas Jepang yang menganggap mikroba “sebagai pekerja yang hidup”.
Hal ini diutarakan Victoria Lee, sejarawan di Ohio University sekaligus penulis buku berjudul The Arts of the Microbial World: Fermentation Science in Twentieth Century Japan.
“Bagi para ilmuwan, fermentasi lebih dari sekadar proses pangan, tapi juga cara untuk mengubah masyarakat dan memecahkan berbagai masalah lingkungan dan sumber daya,” tuturnya.
Seperti para peneliti fermentasi sebelumnya, Takahashi sedang mencari cara, seperti yang dikatakan Lee, "untuk mengambil sampah dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna, dalam proses menciptakan industri baru."
Bekerja sama dengan peneliti dari pemerintah, universitas, dan lembaga nasional, Takahashi menggunakan pengetahuannya sebagai dokter hewan untuk membuat produk pakan cair yang difermentasi dengan asam laktat untuk babi. Tim riset harus terlibat dalam pemecahan masalah yang panjang.
“Saat kami memberikan pakan uji awal kepada babi, pertumbuhan mereka lebih lambat dan dagingnya terlalu berlemak,” kata Takahashi.
Melalui serangkaian kegagalan, tim riset itu akhirnya mendapatkan kandungan nutrisi yang tepat. Mereka juga menemukan cara untuk memperpanjang umur simpan “ecofeed”–istilah yang mereka sebut untuk menyebut produk tersebut.
Proses itu berlangsung dengan cara menurunkan pH menjadi 4,0, tingkat di mana sebagian besar bakteri patogen tidak dapat bertahan hidup.
Produk yang dihasilkan–berwarna pucat dan bertekstur encer–terasa seperti yogurt asam. Produk ini dapat disimpan di rak, tanpa disimpan di lemari es, hingga 10 hari.
Produk ini juga bermanfaat bagi iklim. Takahashi berkata, dibandingkan dengan jumlah pakan yang diimpor dari luar negeri, proses pembuatan pakan ramah lingkungan menghasilkan emisi gas rumah kaca 70% lebih sedikit.
Ketika temuan riset itu mulai diterapkan, Takahashi mulai melobi pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan lain di Jepang untuk mengizinkannya melanjutkan penerapan sistem daur ulang pusat tersebut ke pasar.
Takahasi berkata, upaya itu membutuhkan waktu bertahun-tahun.
"Namun kami kini telah membangun hubungan saling percaya dengan berbagai badan pemerintah yang mengawasi permasalahan sampah dan lingkungan hidup," tuturnya.
Faktanya, kata dia, pejabat pemerintah Jepang sering datang kepadanya untuk meminta nasehat.
Sebagian besar pabrik pengolahan limbah berbau sampah. Namun pengunjung Pusat Ekologi Pangan Jepang sering kali terkejut karena mereka tidak mencium bau itu. Udara di kompleks pengolahan itu mengingatkan mereka pada toko jus.
Kompleks ini terletak di Sagamihara, sebuah kota di prefektur Kanagawa yang berjarak sekitar dua jam perjalanan kereta api dari Tokyo.
Sagamihara adalah daerah yang "biasa-biasa saja", tapi setiap tahun sekitar 1.500 pengunjung dari seluruh Jepang, dari siswa sekolah dasar hingga pensiunan, mengunjungi pusat pengolahan tersebut untuk belajar tentang daur ulang makanan secara langsung.
Fasilitas daur ulang ini memproses sekitar 40 ton sampah makanan per hari, yang diangkut dengan truk dari ratusan supermarket, swalayan, dan pabrik. Beberapa dari bisnis ini terdorong untuk membuat operasional mereka lebih hijau. Walau begitu, mereka mendapat insentif dari biaya yang lebih rendah yang dikenakan oleh pusat tersebut untuk menerima limbah mereka, dibandingkan dengan insinerator.
Makanan yang mereka kirimkan bervariasi dari hari ke hari, namun whey, produk sampingan dari mentega dan keju, merupakan makanan pokok yang selalu ada, begitu pula sisa-sisa produksi massal produk-produk seperti gyoza dan sushi.
Setiap proses produksi makanan itu menghasilkan 3% hingga 5% sisa pangan, kata Takahashi. Artinya, sebuah pabrik yang memproduksi 50 ton makanan per hari akan menghasilkan setidaknya 1,5 ton limbah.
Limbah makanan dalam jumlah besar juga dihasilkan oleh produsen yang dikontrak untuk memasok 55.657 toserba di Jepang–banyak di antaranya buka 24 jam, 365 hari setahun–dengan aliran produk yang konstan.
Makanan yang mudah basi untuk toserba “harus diantar segera setelah dipesan, sehingga pabrik yang membuat kotak makan siang dan nasi kepal harus memproduksi lebih banyak, bahkan jika mereka kehilangan keuntungan”, kata Takahashi.
"Karena mencegah hilangnya peluang penjualan begitu penting, limbah makanan dalam jumlah besar terus-menerus muncul," tuturnya.
Pada suatu pagi baru-baru ini, berbagai macam wadah berukuran 140 dan 500 liter berisi kulit gyoza, beras, kubis, kulit nanas, pisang, mie, dan roti lapis menunggu untuk diproses.
Kumpulan ecofeed dikalibrasi berdasarkan kandungan kalori dan nutrisi, sehingga berbagai bahan dicampur dengan sengaja, bukan secara acak.
Untuk mencegah kontaminasi, semua makanan dimasukkan ke dalam detektor logam dan diperiksa secara manual oleh pekerja di ban berjalan.
Selanjutnya adalah tahap pemotongan dan penghancuran, yang menghasilkan produk cair (rata-rata 80% makanan adalah air), diikuti dengan sterilisasi untuk mengurangi bakteri patogen.
Akhirnya, cairan tersebut dimasukkan ke dalam salah satu dari beberapa tangki besar tempat terjadinya fermentasi, berkat bakteri dalam asam laktat.
Ecofeed yang dihasilkan membuat peternak mengeluarkan biaya sekitar setengah harga pakan konvensional. Peternakan juga dapat menyesuaikan formula mereka sesuai dengan kebutuhan mereka – meminta lebih banyak lisin atau asam amino lainnya, misalnya, untuk meningkatkan lemak atau massa otot pada babi mereka.
Menurut Dan Kawakami, seorang peternak di Azumino Eco Farm di Nagano yang dipasok oleh pusat daur ulang pangan itu sejak tahun 2006, kualitas daging babi dari hewan yang dipelihara dengan ecofeed lebih baik.
"Menggunakan sumber pakan yang berkelanjutan juga membedakan produk kami dari pesaing dan ini menguntungkan dari segi biaya,” ujarnya.
Daging babi ramah lingkungan dari peternakan seperti Azumino dijual oleh puluhan restoran, supermarket, dan swalayan yang jumlahnya terus bertambah di Jepang.
Penjualan daging babi ini menghasilkan lebih dari 350 juta yen (Rp37,9 miliar) dalam setahun. “Ini menjadi populer sebagai daging yang lezat dan ramah lingkungan,” katanya.
Tahun lalu, Takahashi juga menggunakan biogas–energi terbarukan yang dihasilkan dari fermentasi metana.
Pengoperasian biogas memperluas jenis makanan yang dapat diolah oleh pabrik daur ulang karena babi tidak boleh mengonsumsi makanan yang kandungan lemak, garam, atau minyaknya terlalu tinggi.
Dalam tong-tong berkapasitas 1.500 ton sisa-sisa makanan dicampur dengan air dan dipanaskan untuk menghasilkan fermentasi. Generator konversi listrik mengubah metana yang dihasilkan menjadi listrik, yang juga Takahashi jual ke jaringan listrik.
Pembangkit tersebut saat ini menghasilkan energi listrik sebesar 12.672kWh per hari, setara dengan kebutuhan listrik 1.000 rumah tangga.
Produk sampingan padat dari proses ini–berupa bubuk hitam yang berbau seperti bumbu gurih–dikeringkan menggunakan kelebihan panas generator dan dijual sebagai pupuk pertanian yang kaya nutrisi.
Seperti yang dikatakan Takahashi, "tidak ada yang sia-sia" dari seluruh proses tersebut.
Yang penting, pusat daur ini mendapat keuntungan dari 35.000 ton sampah makanan yang mereka proses setiap tahunnya.
“Kami menumbangkan anggapan konvensional bahwa upaya penyelamatan lingkungan tidak membuahkan hasil, atau bahwa daur ulang itu terlalu mahal,” kata Takahashi.
Karena tujuannya adalah "untuk mengubah masyarakat", Takahashi tidak mengambil hak paten apa pun atas teknologi tersebut. Tujuannya memungkinkan orang lain untuk meniru metodenya.
Pusat daur ulang pangan tersebut telah menjadi cetak biru untuk fasilitas lain di Jepang yang menggunakan metode fermentasinya. Bersama-sama, mereka menghasilkan lebih dari satu juta ton ecofeed per tahun, membuktikan, kata Takahashi, bahwa upaya ekologis dan berkelanjutan dapat menghasilkan keuntungan.
Takahashi juga secara rutin menyambut mahasiswa, para peneliti, dan eksekutif industri dari seluruh dunia yang datang untuk belajar tentang fermentasi dan limbah makanan.
Seperti yang dia lakukan sejak awal, Takahashi mengakhiri tur yang dia jalani dengan menyajikan panganan berbahan daging babi itu sendiri, agar orang dapat menilai sendiri kualitasnya.
Disajikan dengan gaya tonkatsu– digoreng dan dipadukan dengan nasi serta salad yang diproduksi oleh pertanian yang sama.
Daging babi itu sangat empuk, dengan rasio lemak dan daging yang pas. Makanan yang sama disajikan tiga kali seminggu kepada staf pusat daur ulang tersebut, kata Takahasi, untuk memotivasi mereka dengan mencicipi betapa enaknya daging babi yang diberi makan dari produk mereka sendiri. (*)
Tags : limbah makanan, sisa makanan di daur ulang, sisa makanan untuk pakan ternak, energi terbarukan, pangan, teknologi, perubahan iklim, lingkungan, alam, sains, pelestarian,