Ada perusahaan sawit dalam negeri dan luar negeri memiliki lahan terluas di Riau hingga mengusik permukiman suku pedalaman, berbagai aktivis melakukan investigasi ditemukan 1 juta hektar lahan sawit digarap secara ilegal yang kini dibahas aparat hukum.
PEKANBARU - Sebuah investigasi yang dirilis Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menunjukkan banyaknya perusahaan raksasa "secara sengaja" memperluas perkebunan sawit dalam pembukaan hutan di Riau demi memperluas lahan sawit.
Ada perusahaan dalam negeri dan luar negeri perusahaan sawitnya memiliki lahan terluas di daerah pedalaman. "Kami sudah melakukan petisi yang digalang melalui laman petisi Change.org sejak beberapa bulan terakhir, tersebut sudah diterima langsung oleh Gubernur Riau, Syamsuar," kata Madi Ali dari Jikalahari dalam bincang-bincangnya dengan riaupagi.com belum lama ini.
Menurutnya, petisi itu sudah diserahkan ke Gubernur Riau karena aksi perusahaan sawit ilegal telah merugikan negara karena mangkir pajak bahkan parahnya seratusan perusahaan tersebut juga diduga menimbulkan banyak kasus kebakaran hutan dan asap di Riau.
Made Ali menyebutkan, petisi ini sekalgus Gubernur Riau Syamsuar untuk merespon temuan KPK terkait satu juta hektar sawit ilegal di Riau. "Berikut kutipan petisinya di www.change.org/mangkirpajak, dalam catatan kami ada 1 juta hektar perkebunan sawit mengokupasi areal hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Selain dikuasai masyarakat, paling besar dikuasai perusahaan tanpa izin," kata Made.
Kutipan itu merupakan komentar langsung Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata di Pekanbaru pada 2 April 2019. Ia menekankan bahwa selain mengeruk kekayaan bumi dan menimbulkan banyak kerusakan hutan, perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak pernah membayar pajak kepada negara selama menguasai hutan.
Hal ini diketahui dari banyaknya perusahaan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sebelumnya, Panitia khusus (Pansus) monitoring lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau pernah melaporkan 190 perusahaan kelapa sawit terbukti tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP. "Pansus menghitung dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp24 triliun, namun baru Rp9 triliun yang mengalir ke kas negara," katanya.
Kita semua pasti ingat betapa setiap tahunnya, masalah asap dari kebakaran hutan selalu menghantui warga masyarakat Riau. Kebun-kebun sawit yang dikusai oleh perusahaan secara ilegal ini punya dampak yang sangat buruk terhadap upaya perbaikan tata kelola hutan. Pemprov Riau dan Dirjen Pajak, kata Made juga sudah menandatangani MoU yang menunjukkan keseriusan mereka dalam menangani kasus ini sehingga diharapkan akan ada aksi konkret nantinya sebagai tindak lanjut.
Mengancam lingkungan pedalaman
Jikalahari selain menyoroti pebukaan sawit ilgal ditengarai melanggar hukum dengan membakar hutan yang terjadi di Riau, investigasi yang selalu dilakukan menyelidiki hal itu menggunakan petunjuk visual dari video udara serta sistem geolokasi, mereka menemukan kebakaran.
"Pola, arah dan kecepatan munculnya titik-titik api sangat sesuai dengan arah, pola, dan kecepatan pembukaan lahan di area konsesi. Ini adalah bukti bahwa kebakaran lahan terjadi secara disengaja. Jika api berasal dari luar area konsesi atau terjadi karena kondisi cuaca yang kering pola kebakarannya akan bergerak dengan arah yang berbeda tentu kelihatan," ujar Made.
Di sisi lain, Made menilai investigasi yang dilakukan Jikalahari penting untuk penegakan hukum pembukaan lahan yang ilegal. "Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perkebunan di Indonesia, hal itu tidak dibenarkan. Tidak diperbolehkan atau melanggar dari hukum apabila ada perusahaan menggunakan api, karena menggunakan api adalah cara termurah bagi perusahaan untuk land clearing".
Sejumlah masyarakat adat di hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) misalnya, kata dia, adanya pengrusakan hutan dilingkungan rumah di tanah permukiman pedalaman yang membuat Suku Talang Mamak kehilangan tempat tinggal. Imbas dari pengrusakan hutan, sebanyak puluhan kepala keluarga di permukiman mereka terpaksa hidup dan berumah di bawah pohon dan beratap langit.
Hutan TNBT Terusik
Seperti disebutkan Gading, penerus gelar Patih di masyarakat Talang Mamak, perambahan hutan Sungai Tunu mengancam peninggalan leluhur Talang Mamak, tempat jejak tapak kaki leluhur suku itu. Kawasan itu kini sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit PT Selantai Agro Lestari (SAL). Meski tapak kaki peninggalan leluhur dibiarkan ada oleh perusahaan, masyarakat Talang Mamak tetap merasa terhina dan melakukan penolakan terhadap PT SAL sejak 2007. Namun, protes itu tak mengubah keadaan dan ribuan sawit tetap tumbuh subur menggantikan hutan hutan alami. "Habis hutan, habislah adat, kini kami menghadapi penyakit virus corona yang bertambah lengkap merananya suku disini," ujarnya.
Gading mengakui bahwa kerusakan Rimba Puaka juga didalangi oleh oknum Patih Talang Mamak yang terdahulu. Bersama oknum Kepala Desa Durian Cacar, tetua adat yang lama itu mengobral Rimba Puaka ke warga pendatang dan perusahaan. Oknum Patih itu kini sudah dicabut gelarnya dan diasingkan dari masyarakat Talang Mamak. Namun, perjuangan masyarakat adat untuk mengambil kembali hak Rimba Puaka mereka tak pernah berhasil meski sudah menempuh jalur hukum.
Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat suku pedalaman yang mempertahankan hutan adat secara perlahan hampir punah. "Perempuan dan anak-anak disini cukup enderita baik verbal dan fisik," kata Gading suatu hari pada media.
"Ketika saya lihat rumah dan hutan yang terusik, saya merasa sedih dan saya pikir ini risiko perjuangan kami sudah seperti ini," ujarnya pelan.
Sudah berbulan-bulan lalu hingga kini, banyak masyarakat pedalaman beserta istri dan anak-anak yang masih balita terpaksa tinggal yang tak jelas juntrungnya dengan berlindung di bawah pohon bersama dengan anggota masyarakat adat lain yang rumahnya sudah pada hilang. "Sementara banyak anggota masyarakat pedalaman berlindung di bawah pohon, anak-anak kami juga tidak bisa diperhatikan karena untuk mandi anak sendiri tidak punya air, karena kami di sini jauh dari mata air," jelas Gading yang mengakui ada bebebrapa KK yang sama-sama tinggal di bawah pohon.
Gading pun menceritakan, imbas dari kehilangan tempat tinggal dan hutan itu, mereka kini tinggal di alam terbuka, beralaskan tikar dan beratap langit. "Kalau malam ada yang tidur di hamparan kosong," jelasnya.
"Menjadi kekhawatiran kami, beberapa warga yang tidur di hamparan kosong ini takutnya nanti sakit karena lingkungan di sini sangat tidak sehat, apalagi sampai tidur di luar, kan ada angin malam, bahkan ada sebut-sebut virus corona," imbuhnya kemudian. (*)
Tags : Hutan Riau, Hutan Terusik, Kebun Sawit Ilegal, Suku Pedalaman Terancam,