PEKANBARU - Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR) mengatakan bahwa tidak tepat jika dana kegiatan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) perusahaan minyak dan gas (Migas) dimasukkan dalam penggantian biaya operasi (cost recovery).
"LMR nilai tidak tepat jika CSR Migas dimasukkan sebagai cost recovery."
"Jika dimasukkan dalam penggantian biaya operasi cost recovery masyarakat tempatan dilingkungan perusahaan tidak dapat menikmati CSR tersebut," kata Ketum LMR H. Darmawi Wardhana Zalik Aris, Jumat (21/10) sore ini.
Di dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2008 tentang jenis-jenis biaya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang tidak dapat dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), dana CSR tidak boleh masuk dalam cost recovery.
Darmawi mengakui bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan migas tempat dimana perusahaan tersebut beroperasi.
Jika hal tersebut diklaim atau dimasukkan dalam cost recovery dan dibayarkan oleh negara, maka namanya bukan tanggung jawab sosial perusahaan. “Dapat dikatakan perusahaan tidak bertanggung jawab, soalnya beban tanggung jawabnya digeser ke negara,” katanya.
Jika ada alasan banyak kegiatan perusahaan migas yang tidak berjalan disebabkan oleh CSR, Darmawi mengatakan bahwa permasalahan sebenarnya lebih kepada masalah regulasi dan insentif fiskal yang minim.
“Jangan-jangan memang ada perusahaan migas tidak mampu menjalankan CSR itu dalam pengelolaan".
"Logikanya setelah perusahaan migas dapat profit atas dasar itu mereka seharusnya berbagi dengan masyarakat sekitar, jadi memang bukan biaya, melainkan sifatnya menyentuh kepentingan masyarakat umum,” tambahnya.
Masalah regulasi misalnya, kata Darmawi masih ada regulasi di sektor migas yang tumpang tindih, seperti izin daerah, hutan, dan lingkungan.
Tetapi Darmawi kembali menyebutkan, bahwa memang masih ada masalah tumpang tindih itu lebih disebabkan adanya ego daerah masing-masing sektoral.
Namun satu sisi Kementerian ESDM menginginkan produksi migas naik, Kementerian Keuangan yang juga memiliki target peningkatan penerimaan negara. Kemudian, Kementerian lingkungan yang tidak ingin rusak lingkungannya, Kementerian kehutanan juga memiliki target menjaga hutan, serta daerah yang menggeruk PAD.
“Itu tidak bisa dicapai secara bersamaan, harus ada prioritas,” ungkap Darmawi menilai.
Darmawi mengibaratkan bahwa sektor migas seperti perempuan cantik sehingga banyak yang mengatur.
Hingga akhirnya, terlalu banyak yang mengatur, muncul banyak aturan dan akhirnya tidak berjalan dengan baik. Dampak dari hal tersebut memang harus disiasati.
Menurutnya, selain ketidaksetujuannya dengan memasukkan dana CSR dalam cost recovery, tetapi Ia melihat penciptaaan sumber daya manusia yang handal dan lapangan kerja yang pasti hal yang juga urgen, sebagaimana dilansir lokal bisnis development.
Jadi CSR Migas dimasukkan sebagai cost recovery secara konsep jelas tidak tepat, tegasnya.
"Harus ada memperbaiki regulasi dan koordinasi lintas sektoral," sambungnya.
Sementara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengusulkan kepada pemerintah agar CSR masuk dalam cost recovery. Kepala BP Migas, R Priyono mengatakan usulan itu sudah disampaikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik.
LMR menyikapi ketidaksetujuannya atas langkah pihak BP Migas itu. “Ini merupakan pemborosan, justru masyarakat tempatan tidak tahu kegunaan CSR malah mereka menjadi kambing hitam," kata Darmawi.
Sementara Menteri ESDM sudah setuju dan merevisi Permen Nomor 22 Tahun 2008 dalam waktu dua minggu kedepan.
"Soal pengelolaan program CSR, perusahaan migas diminta tetap dapat kolaborasi dengan Pemda setempat."
"Artinya kolaborasi tersebut dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih pendanaan program kegiatan. Sehingga jelas program yang di danai melalui APBD dan program yang di danai melalui CSR. Dengan begitu ada porsi CSR untuk mendukung visi misi Bupati dan Wakil Bupati sebagai daerah penghasil," jelas Darmawi menyikapi.
LMR juga menjelaskan ada 5 jenis CSR perusahaan.
Setiap perusahaan migas yang perlu diperhatikan memiliki CSR, atau tanggung jawab sosial kepada masyarakat atau lingkungan tempatnya berdiri sesuai tertuang dalam Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Perseroan Terbatas.
“Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan,” bunyi Pasal 2 PP tersebut.
Lalu, Apa saja cakupan kegiatan CSR bagi perusahaan migas ini?
Darmawi menilai ruang lingkup CSR dibagi menjadi tiga, yaitu ruang lingkup sempit, ruang lingkup luas, dan ruang lingkup menurut perusahaan.
Dalam lingkup yang sempit, CSR mencakup antara lain, CSR kepada karyawan, CSR kepada steakholder, yakni pihak-pihak eksternal yang turut mempengaruhi jalannya korporasi sebagai konsumen dan mitra kerja, serta CSR kepada masyarakat umum.
Pembangunan masyarakat (community development) dalam konteks CSR diukur berdasarkan kenaikan taraf kualitas hidup dari masyarakat. CSR mengacu pada nilai keadilan dan kesetaraan atas kesempatan, pilihan partisipasi, timbal balik, dan kebersamaan.
Community development dilakukan dengan pemberdayaan, termasuk dalam bidang pendidikan.
Persoalan sosial sebagai sasaran community development, seyogianya berpijak pada beberapa bagian konsep Millenium Development Goals dari United Nations Develompent Program (UNDP MDGs), yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Selain itu, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan.
Ruang lingkup CSR dalam arti luas antara lain meliputi CSR terhadap lingkungan, CSR terhadap hak asasi manusia, dan CSR perusahaan dan anti korupsi.
Tetapi menurut Darmawi, selama ini pandangan perusahaan-perusahaan migas tentang ruang lingkup CSR ada yang tidak seragam. Ada yang memandang CSR sebagai kegiatan philantropy atau kedermawanan sosial dari korporasi untuk membantu orang miskin. Ada juga perusahaan yang memandang CSR sebagai keikutsertaan korporasi dalam pembangunan bangsa bersama-sama pemerintah.
Ada pun beberapa jenis CSR di perusahaan migas itu menurut LMR antara lain:
1. Rehabilitasi Alam
Perusahaan memiliki tanggung jawab besar terhadap penjagaan alam. Utamanya bagi perusahaan produsen limbah. Contoh kegiatan rehabilitasi alam yang dapat dilakukan antara lain reboisasi hutan, pemberian bibit tanaman produktif, penanaman bakau, dan sebagainya.
2. Pengelolaan limbah berwawasan lingkungan
Pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dapat dilakukan sebagai bentuk CSR. Hal ini diharapkan dapat meminimalkan efek racun dari limbah. Dengan demikian, limbah tidak menimbulkan kerusakan ekosistem saat dibuang.
3. Filantropi
Filantropi merupakan aktivitas kemanusiaan guna menolong orang yang membutuhkan. Mulai dari penggalangan dana lewat donasi, membuka kampung wirausaha, bantuan dana UMKM, dan lainnya.
4. Penggunaan sumber energi terbarukan
CSR juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan. Dengan menggunakan energi terbarukan seperti angin, uap alam, air, dan tenaga surya, diharapkan dapat melestarikan sumber daya alam.
5. Budaya kerja ramah SDM
Jadi menurutnya, CSR dapat dilakukan dengan menciptakan budaya kerja yang ramah bagi Sumber Daya Manusia (SDM), dapat berupa penanam nilai dan sikap sehingga SDM memiliki karakter yang baik. (*)
Tags : Corporate Social Responsibility, CSR Perusahaan MIgas di Riau, Perusahaan, SDM, rehabilitasi, Kesehatan, pendidikan,