Batam   2025/09/18 21:44 WIB

LLMB Tegaskan Relokasi Masyarakat Adat dari Rempang Bakal Hilangkan Identitas, Warga: ‘Kami Tidak akan Pindah Meski Terkubur di Situ’

LLMB Tegaskan Relokasi Masyarakat Adat dari Rempang Bakal Hilangkan Identitas, Warga: ‘Kami Tidak akan Pindah Meski Terkubur di Situ’
Melihat dari Dekat Kehidupan Masyarakat Pulau Rempang yang Terancam Dipindah

Masyarakat 16 kampung adat di Pulau Rempang menolak relokasi meski pemerintah memberi tenggat waktu pengosongan kawasan demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

KEPULAUAN RIAU - Perwakilan masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menyatakan sikap menolak relokasi “tak akan berubah”, meski pemerintah memberi tenggat waktu pengosongan kawasan tersebut hingga 28 September 2023 demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

Sebelumnya, Lembaga Laskar Melayu Bersatu (LLMB) yang prihatin terhadap masyarakat Melayu di Pulau Rempang ini terus menunjukkan kepeduliannya melalui tindakan seperti pertemuan langsung dengan warga, aksi solidaritas, penyaluran donasi, dan pernyataan sikap yang mendesak pemerintah untuk mengedepankan musyawarah serta melindungi hak-hak masyarakat adat.

LLMB juga menekankan pentingnya menghormati nilai-nilai adat dan kemanusiaan dalam penyelesaian konflik di Rempang. 

Pertemuan Langsung yang dilakukan LLMB dengan masyarakat Pulau Rempang untuk mendengar langsung keluhan dan persoalan yang mereka hadapi, seperti yang dilakukan di Kampung Pasir Panjang. 

Aksi solidaritas LLMB Riau Kepri dan Sumut turun langsung ke lapangan memberikan dukungan dan menyalurkan donasi kepada warga Rempang yang terdampak konflik.

Pernyataan sikap dan maklumat LLMB bersama dengan lembaga adat lainnya mendesak pemerintah untuk membatalkan relokasi dan menghentikan tindakan represif terhadap warga. 

Mendesak penyelesaian musyawarah dan menyerukan agar penyelesaian masalah di Rempang dilakukan melalui musyawarah mufakat, bukan dengan kekerasan atau intimidasi, serta menjunjung tinggi nilai adat. 

LLMB juga menekankan bahwa masyarakat Melayu yang tinggal di Rempang memiliki hak atas wilayah adat mereka. 

Organisasi ini juga menegaskan bahwa mereka mendukung pembangunan, tetapi tidak setuju jika masyarakat yang telah tinggal turun-temurun harus direlokasi dan tanah mereka digusur.

Masa Joko Widodo menjabat Presiden menganggap penolakan masyarakat Rempang disebabkan “komunikasi yang kurang baik”.

Karenanya, dia mengutus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk menjelaskan kepada warga.

Nasib Nelayan Pulau Rempang: Terancam Relokasi Proyek Strategis Nasional.

Sudah berhari-hari, Sobirin, 43, tak pergi melaut untuk mencari nafkah.

“Kami betul-betul takut,” kata nelayan yang tinggal di Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang Selasa (12/09) kemarin itu.

Bentrokan yang terjadi pada Kamis 7 September 2023 lalu membuat Sobirin kian resah dan khawatir.

Ketika itu, petugas dari BP Batam dan aparat mencoba masuk ke kampung-kampung ini untuk mengukur lahan.

“Mau makan apa, istri pun sudah ngomel-ngomel kalau kami ndak kerja. Kalau kami kerja kan, tapi kami tinggalkan [rumah], kata orang-orang kampung mau ada pematok-pematok, jadi ndak jadi kerja, takut,” tuturnya.

“Bukannya kami melarang orang itu, kami enggak melarang, tapi tolonglah jangan dipatok dulu sebelum selesai negosiasinya.”

Kampung Tanjung Banon berada di sisi selatan Pulau Rempang, berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Batam. Seperti Sobirin, mayoritas warga di sini adalah nelayan.

Sobirin menetap di kampung ini sejak 2003, setelah menikah dengan istrinya yang merupakan orang asli Tanjung Banon.

Selama itu pula, Sobirin menggantungkan hidupnya pada laut di sekitarnya yang telah dia kenali.

Ketika mendengar kabar bahwa masyarakat harus direlokasi demi proyek Rempang Eco City, dia mengaku tak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya nanti.

“Nggak akan bisa kita hidup di darat. Kita harus mulai dari nol lagi, nggak tahu tempat kita kerja, enggak akan bisa, malah bisa jadi mati kelaparan dulu. Kita harus memahami laut dulu. Di sini kan kita sudah tahu di mana tempat udang, tempat gonggong, kita tahu di mana yang ada ikannya,” tuturnya.

Sobirin sudah mendengar tawaran ganti rugi rumah dari BP Batam, namun dia enggan mendaftarkan diri.

“Kami nggak mau. Makanya kami memohon, meminta tolong kepada pemimpin-pemimpin kami, janganlah gusur kami,” ujarnya.

Ketakutan yang sama dirasakan oleh Naharuddin, seorang kakek berusia 79 tahun.

Dia merasa aspirasi masyarakat tidak didengarkan. Unjuk rasa yang digelar masyarakat untuk menyampaikan aspirasi di depan Kantor BP Batam pun berujung ricuh.

”Tak ada keadilan terhadap kami, tidak memberi kesempatan bagi kami untuk tinggal di kampung tua ini,” kata Naharuddin.

“Ke mana kami akan dipindahkan? Sedangkan kami nelayan asli kampung tua kan. Sudah begitu lama nenek moyang kami, kuburan-kuburan masih ada, peninggalan-peninggalan nenek moyang kami masih ada,” tuturnya.

Dalam konferensi pers di Batam pada Selasa, Kepala BP Batam masa dijabat Muhammad Rudi, mengatakan bahwa warga akan direlokasi ke wilayah Dapur Tiga, Sijantung, di lahan seluas 450 hektare.

Di situ, warga dijanjikan akan mendapatkan rumah tipe 45 senilai Rp120 juta.

Rudi menjanjikan “fasilitas yang komprehensif”, mencakup pembangunan rumah bernuansa melayu, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, lapangan bola, dermaga dan peningkatan infrastruktur jalan.

"Termasuk listrik akan kita masukkan permanen, tidak seperti sekarang. Hidup jam enam, mati jam enam. Jadi hidup 24 jam dari PLN sendiri," kata Rudi yang masa itu juga menjabat sebagai Walikota Batam.

Namun pembangunan hunian tahap pertama dari rencana itu ditargetkan baru rampung pada Agustus 2024.

Sementara itu, BP Batam menawarkan bantuan sewa rumah, uang tunggu, atau rusun untuk warga yang direlokasi.

BP Batam mengatakan setiap orang dalam satu keluarga akan mendapat biaya hidup sebesar Rp1,2 juta.

Selain itu, setiap keluarga juga akan menerima biaya sewa hunian sebesar Rp1,2 juta.

“Kita sudah sepakat sebetulnya dari pusat sampai ke daerah, mudah-mudahan masyarakat bisa terima dengan baik. Kalau tidak, kami buka ruang untuk berdialog ” kata Rudi.

Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastruty Sirait, mengeklaim bahwa “sudah ada” masyarakat yang mendaftarkan diri dan menerima tawaran tersebut.

Namun dia enggan merinci berapa banyak masyarakat yang mendaftar dengan alasan “konfidensial”.

Twtapi bagi Naharuddin, tawaran itu tidak cukup menenangkan hatinya yang menolak untuk direlokasi.

“Di mana-mana penggusuran itu pasti lahan masyarakat sudah disiapkan, sudah jadi bangunan, baru masyarakat pindah,” kata dia.

Dia mengatakan bahwa masyarakat setempat bukannya menolak pembangunan, namun mereka menolak direlokasi.

“Silakan membangun sebesar Pulau Rempang, tapi penduduk kami, hampir dua abad sudah terbangun di kampung kami, kami ndak mau dipindah. Biarlah kami tetap di sini. Mereka mau bangun proyek apapun, bangunlah, tapi jangan usir dari tempat kami,” kata Naharuddin.

Warga Kampung Tua Siaga Jelang Pengosongan Pulau Rempang

Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, Suardi, mengatakan “akan mempertahankan marwah” kampung-kampung mereka terlepas dari apa pun yang dilakukan pemerintah.

Kampung-kampung itu didirikan oleh nenek moyang mereka sejak 1843.

“Kami tidak akan mau pindah meskipun kami terkubur di situ. Karena dengan cara apa pun, itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaganya,” kata Suardi menanggapi mengenai tenggat waktu yang diberikan pemerintah, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (12/9).

Dia juga mempertanyakan klaim BP Batam yang menyebut bahwa sudah ada warga yang setuju dan menerima tawaran ganti rugi rumah.

“Apakah itu mereka dapat dari aparat yang menyisir dari rumah ke rumah melewati proses sosialisasi? Kalau dilakukan oleh oknum aparat, sehingga mendapat persetujuan, menurut saya masyarakat hanya ketakutan,” kata dia.

Menurut Suardi, masyarakat dari 16 kampung tua justru menitipkan perjuangan kepada dirinya untuk mempertahankan agar mereka tidak direlokasi.

Dia mengatakan sikap masyarakat “tidak akan berubah walaupun kemungkinan buruk terjadi”.

“Jika memang kami ditakdirkan mati di tangan pemerintah, kami sudah ikhlas, karena itu akan jadi catatan sejarah buat kami bangsa Melayu yang berada di Pulau Rempang,” katanya.

Eskalasi situasi selama sepekan terakhir, menurut Suardi, membuat masyarakat ketakutan bahkan trauma pasca-penembakan gas air mata yang terjadi hingga di sekolah-sekolah pada 7 September.

Sehari pasca-bentrokan, Dinas Pendidikan Kota Batam menerbitkan surat untuk menghentikan sementara proses pembelajaran di sekolah.

Tak hanya itu, Suardi mengatakan banyak anak-anak takut pergi sekolah atau dilarang orang tuanya pergi ke sekolah karena khawatir dengan keamanan mereka.

“Saya punya cucu kelas 1 SD, disuruh mamanya sekolah tidak mau lagi, dia takut ditembak. Alasannya, dia masih mau hidup. Ini yang saya rasakan.. miris, sedih, melihat kejadian itu,” kata Suardi.

Selain itu, polisi juga mendirikan posko-posko di wilayah Pulau Rempang.

Direktur Walhi Nasional, Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa langkah itu justru membuat warga kian ketakutan.

Untuk membuat situasi kondusif, Zenzi mengatakan langkah-langkah yang berkaitan dengan proyek ini harus dihentikan dan aparat harus ditarik.

“Kami meminta Kapolri untuk menarik seluruh personil polisi dari Rempang dan Galang,” kata Zenzi.

Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad mengimbau masyarakat untuk menjaga situasi di Kepulauan Riau tetap kondusif.

Secara terpisah, Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, mengimbau masyarakat “untuk menjaga situasi di Kepulauan Riau tetap kondusif dalam rangka menjamin keberlangsungan investasi”.

Dalam konferensi pers di Batam, Ansar juga meminta masyarakat untuk “tidak mudah terpancing oleh provokasi” dan “isu-isu miring”.

“Kita berdoa semoga Kepri tetap aman dan damai, dapat melanjutkan pengembangan investasi dan dapat membangun provinsi ke depan dan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kepri,” kata Ansar.

Para pegiat HAM dan lingkungan mempertanyakan tujuan pembangunan dari proyek investasi senilai Rp381 triliun hingga 2080 yang merupakan kerja sama BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG).

“Sebenarnya untuk siapa pembangunan itu? Investasi itu untuk siapa kalau rakyatnya sendiri harus diusir dari tempat itu?" kata Zenzi dari Walhi.

Menurutnya, pemerintah harus transparan terkait perhitungan keuntungan dari investasi itu dan dampak ekonominya bagi masyarakat.

"Jangan-jangan [investasi itu] lebih kecil angkanya dari nilai ekonomi di Rempang itu sendiri. Negara sudah hitung belum ekonomi 7000-an kepala keluarga itu berapa totalnya?" tutur Zenzi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan apa yang terjadi di Rempang juga "bukan sekadar relokasi masyarakat", melainkan "perampasan tanah rakyat" yang dilakukan "secara struktural oleh pemerintah" melalui kerangka PSN.

"Label, judul bahwa apa yang dilakukan di Pulau Rempang itu adalah PSN harus dicabut. Segala upaya yang dilakukan BP Batam yang dibekingi aparat harus dihentikan," kata dia.

Kasus di Rempang juga menambah daftar panjang konflik agraria yang disebabkan oleh PSN. Menurut catatan KPA, terdapat 35 kasus konflik agraria yang disebabkan oleh pembangunan PSN.

Relokasi masyarakat adat dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City, di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, berpotensi mengakibatkan identitas masyarakat adat tempatan menjadi hilang, kata Panglima Pucuk LLMB Datuk Besar Ismail Amir SH MH dikontak ponselnya menyikapi itu, Kamis (18/9).

Ia lantas minta pelaksanaan PSN, terutama yang memicu konflik, harus dievaluasi.

"Masyarakat adat tempatan yang terdampak PSN Rempang akan mengalami kerugian besar, seperti kehilangan sejarah kehidupan, ikatan sosial sesama warga, ikatan ekonomi termasuk hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan peladang yang telah berlangsung secara turun temurun."

“Saya melihat fenomena kejahatan kemanusiaan terjadi kepada masyarakat adat dengan adanya tindak kekerasan dan pemaksaan untuk direlokasi. Hal ini berpotensi menghilangkan identitas masyarakat adat tempatan itu sendiri. Sudah pasti relokasi tersebut tidak cocok," kata Datuk Besar Ismail Amir.

Datuk Besar Ismail Amir membeberkan, konflik Rempang telah mengakibatkan luka yang sangat besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat tempatan yang sudah tinggal di sana sejak 1834.

"Tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat juga menimbulkan trauma mendalam pada anak-anak."

"Kami menyoroti tindakan pemerintah tanggal 12 September, di mana aparat merelokasi secara paksa empat kampung di Pulau Rempang yaitu Kampung Sembulang, Tanjung Banun, Dapur Enam, dan Pasir Panjang. Sedikitnya, relokasi tahap pertama tersebut akan memindahkan 700 keluarga yang bermukim di empat kampung yang luasnya 2.000 hektare,” ujarnya.

PSN Rempang Eco-City, lanjutnya, seolah mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat tempatan dengan tidak adanya pengakuan atas keberadaan mereka yang sudah lama mendiami wilayah tersebut.

Sebagai masyarakat adat yang sudah mendirikan kampung di Pulau Rempang, penghidupan dan hak mereka seharusnya sudah dijamin dalam SK Walikota Batam Nomor: KPTS 105/HK/III/2004 dan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam pada pasal 21 ayat 4.

Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang, Kepulauan Riau

Menurut Datuk Besar Ismail Amir, pemerintah terlalu memaksakan bila tetap memindahkan masyarakat Rempang dari habitat alaminya di sekitar pesisir ke rusun-rusun lingkup perkotaan.

"Maka itu muncul solidaritas dari Suku Melayu lainnya dari Riau, Sumatera, dan Kalimantan untuk membela hak masyarakat adat tempatan. Dukungan dari masyarakat adat lainnya ini sudah seharusnya menjadi pertimbangan dari pemerintah terhadap keberlanjutan proyek Eco-City," sebutnya.

Menurutnya, masyarakat adat tempatan memiliki nilai sejarah yang kaya, sistem sosial yang menjaga alam tetap lestari, serta sudah sejak dulu berkontribusi dalam menjaga ekosistem pantai.

“PSN malah melegalkan upaya perusakan lingkungan melalui pembangunan industri kaca yang akan merusak ekosistem kelautan,” ucapnya.

Tetapi berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), ada kekeliruan prosedur dalam kasus Rempang sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Karena sampai saat ini Pulau Rempang masih menjadi kawasan konservasi pada SK.179/IV-KKBHL/2013 tanggal 21 Juli 2013.

Selain itu SK ini kemudian diperkuat oleh Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam SK.76/IV-KKBLH/2015 tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru, yang menyatakan bahwa Pulau Rempang masih teregister sebagai kawasan Taman Buru oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kemudian, Dokumen Gubernur Kepulauan Riau, Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau No. 1 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017-2037 pada Pasal 41 huruf g, menyatakan Rempang merupakan Hutan Lindung. Lalu, secara tiba-tiba terbitlah HPL atas wilayah tersebut kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) Juli 2023.

"Masih menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah memberikan HPL atas kawasan hutan? Artinya, pemerintah telah menyalahi kebijakan yang mereka atur sendiri,” tegas Ferry Widodo

Masalah Besar di Balik PSN

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Pemerintah seolah sedang mengebut dalam menyelesaikan rangkaian PSN di berbagai wilayah. Tercatat hingga September 2023, sudah ada sebanyak 161 PSN yang sudah terealisasi.

Namun, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyoroti pelaksanaan PSN yang cacat secara prosedur dan proyek dilaksanakan secara terburu-buru. Banyak permasalahan besar yang muncul, seperti tidak adanya persetujuan sejak awal penetapan lokasi PSN, proses musyawarah yang dilakukan tidak dengan itikad baik, hingga intimidasi terhadap masyarakat sekitar proyek, yang seringkali berakhir dengan kriminalisasi.

Mirisnya, upaya kriminalisasi tersebut justru menimpa orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup yang baik bagi generasi penerus bangsa ini.

“Seperti konflik di Rempang yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah menyangkal bahwa masyarakat yang tinggal di Rempang bukanlah masyarakat adat, serta belum memiliki legalitas hukum," ujar Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) PB AMAN.

Arman menuturkan, bila 16 Kampung Tua mengklaim eksistensi mereka sebagai masyarakat adat melalui hukum adat, maka hal itu harus dihormati. Ketiadaan pengakuan dari negara tidak berarti keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak atas wilayah adatnya yang telah ditempati secara turun-temurun menjadi hilang.

Sementara itu, AMAN mencatatkan selama 5 tahun terakhir (2018-2022) setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektare wilayah masyarakat adat. AMAN mencatat beberapa konflik lainnya yang sudah terjadi akibat PSN seperti proyek food estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, proyek geothermal di Manggarai, NTT, hingga proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.

“Semua konflik itu kami dokumentasikan dalam Catatan Akhir Tahun AMAN. Di IKN sendiri, setidaknya terdapat 21 komunitas Masyarakat Adat yang mendiami wilayah pembangunan IKN. AMAN memperkirakan sedikitnya terdapat 20,000 jiwa Masyarakat Adat yang akan terampas haknya akibat proyek ambisius IKN di Kalimantan Timur itu,” tambah Arman.

Arman mengatakan, untuk kesekian kalinya tidak terlihat peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mencegah terjadinya tindakan represif terhadap masyarakat Adat.

“Pemerintah/penyelenggara negara gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi hak-hak warga termasuk dalam hal ini masyarakat adat, bahkan cenderung lebih pro terhadap kepentingan investasi-korporasi,” jelasnya.

Potensi konflik justru dipicu oleh kehadiran aparat dalam jumlah besar. Ada ketimpangan dalam adu kekuatan antara aparat dengan masyarakat terdampak, terutama masyarakat adat.

Pola serupa terjadi di semua PSN yang saat ini sedang dikebut oleh pemerintah seiring dengan hampir berakhirnya periode pemerintahan Presiden Jokowi di 2024 mendatang.

“Saya tegaskan, kita tidak bisa ‘membeli’ sejarah. Negara telah gagal mempertahankan identitas warganya dan menghilangkan ruang hidup dan penghidupan mereka, terutama pada anak-anak muda sebagai pemilik masa depan bangsa ini," ujar Arman.

Herlambang P Wiratraman, Dosen Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) mencatat setidaknya ada 10 hak masyarakat adat yang terampas dalam proses pelaksanaan PSN di berbagai wilayah di Indonesia. Yang pertama, negara telah berdosa karena gagal menjamin hak hidup. Kedua, negara membiarkan kekerasan terjadi kepada anak-anak.

Kemudian yang ketiga, terjadinya pelumpuhan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga. Keempat, tidak adanya jaminan atas hak kolektif dalam mempertahankan wilayahnya. Kelima, tidak adanya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang dijamin dalam sistem hukum yang adil, terjadinya berbagai serangan siber.

Selanjutnya, ketujuh, adanya kekerasan oleh aparat dan premanisme. Kedelapan, hilangnya hak hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kesembilan, hak milik pribadi dan hak lainnya yang diambil alih secara paksa. dan kesepuluh negara gagal menjalankan mandat konstitusional, yakni perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Kesepuluh pelanggaran hak ini, kata Herlambang, tidak hanya terjadi di Rempang, melainkan di wilayah lainnya seperti kasus PSN Bendungan Bener, di Wadas. Hal ini sangat disayangkan, karena seluruh hak yang diatur dalam konstitusional negara justru dilanggar oleh pemerintahnya sendiri.

"Ditambah lagi, produk hukum seolah diatur menyesuaikan untuk bisa mengakomodir PSN. Bahkan di lapangan seringkali terjadi manipulasi fakta yang sudah beyond-the-law," tambah Herlambang.

Selain HAM, ada hak lain yang juga dilanggar pemerintah terhadap masyarakat adat dalam konteks free, prior, inform, and consent (FPIC).

Pemerintah, menurut Herlambang, seharusnya berkomunikasi dan melakukan sosialisasi atas sebuah proyek pembangunan.

“Dalam melakukan FPIC ini pemerintah harus mengakui hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat terkait hal-hal yang mempengaruhi tradisi tradisi dan cara hidup mereka,” terangnya.

Herlambang menilai PSN lebih mengutamakan kepentingan investasi ketimbang kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya. Sampai saat ini, Herlambang mengaku masih mempertanyakan ukuran strategis dalam mengukur program tersebut.

"Karena setiap proyeknya didominasi oleh politik investasi bukan untuk kesejahteraan sosial. PSN ini sangat kental dengan capital-driven-investment. Jadi, strategis di sini itu strategis untuk siapa?” ujar Herlambang.

Dalam kasus Rempang, Ferry berpendapat, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan pengakuan terhadap masyarakat yang ada di Pulau Rempang.

Pengakuan ini harus dibuktikan dengan tidak dipaksanya masyarakat adat keluar dari kampung Melayu Tua. Kemudian, PSN ini harus dihentikan karena sudah mencederai dan menjauhkan masyarakat dari sumber penghidupannya.

“Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang seolah melegalkan kejahatan kemanusiaan. Salah satunya melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)," katanya.

Tetapi kembali disebutkan Ferry Widodo, perlu dilakukan pengecekan terhadap dokumen yang sudah dikeluarkan pemerintah, seperti HPL, kepada PT MEG yang akan mengembangkan Rempang Eco City.

Dirinya menegaskan, HPL bukan pengakuan hak atas tanah, melainkan hak pengelolaan yang bisa diberikan kepada badan usaha/pemerintah.

"Tetapi, jika ada masyarakat di atasnya wajib direlokasi diganti rugi dengan syarat musyawarah,” ujar Ferry.

Agar tidak memakan banyak korban, berbagai konflik yang terjadi akibat PSN perlu penyelesaian secara cepat, efektif, dan mengakomodir hak masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat. Organisasi masyarakat yang diwakili oleh Walhi dan AMAN menyerukan untuk menghentikan PSN yang berpotensi memicu konflik.

Konflik ini dipicu oleh eksekusi Rencana Proyek Rempang Eco-City sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan melalui Permenko Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator RI No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Masyarakat sipil juga menilai peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rempang harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Data laporan Global Witness (2023) mencatat, terhitung dari 2012 hingga 2022, terdapat setidaknya 1.910 pejuang lingkungan dan keadilan iklim yang terbunuh karena berusaha mempertahankan wilayahnya dari alih fungsi lahan untuk keperluan industri di seluruh dunia. Selama 2022, setidaknya terjadi ada 16 kasus pembunuhan terjadi di kawasan Asia dan 3 di antaranya berasal dari Indonesia.

Lembaga Laskar Melayu Bersatu (LLMB) yang prihatin terhadap masyarakat Melayu di Pulau Rempang, dan menunjukkan kepedulian ini melalui tindakan seperti pertemuan langsung dengan warga, aksi solidaritas, penyaluran donasi.

Panglima Pucuk LLMB Datuk Besar Ismail Amir mengaku telah menemui masyarakat Pulau Rempang di Kampung Pasir Panjang, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Batam.

Kedatangan rombongan LLMB ke Pulau Rempang ini untuk memberikan dukungan secara langsung kepada Masyarakat Melayu Pulau Rempang.

Mereka juga ingin memastikan kalau masyarakat yang melakukan penolakan tetap bisa bersuara tanpa intimidasi dari pihak manapun.

Panglima Pucuk LLMB, Datuk Besar Ismail Amir, mengatakan masyarakat jelas menolak penggusuran kampung-kampung yang telah mereka huni secara turun temurun.

Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah dapat mempertimbangkan niat melakukan penggusuran.

“Kami berharap pada pemerintah untuk mempertimbangkan. Karena ini sudah didengar luar negeri,” kata Datuk Besar Ismail Amir.

Di hadapan masyarakat Kampung Pasir Panjang, Ismail Amir mengatakan pihaknya akan terus menyuarakan apa yang menjadi harapan masyarakat Kampung Pasir Panjang dan warga Pulau Rempang lainnya.

Ismail juga mengatakan agar masyarakat Pulau Rempang tetap berjuang mempertahankan hak mereka.

“Kenapa kami datang ke sini, karena kami orang Melayu. Sekali lagi tidak perlu takut, sama-sama kita berjuang, berdoa, kawan-kawan di luar sana berdoa,” kata Ismail lagi.

Ismail dan rombongan juga membawa sembako untuk masyarakat Pasir Panjang. Mereka juga datang ke Sembulang untuk memberikan dukungan serupa kepada masyarakat yang terus berjuang menolak penggusuran. (*)

Tags : masyarakat rempang, batam, relokasi masyarakat adat, relokasi warga rempang hilangkan identitas, ekonomi, hak asasi, masyarakat, hukum, News ,